source image: roomme.id |
Oleh: Syahrul Alfitrah Miolo
Nawal El-Saadawi memandang bahwa permasalahan diskriminasi terhadap
wanita sebagai masalah dengan struktur yang sama beratnya dengan masalah
negara. Dalam bukunya yang berjudul Al-Mar’ah wa Al-Jins, Saadawi mendeskripsikan masyarakat yang kacau-balau
serta pola pikir laki-laki tentang perempuan dan seks. Dalam buku yang lain
Woman at Point Zero, ia memberikan pendapatnya menggunakan bahasa novel tentang
wanita Arab yang mendapatkan berbagai macam tekanan. Ia menyamakan status para
istri di dunia Arab dengan seorang pelacur, bahkan lebih buruk lagi dikarenakan
pelacur masih memiliki kebebasan dalam memilih suami. Menurutnya, permasalahan
diskriminasi wanita tidak dapat diselesaikan hanya dengan penyetaraan seks,
apalagi agama. Permasalahan diskriminasi wanita merupakan masalah yang sangat
kompleks yang mana sangat berkaitan dengan masalah ekonomi dan politik suatu
negara. Permasalahan penindasan terhadap wanita
adalah struktur patriarkal sosial Arab yang secara turun-temurun terus
terwarisi. Dalam agama wanita tidak sepenuhnya dihargai, karena dalam hal lain
seperti berperan dalam masyarakat wanita sering kali dihalang-halangi. Dalam
salah satu artikel yang pernah ia tulis yang berjudul Women and Islam yang
mana artikel tersebut ditujukan kepada pembaca berbahasa Inggris, Saadawi
menganalogikan permasalahan wanita dengan masalah yang terbelakang. Menurutnya,
keduanya bukan permasalahan agama sebagaimana yang selalu digencar-gencarkan
oleh kaum fundamentalis, akan tetapi sangat berkaitan erat dengan masalah
ekonomi dan politik sebuah negara.
Fatima Mernissi tidak meniadakan pentingnya faktor ekonomi dan
politik pada suatu negara dalam menentukan nasib para wanita. Namun, terdapat
masalah yang lebih penting lagi, yakni wacana tentang wanita yang diciptakan
oleh sosiobudaya Arab. Menurutnya, wacana wanita yang berlaku dalam dunia Arab
telah diciptakan oleh budaya dominasi laki-laki. Dari wacana tersebut, wanita
selalu ditempatkan dan dianggap negatif dari berbagai perspektif. Fatima tidak
sepenuhnya menyalahkan pemerintah yang telah mendiskriminasi wanita, akan
tetapi ia lebih menyalahkan struktur sosial. Struktur sosial yang dimaksud
ialah ajaran agama yang menjadi salah satu pokok penting suatu masyarakat.
Fatima juga sudah tidak percaya dengan sekelompok kaum konservatif yang sering
membicarakan permasalahan wanita, karena ia percaya bahwa model dari masa lalu
sudah tidak cocok lagi dengan masa sekarang. Ia meyakini permasalahan yang saat
ini dihadapi oleh dunia Arab sangatlah kompleks. Namun, bukan berarti Fatima sepenuhnya
bersandar pada modernitas. Dalam tulisan-tulisannya ia sangat keras dalam
mengecam Barat dikarenakan feminisme yang dikemas oleh Barat hanya menimbulkan
diskriminasi wanita yang lainnya. Adapun Nawal El-Saadawi lebih menekankan
peran dan faktor ekonomi dan politik, sedangkan Fatima lebih menekankan pada
permasalahan jenjang ideologi sosial.
Khalida Said menekankan komitmen terhadap kebersamaan mutlak (total
societal commitment) yang mana hal ini ialah
pembebasan atas diskriminasi wanita melalui kebersamaan sosial, termasuk
melalui radikal revolusi atau oposisi. Menurutnya, premis fenomenologis dunia
Arab sedang terpecah menjadi dua bagian, yakni bagian yang berpihak kepada
kelas sosial dan bagian yang berpihak kepada keluarga. Fatima mengenali hal ini
bersumber dari warisan sosial yang sudah ada sejak berabad-abad lalu lamanya.
Ia mempunyai solusi, yakni dengan melawan secara bersamaan sistem kuno yang
masih berlaku.
Referensi
Nurdiansyah,
Fandi Akhmad. (2008). Menyingkap Pemikiran Feminis dalam Novel Zuqaq Al-Midaq
Karya Naguib Mahfouz, Skripsi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar