Oleh : Muflikhah Ulya
Beberapa waktu lalu, saya telah selesai
mengkhatamkan empat buah novel, yang mana keempat novel tersebut memiliki topik
pembahasan yang hampir sama. Keempat novel tersebut diantaranya adalah “Hati
Suhita” karya Ning Khilma Anis, “Dua Barista” karya Ning Najhaty Sharma, “Pudarnya
Pesona Cleopatra” karya Habiburrahman El Shirazy, dan yang terakhir adalah “Cidro” karya
Taufiqurrahman Al-Azizy.
Jika ditarik benang merah, keempat novel
tersebut memiliki konflik utama yang sama. Yakni tentang bagaimana implementasi
dari konsep birrul walidain ternyata tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Karena dalam implementasinya, terkadang ada beberapa hal yang harus
direlakan, ada yang harus diperjuangkan, dan ada pula yang harus diterima begitu
saja dengan ikhlas berlapang dada.
Konflik dalam empat novel tersebut bermula
dari adanya sebuah tradisi yang biasa kita sebut dengan istilah perjodohan. Di
era yang sudah militan seperti saat ini, mungkin menurut beberapa orang tradisi
perjodohan tidak lagi menjadi suatu tradisi yang biasa dilakukan. Meskipun
demikian, masih ada beberapa orang yang melakukan tradisi tersebut. Beberapa
diantaranya yang paling sering terjadi adalah perjodohan di kalangan pesantren.
Dan kebetulan, tiga dari empat novel yang telah saya sebutkan di atas memiliki
latar cerita di pondok pesantren.
Keempat novel yang telah saya baca, seluruh
konfliknya bermula dari tradisi perjodohan. Bermula dari pertanyaan, manakah
yang lebih unggul, cinta atau birrul walidain? Atau apakah keduanya sejajar?
Atau mungkin di antara keduanya tidak ada yang harus diunggulkan?
Dalam novel “Hati Suhita” misalnya. Bagaimana
akhirnya Gus Biru dan Ning Alina Suhita bisa bertahan dalam pernikahan yang tanpa
didasari rasa cinta sedikitpun. Pernikahan keduanya dilakukan atas dasar
keinginan kedua orang tua Gus Biru menjodohkan keduanya. Dalam sudut pandang orang
tua Gus Biru, Ning Alina Suhita adalah tokoh yang sangat cocok untuk dihadirkan
ke dalam keluarga mereka. Ning Alina Suhita dihadirkan dengan harapan dia dapat
membantu untuk mengajar, mengabdi dan berkhidmah sebagai pengasuh di pondok
pesantren keluarganya. Namun, perjodohan tersebut tidak sepenuhnya berjalan
lancar. Hal ini dikarenakan jauh sebelum menikah, Gus Biru telah menyimpan nama
seorang perempuan dalam hatinya. Meskipun demikian, Gus Biru akhirnya sepakat
dengan kedua orang tuanya untuk dijodohkan dengan Ning Alina Suhita, dengan
harapan Alina Suhita dapat memenuhi keinginan dan harapan kedua orang tuanya
untuk mau berkhidmah di pesantren milik keluarganya.
Hampir sama dengan novel “Hati Suhita”, novel
dengan judul “Dua Barista” karangan ning Najhaty Sharma juga berisikan cerita
dengan topik perjodohan. Bagaimana akhirnya Ning Mazarina rela dipoligami oleh
suaminya yakni Gus Ahvash. Poligami tersebut dilakukan karena setelah empat
tahun pernikahan, keduanya belum juga dikaruniai momongan. Sedangkan Gus Ahvash
memiliki kedudukan sebagai putra tunggal dari pengasuh pesantren dengan ribuan
santri. Dengan demikian, tugas Gus Ahvash tidak hanya berkhidmah di pesantren,
namun juga memberikan keturunan sebagai penerus estafet kepemimpinan di
pesantren. Maka, salah satu cara agar keduanya dapat memiliki keturuan adalah
dengan melakukan pernikahan kedua atau poligami. Dalam hal ini, Ning Mazarina dengan
ikhlas menerima keputusan untuk dipoligami. Bahkan, Ning Mazarina sendiri yang memilihkan
perempuan untuk dijodohkan dengan Gus Ahvash. Perempuan tersebut tak lain
adalah khodimahnya sendiri yang bernama meysaroh. Dari pernikahan kedua
tersebut, Gus Ahvash akhirnya dapat memiliki keturunan.
Dalam novel “Pudarnya Pesona Cleopatra” karya Habiburrahman
El Shirazy. Diceritakan tentang kisah seorang
laki-laki yang dengan terpaksa menikahi seorang perempuan bernama Raihana.
Gadis jawa dengan paras manis dan perangai lemah lembut. Dia dengan rela melalukan
pernikahan tersebut karena perjodohan yang telah disiapkan oleh kedua
orangtuanya jauh sebelum dia dilahirkan. Hal tersebut dilakukan semata-mata
hanya karena dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Meskipun jauh sebelum
dia mengetahui perjodohan tersebut, dia telah memiliki kriteria perempuan yang
ingin dia nikahi. Menghabiskan beberapa musim untuk belajar di kota mesir
membuatnya berfikir bahwa standar perempuan idamannya adalah wanita cantik
dengan kulit kecoklatan dan hidung mancung khas mesir seperti ratu Cleopatra.
Novel yang terakhir berjudul “Cidro” karya Taufiqurrahman Al-Azizy. Novel
ini bercerita tentang kisah hidup seorang pemuda bernama Husein. Husein adalah seorang santri, hafidz al-Qur’an, ahli
kitab kuning, dan juga sarjana dengan predikat Cumlaude. Konflik dalam
novel ini dimulai ketika ayahnya meninggalkan ibunya demi menikah lagi dengan
wanita lain. Kemudian ibunya jatuh sakit dan bahkan dapat dikatakan telah
terkena gangguan jiwa. Demi mengurus ibunya yang sakit, kang Husein rela
meninggalkan deretan mimpi, prestasi dan juga karir yang telah dia bangun. Tak
hanya itu, niatan untuk mempersunting kekasihnya yang bernama Halimah juga
urung dilakukan. Husein yakin Halimah akan bersabar menunggu dia kembali
setelah ibunya sembuh. Namun, kenyataan tak sebaik harapannya. Dia kehilangan
Halimah. Halimah, kekasih tersayangnya itu, ternyata telah menikah dengan
lelaki lain. Halimah telah dinikahkan oleh kedua orangtuanya dengan seorang
pemuda yang tak lain adalah anak dari pengusaha kaya raya di desanya.
Beberapa cerita dari empat
novel tersebut mengajarkan kita bahwa dalam mengimplementasilan konsep birrul
walidain tidak hanya butuh niat dan keteguhan, namun juga keikhlasan.
0 komentar:
Posting Komentar