Oleh: Muflikhah Ulya
Deretan
rapi beberapa buku yang tertutup debu agaknya menertawakan akhir dari sebuah
kisah cinta. Pak Jokpin pernah berfatwa, bahwa sumber segala kisah adalah
kasih, dan bahwa ingin berasal dari angan, dan aku adalah salah seorang yang
mengimaninya.
Namaku
Athiya, gadis pemuja susunan abjad berima dengan sisipan makna. Kecintaanku
pada dunia bernama literasi membawaku pada goresan luka paling pedih. Aku jatuh
cinta pada setiap susunan garis yang biasa orang menyebutnya abjad. Ku abdikan
diri untuk memahami, membersamai, dan menjadikannya pusat kehidupan.
Sampai
suatu hari, kutemukan figur serupa dewa pelukis goresan abjad. Namanya Nizar,
pria berhidung mancung keturunan salah satu pemuka agama di kota santri. Waktu
mempertemukan kami dalam acara “Praktikum Kutub”, sebuah ajang kompetisi yang
diadakan oleh pemerintah kabupaten Jombang guna meningkatkan minat dan bakat
para santri di bidang kajian turats. Dengan ketekunan dan usaha maksimal, pun
atas kehendak Allah aku meraih juara 2 dan dia meraih juara 1.
Dengan
bermodal status juara tersebut, pemerintah kabupaten Jombang akhirnya
memberikan kami kepercayaan menjadi delegasi perlombaan qiro’atul kitab tingkat
nasional. Berasal dari lembaga pesantren yang berbeda tidak menjadi halangan
bagi kami untuk tetap berdiskusi dan sharing terkait perlombaan yang rencananya
akan dilaksanakan 2 minggu kedepan.
Hari
perlombaan pun tiba, dan lagi-lagi pria dengan otak cemerlang itu menggaet
juara 1. Sedangkan aku hanya bisa mencapai peringkat lima finalis dengan nilai
terbaik. Hal tersebut tidak menjadikanku berhenti dan berkecil hati. Aku terus
mengasah minat dan bakatku di bidang kajian turats.
Perlombaan
pun usai. Namun tak demikian dengan aku dan Gus Nizar. Aku terbiasa memanggilnya
Gus karena kultur pesantren yang terbiasa menyematkan julukan tersebut bagi
putra seorang kyai. Seusai perlombaan, Gus Nizar masih sering menghubungiku
untuk sekedar mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang belum ia pecahkan.
Aku pun terbiasa memintanya mentashih bacaan kitabku, menjelaskan beberapa bab
yang belum aku pahami, atau sekedar menyimak hafalan Alfiyah-ku.
Di
sela-sela diskusi, tak jarang Gus Nizar melukiskan tinta membentuk susunan
garis bernama abjad dengan hiasan-hiasan kecil bernama kiasan. Salah satu
lukisan abjadnya masih melekat erat dalam kotak memoriku.
Maaf
pabila ku tak pandai melukiskan bait-bait cinta untukmu
Aku
bukan Ibnu Malik yang pandai meramu seribu bait nahwu dengan cinta
Pun
tak sepiawai Ibnu Aqil yang mencatat syarahnya dengan sempurna
Atau
Imam Shonhaji yang dengan ikhlas setulus cinta menorehkan kitab Al-Jurumiyah,
Hingga
lautan pun tak bersua melunturkan tintanya
Satu
lukisan abjad nyatanya mampu menjelma prolog sebuah kisah. Aku yang begitu
memuja rangkaian abjad, tak bisa menahan jemari untuk tak menggoreskan balasan
lukisannya. Begitulah awal dari angan yang menjadi ingin, pun kisah dari sebuah
kasih. Yang pada akhirnya, semua fatwa Pak Jokpin adalah benar adanya. Sampai
di penghujung tahun keenamku di pesantren, lukisan abjad itu masih berderet
rapi menghiasi buku catatan, kian hari kian panjang dan memenuhi setiap
halaman.
Tahun
terakhir dari perjalananku menuntut ilmu di kota santri, sebentar kuberi jeda
pada kisah untuk menjernihkan pikiran. Kota manakah yang harus aku kunjungi
selanjutnya.
Persis
seperti perkiraanku, bunda akan memberikan banyak rekomendasi universitas yang
tentu saja semuanya terdapat jurusan kedokteran. Maklum saja, hampir seluruh
keluarga bunda adalah dokter, mulai dari buyut, kakek, om, tante, pakde, bude,
beberapa keponakannya, dan begitupun bundaku. Dan jika diperhatikan, keluarga
kami memang yang paling unik. Bundaku adalah dokter spesialis kecantikan dan
ayahku adalah seorang dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di salah satu universitas
islam di kota Tangerang. Maka tak heran jika ayah dan bundaku memang sudah
terbiasa dengan perbedaan pendapat. Jangankan pendapat, keyakinan mereka pun
berbeda. Ibuku meyakini bahwa hanya yesus sang maha pengasih. Sedangkan ayah
meyakini bahwa tak ada tuhan selain Allah Rahmanurrohim.
Tak
seperti bunda, ayah memang tidak pernah banyak memberikan komentar. Yang dia
lakukan hanyalah memberikan semangat, dukungan pun juga do’a apapun pilihanku.
Namun kali ini berbeda, ayah menginginkan aku melanjutkan studi di salah satu
pondok pesantren tahfidzul Qur’an di kota Jogja. Dan seperti biasa, semua tetap
kembali pada pilihanku.
Setelah
meminta restu pada ayah dan bunda, aku memilih kota pahlawan sebagai destinasi
selanjutnya. Aku diterima di jurusan kedokteran dan tinggal di pesantren tak
jauh dari lingkungan universitas. Banyak yang bertanya-tanya, apa ngga capek
kuliah sambil mondok? Apa sanggup bagi waktu murojaah hafalan Qur’an? belum
lagi tumpukan tugas dan praktikum? Ditambah lagi biasanya klo udah jadi mahasiswa
pasti sibuk ikut organisasi? Tapi bagiku, kuliah di jurusan kedokteran adalah
pilihan, dan menuntut ilmu agama adalah kewajiban. Jadi bukan permasalahan kita
mampu atau tidak, tapi bagaimana kita mengusahakannya.
Aku
mulai memasuki dunia pendidikan dengan cakupan lebih luas. Menikmati proses
belajar dengan status mahasiswa baru di salah satu universitas terkemuka di
kota pahlawan. Aku mengabari Gus Nizar, menceritakan betapa senangnya aku
berhasil mewujudkan mimpi bunda dan ayah sekaligus. Pun aku bercerita, disini
aku masih dengan rutinitas dan kesibukan yang sama. Mengkaji kitab kuning,
mengikuti syawir dan forum batsul masa’il bersama teman-teman baruku. Aku juga
mulai aktif mengisi beberapa kajian di kalangan mahasiswa. Gus Nizar sangat
antusias mendengar semua ceritaku, dia terus-terusan memberikan pertanyaan. Aku
faham benar mengapa dia seperti itu. Dulu dia sangat ingin menjelajah sampai ke
sudut dunia untuk melihat betapa ilmu Allah itu memang tak ada habisnya. Tapi
apa mau dikata, sebagai putra tunggal dari kyai besar, ada banyak hal yang jauh
membutuhkan kehadirannya. Pesantren yang harus dia pimpin, santri yang harus
dia bimbing, dan syiar agama yang harus terus dikumandangkan.
Sudah
hampir satu tahun aku menyandang status sebagai mahasiswa kedokteran. Dan
selama itu juga, setiap bulan Gus Nizar
tak pernah absen mengirimkan berbagai macam kitab untuk kubaca dan kita bahas
bersama. Mulai dari kitab nahwu, ulumul qur’an, akhlak, fiqh, hadist ataupun
tasawuf. Sampai suatu hari di tahun keduaku sebagai mahasiswa kedokteran, tepat
diakhir bulan Juli, aku menunggu kitab-kitab itu datang, dan berakhir nihil.
“mmm,
mungkin beliau sedang sibuk dengan urusan pesantren” batinku. Aku menunggu
kedatangannya di bulan Agustus. Tapi, pun berakhir sama. Aku mulai khawatir
“apa jangan-jangan lagi ada masalah ya di pesantren. Apa aku tanya ya, tapi
nanti apa ngga mengganggu ya. Ta tapi, ah sudahlah, mungkin sebaiknya aku
menunggu saja, toh juga Gus Nizar kalo ada apa-apa pasti cerita.”
Sampai
di bulan Desember, penutup tahun keduaku, kitab-kitab itu tak kunjung datang.
Dan tak sekalipun Gus Nizar memberikan kabar. Aku harap-harap cemas. Kucoba
hubungi teman-teman Gus Nizar, pun juga semua kenalannya yang aku tau. Tapi
semua berakhir nihil. Pikiran dan perasaanku semakin kemalut. Aku tidak tahan
dengan semua ketidakjelasan ini “ada apa, mengapa, kenapa tiba-tiba begini. Apa
aku ada salah, atau apa aku yang kurang peka, atau memang sebenarnya ada
masalah di pesantren”. Kebingungan ini akhirnya membawaku pada keputusan untuk
pergi mengunjungi kota santri. Berniat sowan ke beberapa masayikh, berziarah
dan tentu saja mampir ke kediaman Gus Nizar untuk menanyakan kabarnya.
Tepat
setelah subuh di akhir tahun, langkahku membawa pikiran dan perasaanku mencari
tuannya. Sepanjang perjalanan, tasbih digital menjadi pelampiasan ujung
kecemasan dan kemalut rindu. Memuar semua memori tentang hari dimana kita
pertama kali bertemu, melihatnya membaca kitab, mendengarkan suaranya
melantunkan ayat, menatapnya serius membahas masa depan pesantren, dan
menemaninya memecahkan berbagai permasalahan masyarakat. Sampai suara sopir travel membuyarkan
lamunanku “mbak, niki sampun nyampe”.
Aku
bergegas keluar dari mobil sembari menata niat untuk menemui Gus Nizar dan
kedua orang tuanya. Dua santri putri yang berjaga di pos penerimaan tamu dengan
sigap menghampiriku “pangapunten, badene kepangge sinten njih?”
“Gus
Nizar, nopo wonten ndalem njih?” jawabku sambil menyalami dua santri tersebut
“kadose
Gus Nizar tasih tindak, menawi dateng garwonipun, Ning Naila wonten ndalem”
jawab santri sambil menunjuk ke arah rumah di sebelah pos penerimaan tamu
“garwonipun
sinten mbak? Abah yai nopo simah malih?” Tanyaku kebingungan
“oo
sanes, sanes, Ning Naila meniko garwonipun Gus Nizar” jelas santri tersebut
Deg!
Entah apa yang ada di pikiranku. Seketika kakiku lemas. Aku bingung menafsiri
ucapan santri tersebut. Agaknya kabar yang selama ini aku cari dan tunggu tidak
sebaik perkiraanku.
“loh
mbak, wonten tamu kok mboten disilahke. Monggo-monggo mbak pinarak” ucap salah
seorang perempuan berparas menawan sembari membuka pintu rumah Gus Nizar
“njih
pangapunten Ning, monggo pinarak mbak, meniko Ning Naila garwonipun Gus Nizar”
santri tersebut mempersilahkan aku masuk dan menatakan sandalku. Aku masih
berdiri mematung memandangi perempuan itu. Lalu tanpa kusadari ada setetes air
mata yang turun dan dengan sigap tanganku menghapusnya.
Aku
memasuki rumah Gus Nizar dan dipersilahkan duduk di ruang tamu. Seketika,
mataku tertuju pada foto berukuran cukup besar yang tergantung memenuhi sisi
dinding di sudut ruang tamu tersebut. Foto Gus Nizar mengenakan jas berwarna
hitam bersanding dengan istrinya Ning Naila yang mengenakan gaun putih bak
puteri, lengkap bersama keluarga besar abah yai.
Aku
duduk termenung. “pangapunten, panjenengan sinten njih?” Tanya perempuan yang
duduk di kursi sebelahku.
“dalem
Athiya ning, rencangipun Gus Nizar wekdal Madrasah Athiya riyen”
“Ooo
niki toh mbak Athiya, kadospundi mbak, sehat njih?”
“njih
alhamdulillah, sehat ning”
“alhamdulillah,
dalem remen sanget saget kepangge kalian panjenengan mbak. Saking awal
pernikahan meniko, mas Nizar sampun cerios katah. Dalem mireng panjenengan niki
salah satunggalipun rencang mas Nizar ingkang alim sanget” ucap perempuan yang
menunjukkan bahwa dirinya adalah istri Gus Nizar.
“Sekedap
njih, kulo kemutan niki wonten titipan saking piyambakipun, menawi panjenengan
pinarak dateng ndalem, dalem diutus nyampeaken” Perempuan itu tiba-tiba berdiri
dan bergegas menuju kamar yang ada di sebelah ruang tamu. Sedangkan aku masih
duduk terdiam sambil sesekali bertanya dalam hati “sebenarnya ini nyata atau
tidak?”
Perempuan
itu kembali dengan membawa dua lembar kertas “niki mbak, wonten titipan surat
kalih. Ingkang nomor satunggal meniko gambar bunga lili, ingkang nomor kalih
gambar kaktus. Ngendikanipun mas Nizar, monggo surat meniko diwaos menawi
panjenengan saksampunipun kundur saking ndalem”
“masyaAllah
injih ning, matur nembah nuwun, pangapunten kulo dados ngerepotaken
panjenengan. Amargi Gus Nizar mboten wonten ndalem, kulo ugi ngalap cekap,
pangapunten sanget dereng saget hurmat dateng abah yai kalian kaluargi”
“loh
mbak kok keseso mawon, nopo mboten ngerantos Gus Nizar? Kadose niki sekedap
malih sampun rawuh”
“sampun
ning sampun, salam dalem mawon dateng Gus Nizar kalian abah yai, pangapunten
sanget dereng saget dangu. InsyaAllah mangke menawi wonten lintu wekdal, dalem
sowan”
“oo
ngaten, njih pun mbak, matur nembah nuwun sanget sampun mampir. Mbok menawi
panjenengan dateng Jombang, monggo dalem aturi pinarak”
Sepulang
dari rumah Gus Nizar, aku mampir ke makam Kyai Husein yang berada tak jauh dari
pesantren tempatku menjadi santri selama enam tahun. Setelah berdo’a dan
melihat ke sekeliling. Aku memberanikan diri untuk membuka surat dari Gus
Nizar. Aku membuka surat pertama yang bergambarkan bunga Lily.
Jombang,
Ahad, 29 Juli 2018
Assalamu’alaikum
wr wb.
Apa
kabar Athiya? Aku harap kamu baik-baik saja. Aku harap kamu masih sibuk dengan
semangatmu melahap ilmu pengetahuan. Dan aku harap, surat ini tidak akan pernah
sampai di tanganmu.
Tapi,
jika memang surat ini telah sampai padamu, aku meminta maaf karena aku tidak
pernah sanggup menyampaikannya lebih awal. Tidak semua perasaan mampu
dikumandangkan, hingga memilih menulis untuk mengungkapkan. Semua tentang
cinta, rindu, bahkan kesedihan. Tak ada yang mati, nyawa akan tetap hidup.
Sebab engkau adalah nafas yang membuat imajinasi tetap hidup di segala sudut
kehidupan.
Hari
itu, Senin, 1 Januari 2018. Awal tahun dengan rentetan mimpi baru. Aku
memberanikan diri untuk mengakui dan jujur pada diri sendiri bahwa aku telah
jatuh hati. Pada rasa yang hadir lima tahun lalu, telah aku yakinkan bahwa
perasaan itu adalah rasa jatuh hati.
Aku
tidak mengerti mengapa kali ini aku berani jujur dengan perasaan diri sendiri.
Setelah membekukan perasaan selama sekian tahun, detik ini aku deklarasikan
bahwa perasaan itu telah mencair, melebur pada kata nyaman yang kamu hadirkan.
Pada
wanita yang kini membuatku jujur pada diri sendiri, kuucapkan terimakasih.
Tidak pernah kudapatkan keberanian seperti ini, meskipun itu perihal jujur pada
perasaanku sendiri.
Aku
sadar, keberanian ini akan menjadi awal dari sebuah perjalanan tanpa ada
pemberhentian. Tapi aku yakin, keberanian yang kamu ajarkan akan membawaku pada
akhir cerita yang indah. Meskipun aku tau, akhir cerita itu bukan kamu. Tapi
setidaknya hatiku pernah sejujur ini.
Pada
wanita yang mengajarkanku konsep sabar, terimakasih telah membawaku pada titik
ini. Titik yang kupijak sebagai langkah awal untuk berani tegap melihat masa depan.
Pada
wanita yang membaca surat ini. Aku jujur, bahwa seluruh rasa ini adalah
untukmu. Aku jujur, meskipun aku tau kejujuran ini tidak akan pernah sampai di
telingamu. Aku berani jujur, meskipun aku tau kejujuran ini tidak akan begitu
saja menjadikanmu akhir dari langkah awal yang saat ini kuperjuangkan.
Mencintaimu
mungkin sebuah kesalahan
Memilikimu
mungkin juga sebuah kemustahilan
Tapi,
menghadirkanmu di setiap do’aku bukanlah penyesalan
Nanti,
Ketika
rindu mulai hadir
Aku
akan mencoba menyapamu lewat angin,
Mencintaimu
dalam sujud,
Memelukmu
dalam do’a,
Lantas
menjagamu lewat tangan tuhan.
Nanti,
Saat
rapalan do’amu dan do’aku memiliki nada yang sama
Sejatinya,
saat itu kita telah bertemu
Pada
wanita yang mengajariku keberanian. Terimakasih karena pernah hadir.
Tertanda
Muhammad
Nizar Abdurrahman
Teman
diskusi yang telah kau ajarkan kejujuran dan keberanian
Aku
menghela nafas dalam-dalam sembari mengusap beberapa tetes air yang tanpa izin
terus mengalir membasahi pipi. Aku membuka surat kedua yang bergambar pohon
kaktus.
Jombang,
Jum’at, 03 Agustus 2018
Assalamu’alaikum
wr wb
Apa
kabar Athiya? Maaf sudah di bulan kesekian aku belum juga menanyakan kabarmu.
Aku harap kamu bisa memahami bahwa duniaku memiliki adat dan tanggung jawab
yang mengikat.
Satu
minggu yang lalu, setelah ummii berpulang meninggalkan kami semua, seluruh
tanggung jawab itu resmi berada di bahuku. Keadaan dan adat memaksaku
menghadirkan seorang perempuan bernama Naila. Putri dari salah satu kyai yang
juga teman dekat abahku sewaktu nyantri di pesantren Rembang. Aku tidak akan
menyalahkan keadaan ataupun kamu. Perbedaan latar belakang keluarga kita
bukanlah suatu hal yang harus disalahkan. Karena yang aku tau, semuanya memang
sudah ketetapan. Aku ingin kamu juga bisa meyakini bahwasannya terkadang, ada
beberapa hal yang cukup berhenti pada kata mengikhlaskan dan dijadikan
pelajaran. Karena aku yakin, semuanya akan baik-baik saja selagi kita mengimani
bahwa sebaik-baik iman adalah mengimani tuhan beserta ketetapannya.
Kini,
aku telah selesai dengan kata “mengusahakan”. Setidaknya, aku pernah mencoba,
sebelum akhirnya memang harus pasrah dan merelakan. Setidaknya kalau memang
tidak bisa bersama, ada hal yang membuatku tidak menyesal karena telah mencoba.
Kalaupun takdir memang berkata lain. Setidaknya aku sudah mencoba melapangkan
hati sejak sekarang. Setelah aku mengetahui, seberat apa mengusahakanmu dalam
langkah dan do’aku. Aku tau, bukan perkara mudah untuk menghadirkanmu dalam
ceritaku. Entah sebagai tokoh utama ataupun pelabuhan yang siap menjadi
persinggahan terakhir.
Bahwa
ketiadaan hanyalah untuk orang yang mengimani jarak. Dan bahwa tiada jarak
untuk orang yang mengimani perasaan.
Aku
yakin, akan ada rasa kehilangan. Saat rutinitas yang telah berlangsung beberapa
saat, harus diselesaikan karena tak lagi ada alasan yang memperbolehkan. Saat
keberlangsungan perasaan harus diselesaikan dalam keheningan selamat tinggal.
Semoga ini bisa menjadi ucapan selamat tinggal paling baik, sebelum semuanya
benar-benar harus diakhirkan.
Terimakasih
telah hadir pada pesta perayaan merelakan. Sampai jumpa di pesta perayaan
mengasingkan perasaan. Semoga kamu baik-baik saja, sampai semuanya benar-benar
dimulai di titik selanjutnya.
Athiya..
Matahari
telah mengajariku tentang terang
Sedangkan
rembulan adalah kamu yang menyusup secara perlahan
Keduanya
mungkin tak akan hadir bersamaan
Tapi,
Wujudnya
telah mengajariku mengelola perasaan
Kuharap
kamu tidak membenci pertemuan, sebab tuhan menghadiahkan kita kesempatan, juga
pelajaran.
Tertanda
Muhammad
Nizar Abdurrahman
Salah
seorang yang telah selesai mengusahakanmu
0 komentar:
Posting Komentar