Oleh: Ahmad Nasrul Maulana
Semua barang
sudah dikemas di dalam ransel besar. Sebagian lagi oleh Bibi diletakkan di
dalam tas tenteng. Ia berpesan kepadaku agar menyusun tas berisi opak di bagian
paling atas saat berada di dalam bus kota nanti.
“Jika sudah
tiba di patung Kendedes segera hubungi Cak Ali, biar ia tidak tergesa
menjemputmu di terminal” ujar Bibi seraya menutup resleting ransel yang tampak kelebihan
muatan.
“Baiklah bi,
aku akan menghubunginya nanti”
Pak Darsono
selaku tukang bentor ke terminal telah siap membawaku pergi. Senyumnya merekah
lebar. Mungkin barangkali aku adalah pelanggan pertamanya. Aku menyalami
siapapun yang hadir di pekarangan rumahku. Tidak sedikit pula tetangga kanan
kiriku menyelipkan uang ke dalam sakuku. Aku menolaknya, namun Bibi-Bibi
bersikeras agar aku menerimanya.
Asap bentor
mengepul hitam keluar dari gang kecil rumahku. Bergelut dengan udara bersih
khas pagi di kampungku. Sepanjang jalan tidak ada percakapan antara aku
dan pak Darsono. Bukan karena apa, akan
tetapi suara mesin bentor berbunyi sangat nyaring hingga memekikkan telinga.
Hampir berjalan
sekitar setengah jam, kini jalanan koral telah berganti dengan aspal hitam, ini
menandakan bahwa jarak ke terminal tidak jauh lagi. Jalanan yang awalnya
lengang perlahan ramai oleh lalangan transportasi. Lampu PJR yang masih menyala
bekas malam hari, baleho yang membentang tinggi dan warung-warung kecil yang sesak
oleh penikmat kopi, menyambut pagiku di jalanan kota ini.
“Kau ingin
turun di sini atau masuk hel?” pak Darsono mematikan mesin bentornya. Ia
sedikit mengangkat lehernya lalu menghadap kanan kiri seperti mencari sesuatu.
“Aku berhenti
di sini saja pak, toh nanti busnya juga keluar dari sini”.
“Baiklah hel,
biar aku yang menurunkan barang-barangmu”
“Terimakasih,
pak !”
Di tengah Pak
Darsono menurunkan barang-barangku, bus bertulis jurusan yang kutuju merayap
keluar dari dalam terminal. Pak Darsono dengan gegas melambaikan tangan sebagai
isyarat bahwa ada penumpang yang hendak naik ke dalam bus, dan itu aku.
“Hati-hati ya
Rahel, titip salam buat Cak Ali” ucap Pak Darsono sebelum meninggalkan bus yang
kutumpangi.
“Ini pak
uangnya dan ini Rahel ada jam tangan buat Ara, putri bapak. Kebetulan Rahel punya
dua jam tangan, disimpan ya pak!”
“Wah terima
kasih banyak Rahel, ini masih bagus sekali. Semoga kebaikan selalu menyertaimu
hel”.
“Amin ! Semangat
kerjanya ya bapak”
Bus berjalan
meninggalkan bibir pintu keluar terminal. Aku memilih duduk di samping kaca
yang mengarah keluar. Di pagi hari isi bus memang sepi, hanya ada segelintir
kepala saja yang memutuskan untuk pergi menggunakan bus ini.
Sekitar seratus
meter kiranya. Seorang penumpang masuk ke dalam bus yang kutumpangi. Nafasnya tersengal-sengal
seperti habis dikejar masa. Aku terkejut, pria berhoodie hitam dengan
masker yang menutup mulut dan hidungnya itu memilih duduk di sampingku. Ia
bahkan tidak mengucapkan permisi kepadaku. Benar-benar pria aneh, batinku.
Sepanjang
perjalanan kami berdua hanya membungkam suara. Ia mengarahkan pandangannya ke
depan sedang aku memilih menghadap ke jendela untuk melihat pemandangan.
“Mas tiket, lima
belas ribu”
“Mas bangun
mas, tiketnya”
“Mas, lima
belas ribu”
Sedikit
terkejut aku melihatnya. Bagaimana bisa ia tiba-tiba tertidur pulas sedang beberapa
menit lalu ia masih menatap kaca depan dengan wajah masamnya. Sungguh pria
aneh.
“Berapa pak?”
aku mengeluarkan selembar lima puluh ribu dari saku. Tak lama kemudian bapak
tukang karcis itu memberiku uang kembalian.
“Bapak maaf, sepertinya
bapak salah hitung hehe”
“Salah hitung
bagaimana mbak?”
Aku menghitung
berulang kali untuk memastikan, tapi kali ini aku benar, uang yang bapak berikan
jumlahnya kurang.
“Harusnya
kembali tiga puluh lima ribu pak, tapi bapak hanya memberiku uang kembalian dua
puluh ribu saja”
“Iya mbak, kan
mbak sama cowoknya” dengan jari telunjuknya, bapak itu menuding pria aneh yang
masih nyenyak dalam tidurnya.
“Dia bukan
cowok saya pak !” aku mengernyitkan dahi.
“Ya sudah,
nanti kalau masnya bangun, mbaknya minta uang tiket ke dia. Nah, ini tiketnya
untuk kalian berdua”
“Oh begitu ya
pak, ya sudah pak terima kasih”
“Sama-sama. Tapi
kalau dilihat-lihat kalian berdua kayak Lesti sama Billar hahaha”
“Mana ada pak”
Dua jaman bus
melaju. Kursi penumpang perlahan mulai penuh. Tatkala aku masih asyik
melihat-lihat pemandangan sambil mendengarkan lagu dengan headset.
Tiba-tiba saja pria itu menjatuhkan kepalanya di bahuku. Aku sempat geram.
Namun wangi rambut dan bajunya membawa nuansa yang berbeda di hidungku.
Aku mendengusi
harum aromanya. Sial, itu membuat ia terbangun dari tidurnya. Ia mengangkat kepalanya
dari bahuku, kukira ia hendak mengucapkan maaf akan posisi tidurnya. Ternyata
salah, ia hanya mengubah posisi tidurnya saja.
“Dasar pria
aneh!” aku menggerutu
“Bilang apa
kau?” sial, ternyata pria itu tidak tidur dan ia mendengar gerutuku.
“Kau pria aneh”
“Kurang ajar!” pria
itu membuka hoodie yang membungkus kepalanya lantas ia membuka
maskernya. “Ya Tuhan, indah nian
ciptaanmu” gumamku dalam hati. Ia menjatuhkan wajahnya di hadapanku. Matanya
berbinar indah, tepat di atasnya alis hitam menjuntai tebal. Hidungnya juga mancung,
sangat serasi dengan kumis tipis di bawahnya. Wajahnya manis ditambah rambut
hitamnya yang sangat eksotis.
“Kenapa kau
menatapku seperti itu? Kau menyukaiku?” dengan sengaja ia semakin mendekatkan
wajahnya ke arahku. Aku membalasnya dengan dorongan seraya membalas “Dih...tidak
usah over confident cowok aneh”
“Aku? Aneh?”
“Iya kau aneh, sejak
pertama masuk dan duduk di sini kau sudah aneh. Kau bahkan tidak mengucapkan
permisi saat akan duduk di sebelahku. Lebih anehnya lagi, mengapa kau memilih duduk
di sebelahku sedangkan masih banyak kursi yang kosong? Oh, apa jangan-jangan
kau yang menyukaiku.” Mendengar kata-kataku, raut wajah pria itu berubah
menjadi seperti seorang gadis yang bertemu ulat bulu, geli. Tanpa
menghiraukannya, aku terus melanjutkan
ocehanku.
“Bukan hanya itu, kau juga tidak sedikit pun berkeinginan
untuk mengucapkan maaf saat kepalamu bersandar di bahuku, itu sangat sakit pria
aneh, dan kau tanpa bersalah tidur seenaknya.”
“Sudah selesai ngomongnya?”
“Belum. Satu
lagi, kau masih berhutang lima belas ribu kepadaku untuk membayar bismu. Ini
tiketmu dan kembalikan uangku”
Tanpa berpikir
panjang, pria aneh itu merogoh saku hoodienya. Ia mengeluarkan sebungkus
kantong plastik yang seperti membungkus sebuah benda. Kemudian ia menatapku
lekat-lekat dan berujar dengan suara beratnya.
“Pertama, aku
ingin meminta maaf atas ketidaksopananku kepadamu. Kedua, aku berterima kasih akan
kebaikanmu yang sudah membayar busku. Ketiga, aku hanya punya ini. Ambillah!
Aku memberikannya kepadamu”
Aku menerima
bungkusan keresek hitam itu. Lantas pria itu berdiri dan berjalan ke depan. Menyadarinya aku refleks
menarik tangannya.
“Ada apa?” ia
menoleh kepadaku, aku tersipu.
“Kau mau ke
mana?”
“Aku sudah tiba
di tujuanku, jadi aku harus turun sebelum bus ini kembali berjalan”
Aku mengulurkan
tangan kepada pria itu, ia membalasnya dengan tangan yang sangat dingin.
“Rahel”
“Arhan”
Bus kembali
melanjutkan perjalanan setelah menurunkan pria aneh itu. Aku sedikit merasa
kehilangan. Kehilangan harum rambut dan badannya. Sepertinya aku jatuh hati
kepadanya, pria bertubuh wangi.
Sembari
menunggu bus tiba di tujuanku, aku memilih membuka bungkusan dari pria bertubuh
wangi itu. Isinya tidak terlalu besar dan seperti terdapat kotak lagi di
dalamnya.
“Apaaaa?” aku
tersontak. Pria bertubuh wangi itu memberiku sebuah jam tangan yang sama persis
dengan jam tangan yang kuberikan kepada Ara, putri pak Darsono. Namun aku masih
berbaik sangka, kalau jam tangan seperti ini tidak hanya satu di dunia.
“Mbak turun
patung Kendedes bukan? Ayo mbak maju, sudah mau tiba”
“Oh baik pak,
terima kasih”
Sambil terseok
karena membawa tas-tas yang sangat berat, aku keluar dari bus kota dan memilih
duduk di halte dekat patung Kendedes. Tiba-tiba seseorang memanggilku
“Rahel !!”
Itu suara Cak
Ali, ternyata ia sudah menungguku di sini. Aku bahkan lupa menghubunginya saat
di bus.
“Cacakkk !!” ada
yang beda dengan Cak Ali. Wajahnya seperti sedang menahan duka yang sangat
mendalam.
“Ada apa cak?
Sepertinya kau habis menangis?”
“Kau belum
mengetahuinya hel?”
“Soal apa cak?”
“Pak Darsono
meninggal hel, ia dibunuh dan dirampok”
“Cacak yang
benar saja”
Bergegas aku
membuka ponselku untuk memastikan kebenarannya. Dua puluh pesan masuk dan semua
hampir menanyakan keadaanku dan berita kematian Pak Darsono. Mungkin mereka
juga mengkhawatirkanku secara aku adalah orang yang tadi pagi bersama Pak
Darsono.
Firasatku
semakin kelam. Hanya ada satu nama yang menggelayuti pikiranku. Arhan. Saat ia
tiba di bus nafasnya tersengal. Mungkin ia lari ketakutan setelah melakukan
perbuatan biadab itu. Kedua, Arhan memberiku jam tangan yang hampir sama persis
dengan yang kuberikan kepada Ara.
Bodohnya aku. Bagaimana bisa aku tidak menyadari bahwa pemilik wangi rambut dan badan yang hampir membuatku jatuh cinta ternyata adalah pembunuh pak Darsono. Lalu apa tujuannya ia membunuh tukang bentor yang bahkan tidak pernah sekalipun mengganggu orang. Siapa yang menyuruhmu Ardan?
0 komentar:
Posting Komentar