Oleh Erwin
Suasana sunyi, tenang, damai, dan perasaan kagum nampaknya masih
terasa bagi santri pondok pesantren Darun Nun yang baru saja melakukan
Benchmarking ke Pesantren Kreatif Baitul Kilmam. Pondok persantren yang
terletak di pedalaman Provinsi D.I. Yogyakarta itu merupakan pondok pesantren
yang bayak menghasilkan karya tulis seperti terjemahan kitab, novel, cerpen dan
lain-lain. Salah satu karya mereka yang cukup fenomenal adalah terjemahan kitab
tafsir al-qur’an yang sampai berjilid-jilid.
Namun, dibalik karya besar itu terdapat wajah-wajah penulis yang ditinggal pas
lagi sayang-sayangnya. Dikatakan, mereka adalah orang-orang yang hatinya patah
sebanyak sepuluh kali namun tetap menampilkan wajah full senyum. Tentu saja,
terlepas dari tepat atau tidaknya jumlah
tersebut, adalah perumpamaan bahwa hati mereka sudah sering di obrak-abrik,
entah itu sepuluh bahkan lebih sekalipun. Lalu, mereka bangkit dari sakit hati
tersebut dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya sehingga mampu menerbitkan
banyak karya. Mereka memprespektifkan patah hati yang awalnya sesuatu yang
perih menjadi privilege dalam berkarya.
Patah hati adalah privilege. Mendengar penyataan tersebut
tentu saja banyak orang yang akan tidak setuju. Karena patah hati merupakan
sesuatu yang perih serta penyebab nomor wahid rasa sesak di salah satu organ.
Sedangkan privilege menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI)
merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris yang memiliki arti hak istimewa. Lalu bagaimana penulis bisa berpandangan bahwa
patah hati adalah hak yang istimewa?.
Pertama-tama, tak dapat dipungkiri bahwa patah hati (sakit hati)
merupakan fase yang hampir pasti dialami oleh setiap manusia. Dalam pandangan
agama islam patah hati merupakan ujian, sekaligus hukuman tatkala kita terlalu
berharap pada sesuatu yang juga merupakan ciptaan. Dalam hal ini, patah hati juga
dapat membuat spritual seseorang semakin tinggi. Kemudian terlepas dari unsur
spritual, patah hati menemani kita menuju fase dewasa dalam hal menalar dan
berperilaku. Hal tersebut juga sejalan dengan pandangan stoisisme, bahwa patah
hati akan membuat mental lebih siap dalam menyikapi hal-hal yang akan terjadi
dikemudian hari yang tak sesuai dengan ekspektasi.
Memang tidak ada orang yang akan mengakui bahwa patah hati itu
sesuatu istimewa. Tapi, coba kita
perluas lagi cakupannya. Karena diakui atau tidak dan mekipun terdengar agak klise, ada banyak cerita seseorang yang
kemudian membuat sesuatu yang besar
berawal dari patah hati. Contohnya saja adalah terbitnya karya bertajuk “Awal
langkah”. Dimana novel ini ditulis oleh salah seorang kreator, penyayi, serta
pemilik akun twiter dengan followers terbanyak se-Indonesia, siapa lagi kalau
bukan Fiersa Besari, orang yang juga dijuluki sebagai “Si Paling Ngerti
Kehidupan”. Novel tersebut berisi tentang memori si mahluk indie selama
melakukan perjalanan dalam rangka menebus hati yang terluka.[1]
Novel ini juga kemudian menjadi seluk-beluk terbitnya beberapa novel
berikutnya. Pada kasus yang lain patah
hati mampu mendirikan Club kelas dunia. Contoh nya adalah terbentuknya Club jawara
Liga Champions 2019 yaitu Liverpool F.C. Dimana Club ini dikisahkan
terbentuk karena pemilik stadion Anfield merasa sakit hati atas klub Everton
yang memilih pindah ke satadion tetangga untuk dijadikan markas. Liverpool F.C
kemudian dibentuk untuk menyaingi Everton dan pada akhirnya Liverpool diatas
kertas maupun trofi mampu lebih unggul dibanding klub rivalnya tersebut di semua kompetisi,
semua berawal dari patah hati.
Pada dasarnya patah hati menjadi privilege adalah tergantung bagaimana kita menyikapinya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa patah hati mampu memicu sesuatu yang buruk juga. Kita tidak mungkin menutup mata bahwa banyak orang yang patah hati kemudian berakhir bunuh diri dan merugikan orang lain. Maka dari itu seperih apapun, tuntunlah kepada sesuatu yang positif.
0 komentar:
Posting Komentar