![]() |
sumber : eramuslim.com |
Oleh : Ahmad Jaelani Yusri
Ada kisah yang patut diteladani dari salah satu ulama nusantara yang makamnya banyak diziarahi. Beliau adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang makamnya terletak di kampong Gapura di dalam kota Gresik, Jawa Timur, tidak jauh dari pelabuhan .
Alkisah, pada saat berkelana
bersama santri-santrinya, tibalah beliau di suatu wilayah yang sedang terkena
bencana kekeringan. Sudah berbulan-bulan tak turun hujan sehingga menyebabkan
kelangkaan pangan akibat kekeringan. Di wilayah tersebut, rupanya terdapat
sekumpulan warga yang sedang menyaksikan penumbalan. Ada seorang wanita cantik
yang akan ditumbalkan oleh pendeta untuk penguasa langit menurutnya.
Tak ayal, Syekh
Maulana Malik Ibrahim pun ikut menyaksikan acara tersebut. Lalu prosesi
penumbalan berlangsung dimana pendeta itu akan menggorok leher dari gadis
tersebut. Tapi siapa sangka, golok/ belati yang digunakan dalam upacara itu tak
berguna sama sekali. Kemudian si Pendeta mengulangi perbuatanya lagi dan lagi.
Nyatanya benda tajam yang ia kenakan seakan-akan tumpul. Sontak, pendeta itu
memandangi para hadirin, harap-harap ada yang mencurigakan lalu pandangannya
pun tertuju pada Syekh dan santri-santrinya yang Nampak berbeda dari yang lain.
Benar saja, sang
syekh dituduh karena telah menggagalkan upacara suci ini. Pendeta pun tak
tinggal diam, ia menyuruh bawahannya untuk menangkap mereka. Namun apalah daya,
seketika kaki mereka langsung ngilu luar biasa. “ Maaf Eyang, kami tak kuasa
berjalan, kaki kami berat sekali” ujar salah satu bawahannya.
Mendengar hal
tersebut, si pendeta murka bukan kepalang. Dia malah menantang Syekh yang
menurutnya telah semena-mena mengganggu upacara. Padahal warga sedang
menantikan hujan dari upacara ini . Namun Syekh dengan tegas menjelaskan bahwa
kedatangan mereka ke tempat ini hanyalah untuk berdakwah dan berniat membantu orang yang sedang susah.
“Membantu? , pertolongan ? jangan
berlagak di depan kami sedangkan dewa penguasa hujan saja sampai sekarang belum
menurunkan bantuannya!” Ujar Pendeta meremehkan.
Si Pendeta dan
Syekh Maulana Malik Ibrahim saling mengajukan syarat dalam tantangan ini. Jika
Syekh berhasil menurunkan hujan, maka gadis yang dijadikan tumbal harus
dibebaskan namun sebaliknya jika Syekh gagal menurunkan hujan maka yang akan
dikorbankan adalah Syekh beserta santri-santrinya.
Nampaknya,
kekeringan pada musim kemarau yang melanda desa tersebut benar-benar parah.
Para petani tak bisa menggarap sawahnya sama sekali. Retakan sawah yang
menganga tak bisa ditanami akibatnya banyak warga yang kelaparan, bahkan sampai
menyebabkan kematian.
Sang Syekh pun
bertanya kembali pada hadirin yang menyaksikan apakah setuju dengan persyaratan
yang diajukan. Maka dengan serempak, mereka pun menjawab setuju. Akhirnya Syekh
Maulana Malik Ibrahim diikuti santri-santrinya melaksakan sholat sunah istisqa
mengharapkan hujan pada Allah SWT. Terlihat dari raut muka pendeta yang tampak
tak suka dan merendahkan.
Namun tak disangka seketika
mendung bergejolak di angkasa. Para hadirin mulai takjub dan gembira. Setelah
merampungkan sholatnya dan khutbah tentang ajakan kebaikan, hujan turun dengan
deras. Rakyat pun bersuka cita kegirangan dengan hujan tersebut.
“Alhamdulillah” Ujar santri-santrinya.
Rakyat mengira
Syekh adalah orang sakti mandraguna dan menganggapnya titisan Dewa Krisna yang
turun ke bumi. Tak ayal banyak dari mereka yang langsung sembah sujud kepada
Syekh Maulana Malik Ibrahim. Menanggapi kelakuan mereka, Syekh pun meluruskan
bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah semata bukan dirinya karena semua ini
datangnya dari Allah Tuhan semesta alam. Lantas setelah kejadian tersebut
banyak yang menyatakan keislamannya di hadapan Syekh karena peristiwa tersebut.
Adapun si Pendeta dan pengikutnya semakin keras hatinya dan pergi meninggalkan
tempat tersebut.
Referensi :
Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto
Syekh Maulana Ishaq, Wawan
Susetyo
0 komentar:
Posting Komentar