Oleh: Ahmad Nasrul Maulana
Langit ibu kota
belakangan ini acap diguyur hujan yang cukup lebat. Angin kencang juga sambaran
petir sesekali menerpa sangat kuat. Banyak dahan pohon tinggi berjatuhan,
selokan-selokan di bibir jalan juga dipenuhi air hujan yang perlahan meluber
menutupi bahu jalan. Sampah berserakan dimana-mana, pengguna jalan juga banyak mengeluhkan
kendaraan miliknya yang mendadak tidak menyala. Banjir kembali menerjang
Jakarta.
Seraya melangkah tegap berwibawa, senyum lebar
kurekahkan sepanjang jalan. Orang-orang berkemeja putih sama sepertiku berjalan
cepat menuju ruangannya. Sesekali kami bertegur sapa, lalu duduk untuk
menjalankan masing-masing tugas rutinnya.
“Plakk!” sebuah gulungan surat kabar
dilemparkan ke arahku. Aku meliriknya sekilas, “Ohh, aku sudah melihatnya semalam”
“Baguslah!”
Kembali
kutenggelamkan wajahku di hadapan layar komputer, mengais sebanyak mungkin
informasi terkait bencana besar yang menenggelamkan setengah dari tubuh ibu
kota. Mulai dari penyebab, jumlah korban hingga angka kerugiannya, kucatat
dalam buku pribadiku. Hampir semua berita menuliskan hasil yang sama. Hatiku
teriris saat melihat jumlah korban yang mencapai ratusan dan angka kerugian
yang mencapai miliaran.
“Tok tok tok”
“Iya masuk!!” daun
pintu terbuka, sepasang sepatu hitam mengkilap berjejer di tengah-tengahnya. Bapak
Guritno, teman kerja yang selalu datang kepadaku saat senggang waktu. Biasanya
kami berdua akan bertukar cerita atau berbincang ihwal isu-isu yang tengah
menyelimuti Indonesia. Akan tetapi kali ini wajahnya tidak sehangat biasanya,
senyumnya tertahan, seperti orang yang penuh tekanan.
Ia masih
menekuk wajahnya saat duduk di hadapanku, aku menyapanya ringan, “Kau sudah sarapan,
Pak?”
“Sudah”
timpalnya singkat. Tangannya menyodorkan tumpukkan kertas rapi di dalam map. Ia
melirikku sebentar dan aku menangkapnya.
“Tugas lagi?”
“Bukan,
bukalah!”
Map kertas itu
kubuka. Sedikit terkejut aku dibuatnya. Mataku kembali menerjap Pak Guritno.
Kali ini ia sedikit tersenyum, namun tipis. Kubelai helai demi helai kertas
itu, rasanya aku ingin menangis setiap memandang isinya.
Seratus delapan
puluh bulan ke belakang, lima belas tahun tepatnya. Ayahku mengantarkan aku
pergi ke balai desa di pagi buta. Sekitar setengah jam Ayah mengayunkan sepedanya
menuju ke sana. Tepat pukul delapan, roda sepeda kami menyentuh pelataran balai
desa. Suasana sangat ramai, banyak anak kecil seusiaku berlarian kejar-kejaran.
Aku mengenakan baju coklat tanah kala itu. Rambutku disisir rapi, sangat
terlihat mengkilap jika tersengat matahari.
“Pranata Dwi
Prasetya” namaku dipanggil dari toa. Dengan penuh keyakinan aku berdiri. Aku
masih ingat, saat itu Ayah menepuk pundakku seraya berbisik “Majulah, Nak! Ayah
sangat bangga denganmu” senyumnya terpampang nyata saat melihatku berjalan ke
arah podium. Saat tiba di depan, kupejamkan mata untuk mengumpulkan ketenangan.
“Mulai!”
“Undang-Undang
dasar Negara Republik Indonesia, tahun seribu sembilan ratus empat puluh lima,
pembukaan...” tidak ada hambatan sepanjang aku melantunkan undang-undang dasar.
Dari depan, kulihat Ayah bertepuk tangan paling lantang. Aku hampir berkaca
melihat ketulusan Ayah dalam mendidikku hingga kini, seorang diri.
Pemandu acara mempersilahkanku kembali.
Bulan Agustus
adalah bulan yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Di bulan kedelapan ini,
jati diri Indonesia terlahir. Biasanya masyarakat dari berbagai suku dan ras
Indonesia akan merayakannya dengan berbagai cara. Salah satunya seperti
menyelenggarakan kompetisi membaca undang-undang dasar yang kuikuti.
Sembari
menunggu pengumuman juara, Ayah mengajakku duduk di bangku taman balai desa. Aku
melahap sebungkus nasi jagung buatannya, saat itu Ayah berkata kepadaku, “Nata Anakku,
Ayah harap Nata tidak hanya hafal undang-undang dasar saja, akan tetapi Nata
juga harus memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya”
“Nilai-nilai
apa maksudnya, Yah?” tanyaku seusai meneguk air putih.
“Kau menangis, Pak?”
setetes air mata menyisakan bulatan di ujung album yang kugenggam.
“Lihatlah anak
kecil ini Pak Guritno!” aku menyodorkan album itu ke arahnya. Pak Guritno memberiku
selembar tisu, ia juga mengelus pundakku. Saat hatiku sedikit menenang aku
menceritakan kembali masa-masa perjuanganku bersama Ayah. Betapa bangganya
Ayahku saat mendengar kabar bahwa aku diterima bekerja di pemerintahan. Ini
adalah salah satu mimpi Ayah yang berhasil kuwujudkan. Sayangnya tubuh Ayah
semakin melemah digerogoti usia. Berbagai penyakit silih berganti menyerangnya.
Dua tahun lalu, Ayah pergi menyusul Ibu dan album ini adalah album pertama juga
terakhirku bersanding bersama Ayah.
Ayahku
mengajarkan banyak hal saat aku masih kecil hingga tumbuh dewasa. Ia selalu
memupukku untuk selalu berbuat baik dengan sesama, terlebih saat aku bekerja di
pemerintah. Aku tidak diperkenankan semena-mena dengan rakyat bawah. Karena
sejatinya semua makhluk itu sama di hadapan sang pencipta.
Lembar
berikutnya kubuka. Tampak jelas seorang anak yang sedang membopong piala. Matanya
menyempit, segaris dengan dua lesung pipi di bawahnya. Tepat di bagian badan
dari piala itu tertulis juara satu lomba membaca undang-undang dasar tingkat
kecamatan, tulisannya sedikit pudar, namun aku masih bisa membacanya.
“Sangat
menggemaskan sekali anda di sini, Pak” Pak Guritno membuka percakapan, berusaha
mencairkan kesenduhan yang menyelimuti.
“Sampai
sekarang aku juga masih lucu hahaha” tawa kecil kuekorkan. Aku menyambungnya
lagi dengan sebuah penjelasan, “Kau tahu Pak, semenjak aku dinobatkan menjadi
juara satu saat itu, ambisiku untuk menjadi bagian dari pemerintah daerah
sangatlah tinggi. Saat aku mengutarakannya kepada Ayah, ia justru
menertawakanku”
“Kenapa
ditertawakan, Pak?”
“Iya, tawanya
sangat renyah kala itu. Ia berkata bahwa menjadi anggota pemerintah bukanlah
hal yang mudah untuk dijalankan. Bebannya sangat berat. Ayah juga berujar bahwa
semua orang yang bekerja di pemerintahan harus menanamkan nilai-nilai pancasila
dalam setiap tindak tuturnya” tenggorokanku kering, tanpa berpikir panjang aku
meneguk air putih untuk membasahinya. Aku kembali melanjutkan,
“Pancasila
terdiri dari lima sila sesuai dengan namanya. Kemudian lima sila tersebut mengandung
etika-etika yang harus diperhatikan oleh seluruh anggota pemerintah daerah”
“Seluruh
masyarakat Indonesia, bukan?”
“Itu maksudku Pak
Guritno, sila pertama menginterpretasi nilai spiritualitas kepada Tuhan yang
maha esa, sila kedua menginterpretasi nilai humanisme, sila ketiga nilai
solidaritas, sila keempat menginterpretasikan nilai untuk menghargai sesama dan
tidak menutup telinga dari pendapat orang lain, sila kelima bernilai peduli
terhadap sesama” Pak Guritno menggelengkan kepalanya, ia sangat takjub dengan wawasanku
tentang Pancasila. “Mereka yang membudidayakan etika Pancasila dalam jiwanya,
akan bekerja dan mengabdikan dirinya dengan ikhlas bagi negara”
“Sepertimu, Pak?”
“Entahlah, itu
hanya orang lain yang mengetahuinya. Ngomong-ngomong, dari mana Bapak Guritno
mendapatkan album-album lamaku ini?”
“Saat Bapak menaiki
mobilku dua bulan lalu, beberapa album Bapak jatuh dan mungkin Bapak tidak
menyadarinya lalu Istriku yang menemukannya” Pak Guritno berdiri, ia lalu
mengambil ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan masuk kumenduganya, ia
membacanya sekilas lalu berbirit meninggalkan ruanganku tanpa sepatah kata.
Tidak ada lagi orang
yang bersamaku kini, aku kembali mengumpulkan data-data tentang banjir bandang
yang melanda Jakarta. Rencananya saat usai pulang nanti aku ingin mengunjungi
korban-korban untuk berbagi sedikit rezeki. Karena bagaimanapun juga semua
harta benda yang kumiliki terdapat hak mereka pula.
“Tok..tok...tok”
Daun pintu
terketuk kembali, “Masuklah!” aku menjawabnya
Seorang
karyawan mengantarkan berkas-berkas kepadaku. Saat membuka-buka berkas untuk
kutandatangani, beberapa kali karyawan itu menoleh ke belakang, seakan-akan ia ingin
cepat meninggalkan ruanganku. “Kau kepanasan?”
“Tidak, Pak! Saya
hanya ingin menyaksikan penyergapan KPK di lantai bawah”
“Maksudmu?”
alisku terangkat, jantungku berdetak tak karuan. Beberapa bulan lalu, kasus
Korupsi dan Kolusi telah terkuak di kantor pemerintahan ini. Kupikir itu adalah
kasus tercela pertama dan terakhir yang terjadi. Namun ternyata aku salah.
Korupsi dan kolusi adalah penyakit yang cukup sulit disembuhkan. Memang dengan
melakukan korupsi dan kolusi, pelaku akan mendapatkan keuntungan yang sangat
besar. Tapi tetap saja, koruptor tidak sama kotornya dengan pencuri yang
tertangkap sana sini. Bahkan lebih rendah, karena korbannya berjuta-juta umat
manusia.
“Apakah kau tahu,
siapa yang tengah terjerat kasus korupsi ini?” dadaku naik turun, keringat
dingin perlahan mengucur, karyawan itu menyebutkan satu nama yang sangat
membuatku terperanjat tidak percaya.
“Turunlah, Pak!
Lihatlah sendiri!” tubuhku digerakkan oleh rasa ketidakpercayaan. Kakiku sangat
lebar melangkah. Aku menuruni anak tangga, sebab membuka pintu lift terasa
sangat lama. Tiba di bawah, banyak orang berkerumun. Kepalaku mendongak melihat
ke depan untuk memastikan bahwa orang yang sedang diborgol tangannya itu bukan
orang yang disebutkan namanya oleh karyawan tadi.
Setelah
bersikeras maju ke depan, kini aku tepat di belakang tersangka tersebut. Dengan
suara yang sedikit gemetar aku memanggilnya,
“Pak Guritno!”
Tersangka itu
menoleh, tubuhku sangat lemah menatap wajahnya. Dengan raut keputusasaan tersangka itu berujar “Maafkan
aku, Pak Nata!” aku memeluknya. Ia menangis dan aku juga menangis dibuatnya. Berulang
kali tersangka mengutarakan permintaan maaf kepadaku.
“Andai saja sejak
kecil aku disemai dengan wawasan sepertimu, Pak, mungkin aku tidak akan
melakukan perbuatan sebejat ini, maafkan aku, Pak!”
“Kau jangan
berkata seperti itu, anggap saja ini semua!!” tubuhnya ditarik sebelum ucapanku
selesai. Ia masuk ke dalam mobil dengan isak tangis.
Tidak pernah
sedikit pun kubayangkan sebelumnya, kasus korupsi berhasil menyeret teman
dekatku. Aku menyalahkan diriku sendiri, andai saja aku menceritakan
pengalamanku kepada Pak Guritno sejak lama, pasti ia akan berpikir dua kali
untuk melakukan tindakan sebodoh itu. Sekarang semuanya sudah terlambat. Tidak
ada tindakan yang bisa kuperbuat.
“Kau benar, Pak!
Orang yang terjerat korupsi itu adalah Pak Guritno”
“Berdasarkan
informasi yang saya dapatkan, Pak Guritno telah mengorupsi uang pembangunan
saluran irigasi dan jembatan di beberapa titik di Jakarta” ucap karyawan
tersebut dengan penuh percaya diri. Mendengarnya, seketika aku membuka kembali
buku catatan yang berisi data-data bencana banjir yang tengah melanda ibu kota,
benar saja, salah satu penyebab banjir ibu kota adalah saluran irigasi dan
jembatan yang pembangunannya tidak memakai material seharusnya. Akibatnya banyak
jembatan dan saluran irigasi yang tidak berfungsi. Saat hujan lebat tiba, bangunannya
tidak kuat menahan derasnya air hujan juga angin kencang.
0 komentar:
Posting Komentar