Oleh : Raihan Ammar Syafril R.
Berbicara tentang kopi memang tidak ada
habisnya, mulai dari cerita hingga pada budayanya. Bukan hanya sekedar minuman
biasa, tapi juga mengandung akan filosofi yang mendalam terutama tentang
kehidupan. Dan kopi merupakan minuman yang sangat erat hubungannya dengan kaum
santri dan para kyai. Dan kebiasaan ngopi sudah menjadi tradisi wajib
bagi santri di pondok pesantren.
Kopi memang minuman yang sering menemani
para santri pada tiap malamnya. Mulai dari santri yang sendang ngaji, santri
yang mengerjakan tugas, santri yang menambah hafalan Al-Qur’an, santri yang
membaca buku, hingga santri yang bermain game dapat ditemukan secangkir
kopi yang menemani disamping mereka. Karena memang kopi yang membuat mereka
mengusir rasa kantuk dan tetap terjaga. Hingga ada ungkapan “Santri nek gak
ngaji yo ngopi” (santri kalau tidak sedang mengaji, ya berarti minum kopi).
Dalam pergaulan santri, kedalaman ilmu dan
kebijaksanaan diri seringkali digambarkan dengan secangkir kopi. Mengutip dari
orasi yang disampaikan oleh mantan Menag Lukman Hakim Saifuddin, pada acara
peringatan Hari Santri Nasional 2018 lalu di Krapyak, Yogyakarta. Beliau
mengaitkan hubungan antara kopi, santri, dan literasi. Belau menyampaikan "Santri
yang malas dan tidak produktif dianggap kurang ngopi. Santri yang emosional dan
gampang dibohongi, pertanda ngopinya kurang pahit. Santri yang kuper dan kudet,
berarti ngopinya kurang jauh. Santri yang suka ngeyel dan menyalahkan orang
lain, itu tandanya belum pernah menyeduh kopi,"
Mengutip dari kitab berjudul Irsyadul
Ikhwan fi Bayaani Qahwah wad Dukhan (Petunjuk Umum untuk Kopi dan Rokok)
karangan Syekh Ihsan Jampes. "Disebutkan, kopi adalah minuman para ulama
karena bisa meningkatkan konsentrasi dan mempertajam intuisi. Diulas pula
perdebatan fikih tentang hukum menyeruput kopi. Maklum, kopi sudah terlalu jauh
masuk ke wilayah pesantren. Sampai ada adagium bahwa penggerak utama pesantren
itu sesungguhnya terdiri dari: kiai, santri, ngaji, dan kopi," tuturnya.
"Di sini, saya tak hendak mengajak
Anda semua untuk ngopi. Tapi saya justru ingin mengingatkan, pesantren bukanlah
warung kopi. Pesantren adalah tempat menuntut ilmu dan menimba pengalaman.
Tempat untuk menyadari bahwa menjalani hidup itu ibarat menikmati kopi; ada
pahit-pahit manis yang bikin melek hati." Demikian Menag menggarisbawahi.
Beliau menegaskan, "Sebagai majelis
pengetahuan, kopi pun jadi bahasan ulama dalam karya tulisnya. Ini artinya,
ilmunya para kiai tidak sebatas perkara shalat sampai haji, tak cuma soal
membasuh muka sampai menata hati, tapi juga urusan menyeruput kopi." Menurutnya,
kisah ini menunjukan betapa kuat budaya literasi kaum santri sampai
sempat-sempatnya menulis tentang kopi.
Sebagai benang merah, dapat disimpulkan dan
dapat dijadikan motivasi untuk kita para santri bahwa literasi adalah tradisi
asli para ulama. Kaum santri mengenal ulama besar seperti para imam madzhab, Al
Ghazali, dan lain-lain lantaran karya-karya tulisnya. Begitupun ulama nusantara
seperti Syekh Nawawi Al Bantani, KH. Maimoen Zubair, Prof. Dr. Muhammad Quraish
Shihab, MA dan masih banyak lagi ulama yang dikenal karena karyanya.
Dan kita sebagai santri sekaligus sebagai
generasi penerus bangsa harus dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap
literasi/budaya membaca, agar dapat memiliki wawasan yang luas dan dapat
menghasilkan karya-karya yang nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dan
tentunya agar dapat meneruskan estafet kepemimpinan di negara kita tercinta ini
dengan baik dan tidak sewenang-wenang.
|
0 komentar:
Posting Komentar