Sumber gambar: Majalahsunday.com
Erwin
Beberapa waktu yang lalu publik dikejutkan dengan sebuah berita
tentang pernikahan beda agama dari salah seorang Stafsus Presiden. Berita
tersebut sampai viral di dunia maya. Namun, ada hal yang lebih mengejutkan dari
pernikahan itu, yaitu adanya respon yang
mendukung terhadap perilaku menyimpan tersebut. Mereka beranggapan bahwa pelaku
telah memperjuangkan toleransi tidak hanya dimulut, tapi sungguh-sungguh
menjalankannya dalam kehidupan berkeluarga. Mendapat berita pernikahan tersebut
sungguh membuat hatinya penuh kerena menurutnya agama dan pernikahan harusnya
memang tentang cinta dan kasih. Jadi statement ini pada intinya menganggap
bahwa nikah beda agama merupakan puncak
tertinggi dari toleransi.
Sungguh pemelintiran kata yang sangat indah. Rangkaian katanya
terkesan sangat bijak dan meyakinkan, namun sangat sesat lagi menyesatkan. Model
toleransinya dikemas dengan sangat manis, namun yang tercium adalah
pemaksaan terhadap istilah toleransi. Toleransi bukanlah pluralisme yang
semua dianggap sama, setara, dan bisa digabung perbedaannya. Toleransi adalah
tentang menghargai, membiarkan, dan membolehkan pendirian (kepercayaan) yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Menikah beda agama dengan embel-embel
toleransi sungguh merupakan penyimpangan terhadap makna toleransi itu sendiri. Bahkan
hal itu justru merupakan bentuk intoleran terhadap tuhannya sendiri karena
telah melanggar perintah-Nya. Mendukung pernikahan nikah beda agama dengan dalih
toleransi seperti itu sama saja menganggap bahwa orang yang nikah sesama agama
adalah orang yang intoleran. Kasus ini bagaikan orang muslim yang bertamu
kerumah non muslim dan disuguhi daging babi, lalu memakannya dengan dalih
toleransi. Maka, apapun alasannya dalam kasus ini tidak ada toleransi terhadap
sesuatu yang sudah jelas Intoleran.
Kemudian statement diatas juga mentolerir pernikahan beda agama dengan
mengatasnamakan cinta dan kasih sayang. Memang, sudah jadi rahasia umum bahwa
banyak kasus abnormal yang kemudian dinormalisasi atas nama cinta.
Pendukung LGBT pun mengatakan hal
seperti itu. istilah cintanya yang sesat
dinormalisasi dengan embel-embel
toleransi dan tentu dengan jurus andalan
mereka yaitu dengan menyebutnya open minded . Selanjutnya biasanya
mereka akan berdalih bahwa “kita harus memanusiakan manusia”. Dalih seperti ini
sangat ampuh mempengaruhi orang lain.
Mereka menormalisasi sesuatu yang seharusnya dilarang dengan embel
toleransi yang intoleran dan dengan open minded yang salah kaprah. Mereka
mengajak memanusiakan manusia, namun lupa menuhankan tuhan. Menikah lintas
agama jelas-jelas melanggar hukum agama termasuk islam yang secara tegas sebagaimana
dalam Q.s Al Baqarah ayat 221 . Mereka juga melanggar Fatwa MUI No.4/MUI/8/2005
yang menyatakan “perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah”.
Disamping itu pernikahan lintas agama juga tidak sah menurut UU No. 1/1974
pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “Pernikahan sah, bila dilakukan oleh pasangan
dengan agama yang sama”. Maka pernikahan yang tidak sah berarti telah
melakukan praktik zina. Oleh karena itu, bucin tak bisa ditempatkan diatas
segalanya. Nafsu yang mengatasnamakan cinta tak bisa menjadi alasan untuk mentolerir
pernikahan lintas agama.
Pembuat statement awal tersebut sebenarya telah melakukan
klarifikasi dan minta maaf atas tulisannya. Namun dengan adanya hal tersebut
membuktikan bahwa ada saja orang-orang yang mendukung pernikahan lintas agama.
Orang-orang tersebut bisa jadi ada dilingkungan sekitar. Namun ketika itu terjadi, jangan sampai malah ikut
mengglorifikasi dan menormalisasi pernikahan lintas agama. Pernikahan lintas
agama tetap tidak boleh dianggap normal. Toleransi dalam agama adalah
berdampingan bukan menggabungkan.
“If you tolerate everything, you
stand for nothing”
J
0 komentar:
Posting Komentar