![]() |
Sumber : Pribadi |
Astri Liyana N
Belakangan ini kata bucin sedang
marak-maraknya di kalangan kawula muda. Katanya sih, kata bucin ini
menyimpan makna di mana seseorang yang sedang dimabuk cinta, sehingga bisa
melakukan hal-hal yang irrasional demi sang pujaan. Budak cinta atau yang kita
kenal sebagai bucin, atau jika kalian setuju kita bisa mengistilahkannya
sebagai rasa cinta tanpa logika. Bagaimana tidak, seseorang yang sedang ‘bucin’
sering kali melakukan hal-hal yang dia sendiri mungkin tidak pernah dilakukan
dalam hidupnya.
Sejalan dengan itu, ada satu buku yang sangat
menarik perhatian saya, setelah berbulan-bulan mengharapkannya, akhirnya sampai
juga di tangan saya. Senang bukan kepalang. Saya langsung duduk tak berkutik
dan melahap habis buku itu dalam waktu satu jam. Buku tersebut berjudul “Ikhlas
Paling Serius”karya Fajar Sulaiman.Seorang pria yang bertanah kelahiran sama
dengan saya, yakni Banten. Lahir pada 18 Mei 1992.
Sepanjang membaca buku ini, saya tidak lepas
dari kata “Waah..gila”, “Bener-bener ya, nih orang” suatu
ungkapan yang refleks saya ucapkan. Tulisannya mampu membuat hati saya
porak-poranda, cieilaah:v. Gimana ya, hampir semua yang
dituliskan dalam buku ini, relate dengan kehidupan yang yaa..bisa
dikatakan pernah saya alami. Bukan hanya saya, mungkin pembaca yang lainnya pun
akan merasakan demikian. Saya yakin betul, tulisan yang beliau buat ini
benar-benar ditulis dengan hati paling dalam. Sebab, sesuatu yang disampaikan
dengan hati, akan sampai ke hati pula. hehe.
Lebih dari itu, kata-kata beliau juga mampu
membuat kita mengingat masa lalu yang sebenarnya sedang berusaha kita lupakan.
Jadi, yang mau membaca buku ini, hati-hati saja. setiap ungkapan dalam buku
ini, mampu membuat ingatan yang ingin kita kubur dalam-dalam, malah terkuak
kembali ke daratan.Contohnya kata-kata yang satu ini:
Bagaimana hati yang awalnya utuh
dibuat runtuh oleh raga yang
tidak bertangggung jawab
bisa dengan mudah pulih?
jika melupakannya saja masih tertatih.
(Fajar Sulaiman, 153).
Selain membuat kita mengingat masa lalu,
tulisan ini juga mengandung sebuah tamparan tidak langsung;“Kita ternyata
dinasibkan sebagai sebuah ‘pernah’ bukan ‘selamanya’ seperti yang kita dambakan”
(hlm. 159). Dalam memaknai konteks ini, kita dianjurkan untuk mencintai sesuatu
sewajarnya saja, seperti mencintai pacar anda, gebetan, or whatever it’s
called. Tapi kalau dalam konteks ini kita menempatkan orang tua, waah,
tidak bisa kita memaknainya dengan “mencintai sewajarnya” justru harus
“sebesar-besarnya”, karena kita tidak akan selamanya bersama, seperti yang kita
damba.
Di samping itu, tulisan ini juga menghibur.
Seolah-olah kita memiliki seseorang yang memahami perasaan kita, yang kadang
kita tidak bisa menceritakannya kepada orang lain. Entah ketika itu, saya
sedang mengalami apa dan perasaan saya bagaimana, namun yang pasti, saya
terhibur oleh kata-katanya:
senang akan hilang, sedih akan letih,
luka dan air mata, tawa dan bahagia, hanya
sementara,
jadi tak perlu berlebihan dalam menyikapi
perasaan. (hlm. 151).
Membaca buku Ikhas
Paling Serius menjadi sebuah usaha baru untuk menata hati, menjadi awal
bertumbuh, dan mengantarkan kita pada sejatinya sebuah keikhlasan atas
kehidupan yang sedang kita jalani.
0 komentar:
Posting Komentar