Source Image: https://www.masrofiq.com/2020/ |
Oleh: Siti Laila ‘Ainur Rohmah
Salahuddin Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Sholah adalah putra
KH Wahid Hasyim (1914-1953) dan cucu Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari
(1899-1947). Semenjak meninggalkan kegiatan-kegiatannya di perusahaan pada
tahun 1998, Gus Sholah mempunyai banyak waktu luang. Kesempatan ini tidak beliau
sia-siakan yakni dengan memperbanyak bacaan dari buku- buku. Gus Sholah di usia
muda sudah gemar membaca buku, maka tak heran jika beliau telah memakai kacamata
saat itu. Bahkan, semua anak Kiai Wahid sudah berkacamata sejak kecil.
Di saat yang bersamaan, sembari tekun membaca, perlahan-lahan Gus
Sholah juga membiasakan diri untuk menulis. Sebelumnya beliau merasa hampir
tidak akan pernah mampu menulis, beda seperti kakaknya, Gus Dur yang sejak
kecil terbiasa menulis dan kelihatan dari bakatnya yang menonjol di bidang ini.
Di waktu kuliah dulu, Gus Sholah hanya sempat menulis sekali pada
tahun 1964 di Majalah Djaja. Tulisannya ketika itu tentang Wanadri,
organisasi pendaki gunung di mana Gus Sholah bergabung sejak tahun 1964. Kemudian,
sekitar tahun 1993 sebagai Sekjen INKINDO, Gus Sholah menerbitkan majalah
Konsultan di mana beliau menjadi pimpinan redaksinya.
Pada awalnya, Gus Sholah merasa tidak dilahirkan sebagai penulis.
Tapi, benarkah untuk menjadi penulis perlu kepastian takdir? Tidak! Menulis adalah
kebebasan. Menjadi penulis adalah pilihan. Siapapun bisa menjadi penulis,asal
ia mampu menggerakkan pena, berani menuangkan fikiran dan mengukirnya ke dalam
lembaran demi lembaran. Dari semangat inilah akhirnya Gus Sholah berusaha keras
untuk bisa menulis. Tak perduli berapa kertas yang disobek setelah menuangkan
ide-idenya, karena tidak ada kata menyerah dalam kamus hidup Gus Sholah.
Pertama-tama, beliau menulis di harian Republika, kemudian menulis
di Kompas. Ternyata tulisan-tulisan ini tidak langsung dimuat. Hal ini tidak kemudian
membuat Gus Sholah berhenti menulis, tetapi beliau kembali mencoba lagi dan
mengirimkan tulisan-tulisannya hingga tulisan beliau muncul juga di harian
nasional tersebut. Selain di kedua media di atas, tulisan-tulisannya juga muncul
di berbagai media lain, baik di tingkat pusat maupun daerah, seperti Jawa Pos.
Tulisan-tulisan Gus Sholah banyak menyoroti berbagai persoalan yang
sedang dihadapi umat dan bangsa, termasuk yang dihadapi NU komunitas di mana
beliau menjadi bagian di dalamnya. Beberapa tulisannya tentang NU menggambarkan
peran sertanya untuk turut melakukan upaya-upaya pencerdasan dan pendidikan
politik, terutama bagi warga NU.
Pemikiran dan gagasan-gagasan Gus Sholah pun kerap berbeda dengan
kakaknya, Gus Dur. Bahkan, beliau pernah berpolemik dengan Gus Dur tentang
hubungan agama dan negara di harian Media Indonesia yang telah dibukukan
oleh Forum Nahdliyyin Untuk Kajian Strategis, Jakarta dan diberi judul KH. A.
Wahid Dalam Pandangan Dua Putranya. Dialog Gus Dur – Mas Sholah mengenai
pandangan politik Keislaman Sang Ayah (1998).
Meski Gus Dur secara riil paling berpengaruh di kalangan nahdliyyin,
namun Gus Sholah tidak serta merta mengikuti arus pemikiran Gus Dur. Dari
Keluarga Kiai Wahid sendiri telah diajari hidup moderat, demokratis, bebas
berpendapat dan saling menghargai perbedaan. Hal ini kemudian yang menjadi
sebab perbedaan dari pemikiran-pemikiran kritis Gus Dur dan Gus Sholah. Tampaknya
Gus Sholah ingin memunculkan pemikiran dan gagasan kritis yang dijadikan
alternative pemikiran di tubuh NU. Bukankah adanya perbedaan itu lalu khazanah
pemikiran semakin luas dan ka semakin luas dan kaya? Inilah rahmat adanya ikhtilaf,
sekaligus menjadi bukti progesifitas pemikiran di kalangan warga NU yang
akhir-akhir ini tidak bisa dipandang sebagai kaum trasionalis kuno dan
konservatif. Selain itu, kedua kakak beradik ini berperan aktif dalam memajukan
pola pikir dan wacana intelektual umat Islam, khususnya kaum nahdliyyin.
Bersambung….
Sumber : Taufiqurrahman. 2011. Kyai Manajer Biografi Singkat
Salahuddin Wahid. Malang:
UIN-Maliki Press.
0 komentar:
Posting Komentar