Oleh Indah Mawaddah Rahmasita
Penyelesaian sengketa merupakan bentuk
penyelesaian sebuah perkara yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak
tertentu. Dalam penyelesaian sengketa terdapat dua cara yakni cara litigasi dan
cara non litigasi. Pada umumnya penyelesaian yang sering digunakan yakni
penyelesaian secara litigasi. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi
merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Penyelesaian dengan
cara ini bisa disebut dengan ultimun remedium. Disisi lain, cara
litigasi ini biasanya menjadi sarana akhir penyelesaian sengketa.
Salah
satu kasus tentang sengketa yakni permasalahan penerimaan siswa sekolah yang
menggunakan sistem zonasi di DKI Jakarta tahun 2020. Pada permasalah ini yang
menjadi objek permasalahannya adalah pelayanan publik. Sebab sekolah merupakan
bentuk dari pelayanana publik. Dalam sistem zonasi yang diberlakukan di DKI
Jakarta banyak orang tua peserta didik dirugikan. Hal ini dikarenakan tolak
ukur penerimaan siswa berdasar dari usia siswa.
Dalam
Permendikbud pasal 25 Nomor 44 tahun 2019 tentang sistem zonasi, disebutkan
bahwa:
1. Seleksi calon
peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP dan kelas 10 (sepuluh) SMA dilakukan
dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah
zonasi yang ditetapkan.
2. Jika jarak tempat
tinggal calon peserta didik dengan sekolah sebgaiamana di maksud dalam ayat 1
sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota atau daya tamping terakhir menggunakan
usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta
kelahiran.
Permasalahan di atas dilimpahkan kepada
lembaga Ombudsman dengan melaporkan Kepala Dinas Pendidikan DKI.
Ombudsman
merupakan lembaga negara yang memiliki wewenang dalam mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik yang diselenggarakan oleh negara atau pemerintah. Dalam
permasalahan di atas yang terjadi ialah sengketa pelayanan publik dimana
masyarakat merasakan kerugian terhadap implementasi dari sebuah kebijakan publik.
Oleh karena itu, undang-undang yang digunakan yaitu
“Pasal
1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik menjelaskan bahwa
ada dua mekanisme yang bisa diajukan oleh para penerima layanan publik bila terjadi
dugaan penyalahgunaan kewenangan atau dugaan tidak dijalankannya kewajiban oleh
penyelenggara pelayanan publik. Maka terdapat dua mekanisme penyelesaian yakni
berdasarkan pasal 1 angka 10 UU Pelayanan Publik, mekanisme pertama adalah
mediasi yakni upaya untuk menyelesaikan sengketa dalam ranah pelayanan publik
antara para pihak yang berkonflik melalui bantuan yang diberikan oleh Ombudsman
atau mediator yang dibentuk oleh Ombudsman. Selanjutnya berdasarkan pasal 1
angka 11 UU Pelayanan Publik mekanisme penyelesaian sengketa selanjutnya adalah
ajudikasi. Ajudikasi adalah proses penanganan sengketa pelayanan publik antara
pihak yang bermasalah dan diputus oleh Ombudman.”
Dari
permasalahan diatas dapat dipelajari bahwa pelayanan publik harus diimplementasikan
sesuai kadar dan kepuasan masyarakat. Sebab pengertian dan pelayanan publik
adalah sebuah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Serta kepastian hukum yang ada harus
berdasar kebutuhan masyarakat supaya tidak terjadi anggapan penyalahgunaan
hukum oleh sebuah instansi. Oleh karena itu, pelayanan publik harus
sering-sering dikaji dan direkontruksi ulang supaya mewujudkan Good
Governance.
Sedangkan
Good Governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan dalam
menyediakan barang dan jasa publik. Dalam Good Governance terdapat
beberapa prinsip yang saling berhubungan. Jika salah satu prinsip bermasalah
maka mempengaruhi prinsip yang lain. Melihat permasalahan diatas maka prinsip
yang terlihat adalah prinsip partisipasi, penegakan hukum, transparansi, daya
tanggap, orientasi, keadilan, efektif dan efesien, akuntabilitas, dan visi
strategis. Dapat disimpulkan semua prinsip saling berhubungan, maka dalam
mewujudkan Good Governance melihat dari permasalahan tersebut. Setiap
pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat maka jangan sampai pelayanan
publik tersebut menyusahkan masyarakat dan disalah gunakan. Oleh karena itu,
pembaharuan dan peningkatan pelayanan publik harus lebih digencarkan.
Referensi:
Safrijal, dkk. “Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance Oleh Aparatur Pelayanan Publik Di Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Unsyiah, Vol. 01, No. 01, 2016, Hal. 177.
https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_37.pdf
0 komentar:
Posting Komentar