Oleh: Ahmad Nasrul Maulana
Lima hari laluayah
dan ibu berdebat panjang, dan pagi inikami sekeluarga memutuskan untuk menuruti
permintaan ibu untuk kembali ke desa sesuai dengan apa yang diperjuangkannya
lima hari lalu.Ia bersikeras memohon kepada suaminya untukpulang ke desa sebelum
masa persalinannya tiba.Baginya melahirkan di desa lebih nyaman dan tenang
ketimbang di kota.
“Iya buk !
Sekitar pukul empat sore kami akan tiba di sana” ujar ibu melalui ponselnya.
Ibu mengenakan dress berwarna kuning telur dengan pinggiran putih. Bagian
belakangnya terdapat tali pengikat, akan tetapi ibu membiarkannya tidak terikat
dan ayah menyadari hal itu,
“Aku kesusahan
untuk mengikatnya”
“Sini ! biarkan
aku mengikatnya”
Di perjalanan
kali ini kami tidak banyak membawa barang dan pakaian. Ibu berkata bahwa semua
perlengkapan dan pakaian melahirkan berada di desa. Ibu sengaja tidak
membawanya ke kota seusai melahirkanku dulu. Mungkin karena hal itu pula ia
memilih untuk melahirkan di desa.
Rumahku berada
di ujung desa. Bagian belakangnya adalah hutan belantara sedang depannya adalah
kebun kecil yang dirawat oleh kakek sepanjang hari. Kakakku juga berada di
sana. Namanya Lian. Ia berbeda denganku yang bersedia tinggal di kota, akan
tetapi Kak Lian memilih untuk tinggal di desa bersama Kakek dan Nenek. Namun
Ayah akan tetap membawanya ke kota setelah ia lulus SMA.
“Pak, anakmu
sudah sampai” teriakan Nenek menyambut kedatangan kami sore itu. Ia memanggil
Kakek yang dengan sigap memakai baju dan berjalan keluar rumah. Ia
menghampiriku dan menggendongku seraya sesekali menciumiku.
“Wah cucuku
sudah besar ternyata” ucapnya
“Kek, Kak Lian
dimana?”
“Sepertinya
Kakakmu di belakang” aku bergegas lari ke belakang rumah untuk menemui Kak Lian.
Satu tahun lamanya aku meninggalkan rumah, berbagai perubahan puntumbuh di
sekitarnya. Salah satunya adalah pohon besar yang berdiri kokoh mengatapi rumah
dengan daun lebat menyelimuti dahannya.
Aku melihat Kak
Lian dan memanggilnya,
“Kak ! Sa'dan
datang, di depan juga ada ibu dan bapak”
Tidak ada
jawaban dari Kak Lian. Aku tidak banyak berprasangka tentang itu, mungkin ia
benar-benar tidak mendengarku. Untuk itu aku mendekatinya dan memanggilnya,
“Ngger
! Alam ikisejatining guru, lanmanungsaojorumangsanguwanenimarang guru”aku hampir terjatuh saat hendak berlari meninggalkan Kak Lian. Aku
tahu bahwa suara itu bukan darinya, namun dari sosok tua jaman dulu yang
berdiri di hadapannya. Aku melihat wujudnya.
“Kau kenapa
dek?” Ayah memelukku saat tiba di depan. Badanku panas dingin setelah mengalami
kejadian aneh itu. Aku berbicara terbata-bata saat Kakek menanyaiku,
“Kak Lian Kek,
dia dalam bahaya di belakang” tubuhku semakin gemetar tatkala Kak Lian berkata,
“Aku di sini dek, aku habis pulang dari Surau” Kak Lian datang memelukku, namun
aku mendorongnya.
“Kau kenapa?
Apa yang telah terjadi padamu?” aku tidak menjawab pertanyaan Kak Lian karena
tiba-tiba udara dingin menghujami tubuhku dan perlahan pandanganku kabur dan
gelap.
Tidak lama
kemudian kegelapan itu berubah menjadi sedia kala. Dadaku naik turun dan aku
benar-benar ketakutan. Tidak ada lagi Ayah, Ibu, Kakek, Nenek juga Kak Lian di
hadapanku. Semuanya kosong akan tetapi tidak dengan rumah ini. Aku melihat ada
sosok yang memperhatikanku dari samping rumah. Tanpa berpikir panjang aku
membuntutinya.
Sosok itu
berambut panjang serta mengenakanbaju adat Jawa, ada belangkon juga di
kepalanya. Ia berjalan sedikit pincang menuju rumah yang aku sendiri tidak
mengetahui siapa pemiliknya. Rumah itu sangat besar dan megah bak istana. Saat
aku berdiri mematung di depan gerbangnya tanpa sengaja aku melihat ke arah
kiri. Aku kembali dikejutkan dengan wajah-wajah buruk rupa yang memandangiku
dengan sangat tajam. Melihatnya membuat bulu kudukku berdiri. Aku ketakutan dan
berlari ke dalam rumah besar itu.
“Ngger
! Alam ikisejatining guru, lanmanungsaojorumangsanguwanenimarang guru”seorang tua berdiri di belakangku dan melontarkan kalimat yang
serupa. Saat aku melihatnya, seorang tua itu tersenyum namun tiba-tiba matanya
keluar dan dari mulutnya mengucur darah pekat. Aku berteriak sejadi-jadinya.
“Anakku ! Kau
sudah sadar nak !” aku bangun di dalam pelukan hangat Ibuku.
“Alhamdulillah
! Matur sembah nuwun gustiingkang sampan mirengdo'a-do'a para kawula”sambung Nenek seraya menangis terharu melihatku tersadar kembali.
“Ibu ini ada
apa?”
“Kau tidak
sadarkan diri selama lima hari. Dua malam sebelum kau tersadar, tubuhmu berada
di bawah pohon Ara saat pagi tiba. Kau juga sering mengucapkan kalimat
berbahasa Jawa yang berbunyi Alam ikisejatining guru,
lanmanungsaojorumangsanguwanenimarang guru. Oleh sebab itu aku memanggil
Pak RT agar membatalkan rencana pembangunan kantor kepala desa di lahan kosong sebelah
kiri rumah. Karena di sana adalah tempat para dedemit tinggal. Sedang pohon Ara
adalah istana bagi pemimpin mereka”
Ibuku menangis
sesenggukan mendengar cerita Kakek. Impiannya untuk melahirkan di kampung
halaman dengan nyaman pun sirna. Kami memutuskan untuk kembali ke Kota esok
harinya. Ini karena mata batinku akan selalu terbuka saat berada di sekitar
pohon Ara dan Kakek takut bahwa kejadian pahit ini akan terulang kembali.
0 komentar:
Posting Komentar