Oleh Ilman Mahbubillah
Dengan kelu rintihku paling rindu, kueja satu demi satu abjad dalam namamu, demi
membedah jagat, hayat, dan waktu yang mengejawantah seluruh hadirmu. Sudah
hampir satu tahun setengah berlalu, sepasang aksa baswara selalu berhasil
mencanduku dalam tiap kenang yang berujung pilu.
Aku tak tahu pasti, mungkin menghalau riwayat tentang kita adalah rute paling pintas
menuju genangan pedih yang membanjiri lantai kamar, ruang tamu, beranda rumah,
hingga denyut nadi. Bagaimana bisa aku melebur sesak dalam hujan yang begitu
tabah walau terus dijatuhkan? Sedangkan aku masih tak kuasa melepas hadirmu
yang hanya tersisa bayangan.
Pada sekian waktu ku beri tahu, aku tak cukup mahir dalam menafsir anasir. Tapi
ada yang tak mampu kupungkir, Kau; angin semilir yang melansir desir dari sebuah
celah, seluruh resah, segala gelisah dan sekian arah yang entah. Kau; hanyutkan
gundah pada putaran asah yang kian tak pernah kusadari, bahwa kini segala pamrih
berlalu jauh tanpa ucapan pergi.
Bukan aku tengah tergesa-gesa, menyebut kisah ini kasih asmara, Namun bahasa
rindu mesrah selalu riuhkan risau pada ruang jemala. Rasaku berkelana jauh;
bagaimana jika aku selalu berada di sisi hangatmu, bagaimana jika aku adalah ingin
yang tak pernah kau harap berlalu, bagaimana jika aku menjadi tawa yang
temanimu gembira maupun haru.
Malang, 10 September 2022
0 komentar:
Posting Komentar