KONSEP PEMIKIRAN RASIONALISME RENE
DESCARTES DALAM ALQURAN
MOHAMMAD SYAUQI ABDULLAH
Renatus
artesius atau yang dikenal dengan Rene Descartes merupakan
seorang filsuf sekaligus matematikawan asal Perancis, pemikirannya tentang
rasionalisme membuat sebuah perubahan di eropa. Sehingga ia terkenal
sebagai bapak filsafat modern. Dalam Rasionalisme akal atau rasio
memiliki peranan utama dalam menjelaskan sesuatu. Descartes mengajarkan
bagaimana manusia mendayagunakan akalnya secara maksimal
berbekal rasionalisme. Menurut Descartes, Ketika kita meragukan
segalanya niscaya akan sampai pada titik bahwa ada sesuatu yang bisa dipercaya.
ini merupakan hal yang paling mendasar. Yaitu, Ketika kita meragukan
segalanya. I think, I doubt :aku berpikir, aku yang meragukan.
lalu misal Ketika aku berpikir tentang tuhan, berarti “aku yang berpikir” pasti
ada. Karena pemikiran itu ada, maka aku yang berpikir juga pasti ada. Dari
sinilah keluar pernyataan yang sangat fenomenal dari desacrtes “ I think
therefore I am Cogito Ergo Sum. Aku berpikir maka aku ada. Lalu bagaimana bisa
konsep rasionalisme tersebut ada dalam al-qur’an?
Dalam berpikir
rasional, Descartes memiliki empat aturan; 1) skeptis dalam segala
hal ;2)analisis masalah ;3) mencari kemungkinan ;4) menentukan solusi. Jika
kita melihat pada Alquran maka secara tidak langsung keempat aturan
ini sudah diterapkan terlebih dulu oleh Nabi Ibrahim dalam mencari tuhanya.
Yaitu pada QS. Al-An’am ayat 74-78
۞
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً ۖ
إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ (74) وَكَذَٰلِكَ نُرِي
إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
(75) فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَىٰ كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ
فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (76) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ
بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّي ۖ فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي
رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (77) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ
بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَا أَكْبَرُ ۖ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا
قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ (78) إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ
لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ (79)} [الأنعام : 74-79]
Artinya:
74. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar,
”Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya
aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”
75. Dan demikianlah Kami memperlihatkan
kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar
dia termasuk orang-orang yang yakin.
76. Ketika malam telah menjadi gelap, dia
(Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka
ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.
77. Lalu ketika dia melihat bulan terbit
dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata,
“Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk
orang-orang yang sesat.”
78. Kemudian ketika dia melihat matahari
terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari
terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang
kamu persekutukan.
79. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah)
yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.
Jika kita analisis, maka
pada 2 ayat awal yakni pada ayat 74-75 menunjukkan bahwa pencarian Ibrahim
terhadap tuhannya dimulai atas dasar skeptis (ragu-ragu) terhadap sesuatu yang
disembah kaumnya pada saat itu (berhala), dengan
analisisinya Ibrahim berpendapat bahwa secara
rasional berhala tidak layak dijadikan sesembahan, karena ;1)
ketidak adanya manfaat yang diberikan oleh berhala ; 2) sangatlah
tidak masuk akal bagi seorang penyembah membuat sesembahan dan menyembahnya.
Maka bentuk skeptis dan cara Ibrahim dalam menganalisis masalah termasuk dalam
aturan berpikir rasional menurut Descartes.
Pencarian
Ibrahim terhadap tuhannya tidak sampai pada itu. Ia melanjutkan pencarian
tuhannya dengan melihat benda-benda langit seperti bintang, bulan dan matahari,
hal ini tertera pada ayat 76-78. Dia melihat, menganalisis, dan menyimpulkan.
Tetapi tetap tidak ada ada kepuasan di hati Ibrahim tentang benda-benda itu.
Ini merupakan aturan ketiga, yaitu mencari kemungkinan. Ibrahim mencari
kemungkinan-kemungkinan yang pantas dijadikan tuhannya meskipun berakhir dengan
kebuntuan. Dilanjutkan dengan aturan keempat, mencari solusi dan menyimpulkan.
Dalam ayat 79, dia mencapai kebuntuan dan menyimpulkan bahwa tuhan yang
sebenarnya dan yang paling berhak disembah adalah dia yang menciptakan langit
dan bumi (allah).
Maka dari itu, berpikir rasional juga sangat dibutuhkan. Oleh karenanya, allah banyak meyinggung dalam alquran, dengan kata “afala ta’qilun”, “afala tatafakkarun” agar manusia sebagai makhluk yang diberikan akal bisa secara maksimal mendayagunakan akalnya.
0 komentar:
Posting Komentar