Oleh: Syifaul Fajriyah
Bagaimana jika
kamu tinggal dalam sebuah desa atau perkampungan yang terkutuk? Atau tinggal
dalam sebuah tempat yang malamnya hanya ditemani lentera dan api? Mungkin
kakimu terasa gatal ingin beranjak dari tempat tersebut. Mungkin kamu berpikir,
di zaman yang maju sekarang mana mungkin ada tempat yang seperti ini. Tetapi,
kenyataannya memang ada. Tempat itu adalah Desa Nagari.
Desa Nagari adalah sebuah pedesaan yang berada
dibawah kaki gunung. Desa ini memiliki sejuta misteri dan masih kental hingga
saat ini. Aku, dewi akan menceritakan kepada kalian mengenai desa Nagari yang
terkutuk, cerita tentang kisah mistis yang pernah aku alami maupun yang sering
ku dengar dari mulut ke mulut.
Awal mula Desa Nagari menjadi desa terkutuk
ialah sejak seorang lelaki paruh baya bernama Abah Slamet menduduki jabatan
sebagai kepala desa. Beliau telah menduduki jabatan ini semenjak aku berumur 12
tahun hingga saat ini. Usianya saat ini telah menginjak kepala lima. 50 tahun,
kakek yang selalu memakai topi koboy itu menduduki jabatan kepala desa. Konon
katanya, kesetiaan singgasana itu dikarenakan selendang yang selalu ia ikat bak
sabuk di pinggangnya.
Awal mula kakek yang hidup sebatangkara ini
menjabat, suasana Desa Nagari berjalan sebagaimana mestinya. Namun, selang 40
hari menjabat sebagai kepala desa, berbagai peraturan aneh ia tegakkan. Lelaki
yang dijuluki Abah tersebut memberi peraturan bahwa setiap malam tidak diperbolehkan
untuk menggunakan lampu listrik, sebagai penggantinya hanya lentera api saja. Ia
juga menambahkan bahwa setiap malam siapaun dilarang keluar dari rumah. Jika
ada yang melanggar maka ia harus ikhlas mengabdikan dirinya kepada “Candiolo”. Orang
yang mendengarnya hanya menganggap itu sebuah gurauan belaka, apalagi dulunya
Abah Slamet berprofesi dagelan keliling sebagai penghibur dalam suatu acara.
Sehari setelah peraturan itu ditetapkan,
terjadi hujan lebat sore itu yang menyebabkan aliran listrik terputus. Semua
orang hanya menggunakan lentera api sebagai cahaya, dan memilih untuk berdiam
diri di rumah. Biasanya pada saat malam tiba, banyak orang yang masih
bergerombol di warung kopi atau pos ronda. Tetapi malam itu sepi tak ada
siapapun ku liat di luar. Pagi pun tiba, dan kabar duka pun ikut menyertai pagi
itu. Sarmi, seorang ibu yang hidup sebatang kara ditemukan tak bernyawa di
teras rumahnya dengan mulut menganga. Tetangga yang tinggal di depannya
mengatakan bahwa semalam ia sempat melihat Bu Sarmi keluar rumah untuk menadah
air hujan, dan bergegas masuk rumah. Dan tetangganya yang lain ikut menyahut.
“Pas mari muni gledek bareng petir, aku
kerungu suara koyok muni jaranan. Suarae iku koyok mlaku nek arah omah e
Lek Sarmi (Setelah bunyi guntur dan petir, aku mendengar suara seperti kuda
lumping. Suaranya seperti berjalan menuju rumah Bi Sarmi)”
Suara ini tidak hanya terdengar dari satu
orang, hampir seluruh tetangga Bi Sarmi mendengarnya. Warga pun
berbondong-bondong menggotong jenazah Bi Sarmi ke kediaman kepala desa. Dan
Abah Slamet hanya mengatakan
“Sarmi ora gubris tatananku. Yo ikhlasno
yen candiolo wes teko (Sarmi tidak menggubris perintahku. Ya ikhlaskan
kalau Candiolo sudah datang)”
Semenjak kejadian itu, warga mulai
mengindahkan peraturan Abah Slamet. Tetapi, ada juga yang masih enggan
mempercayai, dan ujung-ujungnya bernasib sama seperti Bu Sarmi, seakan sebuah
hukuman mati bagi yang melanggar. Dan memang benar apa kata tetangga Bu Sarmi, malam
hukuman itu pasti akan terdengar suara gemrincing lonceng seperti suara kereta
kencana, namun tak ada yang tahu menahu mengenai wujudnya.
Peraturan yang aneh dan hukuman yang
diluar nalar itu mulai meresahkan warga. Warga berasumsi Abah Slamet bermain
ilmu hitam, mereka berkumpul didepan rumah kepala desa untuk menurunkan
tahtanya. Abah Slamet berasumsi bahwa peraturan itu ditujukan untuk sebuah
kebaikan. Berbagai perdebatan terjadi, Abah Slamet lengser dari jabatan dan
digantikan oleh Pak Amien.
Suasana kembali seperti dulu damai dan
tentram. Namun, suasana ini hanya berjalan singkat, 3 tahun Pak Amien menjabat
wabah mematikan menghantui desa kami secara tiba-tiba. Setiap harinya akan
terdengar kabar duka. Tidak ada yang tau dari mana munculnya dan apa
penawarnya. Keadaan semakin kacau saat kepala desa kami menjadi korban dari
wabah ini. Di masa pemakamannya tiba-tiba Abah Slamet datang, dengan membawa
sebuah selendang. Kakek yang telah diasingkan itu kembali dengan
menggadang-gadang bahwa ia membawa penawarnya. Benar saja, dengan kibasan
selendang itu badan seseorang yang sakit akan sehat seperti semula. Kekuatannya
yang datang tiba-tiba menjadikan ia sebagai kepala desa kembali.
Jabatannya yang baru tak merubah peraturannya
yang dulu, dan tiada lagi yang bisa menyuarakan
pendapatnya ataupun berkomentar mengenai kebijakan Abah Slamet
Bersambung….
0 komentar:
Posting Komentar