Moh. Rizal Khaqul Yaqin
Berbicara tentang Aksara Jawa, kita tidak akan jauh
membahas salah satu tokoh yang dianggap kebanyakan masyarakat Jawa sebagai
cikal bakal penemu Aksara Jawa yakni Ajisaka. Banyak
versi sejarah atau ragam legenda yang mengisahkan tentang asal usul, tugas, kehidupan Ajisaka di tanah Jawa. Ajisaka dianggap sebagai
leluhur pembawa peradaban masyarakat Jawa Kuno atau Nusantara pada umumnya,
legenda Ajisaka ini terus dipercayai dan diceritakan turun-temurun ke anak cucu
sampai dengan sekarang.
Dari
beragam legenda mengenai Ajisaka, sebenarnya sangat berpegaruh atas aspek sosial
kebudayaan yang berkembang di masyarakat, termasuk pula aspek ideologis. Dari aspek
antropologis, orang Jawa diyakini telah lama ada, bukti-bukti arkeologis
prasejarah yang ditemukan di berbagai daerah Nusantara
atau Jawa khususnya. Membicarakan mengenai asal-usul Jawa Kuno sebenarnya
tidaklah mudah, perlu pemahaman dari berbagai aspek serta harus pula dipahami
dengan kaca mata yang luas. Seperti halnya mengamati satu hal dari berbagai
penjuru arah, setiap orang akan memiliki pandangan dan pemahaman yang
berbeda-beda. Apalagi aspek yang akan diamati juga disandingkan dengan hal-hal
lain misalnya kepercayaan spiritual, ini juga akan sangat mempengaruhi dari
pandangan seseorang.
Orang
Jawa kuno selalu menyatakan bahwa mereka adalah keturunan luhur dan mengawali
peradaban di tanah Jawa. Salah satu pujangga besar budaya Jawa, Raden Ngabehi
Ranggawarsita menuliskan dalam Serat Paramayoga bahwa Ajisaka-lah cikal bakal
masyarakat Jawa. Salah satu cerita Ajisaka yang dibukukan adalah dalam cerita
Serat Ajisaka yang ditulis oleh J. Kats, berisi tantang kondisi masyarakat Jawa
kuno kala itu dipimpin oleh Dewata cengkar yang kejam, hingga segalanya berubah
saat Ajisaka datang.
Salah satu kisah yang populer adalah ketika Jawa kala itu dipimpin oleh seorang Raja yang kejam terhadap
rakyatnya, yakni Prabu Dewata Cengkar. Diceritakan bahwa rakyat wajib
menyerahkan satu-persatu orang secara rutin untuk dipersembahkan kepada Raja
untuk dijadikan sebagai santapan, karena Prabu Dewata Cengkar sendiri gemar
memakan daging manusia. Jawa saat itu digambarkan diselimuti oleh kebodohan dan
ajaran sesat. Kemudian Ajisaka datang untuk mengalahkan dan mengambil alih
Kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Jadilah Ajisaka pemimpin Tanah Jawa yang
disebut-sebut membawa peradaban baru di Tanah Jawa ke arah yang lebih baik.
Kisah lain diceritakan bahwa Ajisaka hadir dan diutus ke
tanah Jawa sebagai Brahm, guna menerangi
Pulau Jawa, memberikan ilmu pengetahuan dan peradaban dengan cara memusnahkan
kebodohan yang digambarkan oleh sosok Prabu Dewata Cengkar, karena itulah
Ajisaka identik pula dengan Aksara.
Dengan Aksara terungkaplah ilmu pengetahuan yang dianggap tabu dan ekslusif,
selain itu juga terdapat anggapan bahwa peradaban yang dianggap maju bisa
dilihat dari segi aksaranya, atau bisa kita ibaratkan adalah dari segi baca
serta tulis-menulis masyarakatnya.
Adapula cerita lain mengenai Ajisaka dengan Aksara Jawanya,
yakni berasal dari masyarakat dusun Kramat, Wajak, Kabupaten Malang, Jawa
Timur. Di sana terdapat dua makam berbeda, yang dikisahkan adalah dua murid dari Ajisaka, mereka adalah
Mbah Setuhu yang beragama Islam serta Mbah Setyo (Seco) yang beragama Hindu. Di
antara keduanya terjadi pertarungan hingga berujung saling terbunuhnya kedua
murid Ajisaka tersebut, yang sama-sama menjalankan amanat dan pesan dari
gurunya. Akibat kematian kedua murid utusannya, Ajisaka lantas mengabadikan
peristiwa tersebut dengan empat kalimat yang hingga saat ini kita kenal dengan
Aksara.
Tetapi dalam perkembangannya, tidak sedikit pula
sejarahwan menyangkal bahwa Ajisaka bukanlah pembahwa peradaban pertama di
Pulau Jawa. Ini disandarkan kepada bukti-bukti yang menyataka bahwa masyarakat Jawa
telah mengena peradaban maju bahkan sebelum kedatangan Ajisaka, untuk pendapat
ini akan kita dibahas pada tulisan berikutnya.
Kembali ke Aksara Jawa, ternyata empat kalimat dalam Aksara
Jawa mempunyai makna tersendiri selain menceritakan tentang kedua murid Ajisaka
yang terbunuh, lagi-lagi pemaknaan atau maksud dan pesan dari Ajsara Jawa
tergantung dari sejarah yang mengisahkan.
Berikut adalah makna umum dari setiap kalimat Aksara Jawa
Pertama adalah Ha Na Ca Ra Ka, atau dalam
pelafalan Jawa adalah Ho No Co Ro Ko dalam bahasa Jawa artinya ono wong
loro atau ada dua orang. Kedua, Do To So Wo Lo yang berati podo kerengan
atau keduanya saling berkelahi. Selanjutnya adalah Po Do Jo Yo Nyo yang
memiliki arti keduanya memiliki kekuatan yang seimbang. Terakhir adalah Mo
Go Bo To Ngo yang berarti mergo dadi batang loro-orone, batang di sini
adalah bahwa Jawa yang berarti mayat, sehingga dalam bahasa indonesia memiliki
arti keduanya sampai meninggal artinya sama-sama menjadi mayat.
Dalam aspek nilai-nilai spiritual Aksara Jawa ini dapat
dimaknai sebagai berikut, yang pertama
adalah Ha Na Ca Ra Ka atau dapat dibaca dengan “ono coroko” yang berarti
“ada utusan”, maksudnya kita sebagai manusia yang lahir mempunyai tugas sebagai
Khalifah atau pemimpin di muka bumi yakni dalam kaca mata Islam, atau secara
umum kita diutus untuk saling menyebarkan kebaikan antar sesama mahluk hidup. Do
To So Wo Lo dapat dibaca dengan “datan suwolo”, maksudnya tidak boleh
menentang pendapat sang pencipta, pada kalimat sebelumnya menyangkut tugas
manusia sebagai utusan yang mengemban tugas atau aturan-aturan dari Sang
Pencipta maka akan sampai pada tataran Po Do Jo Yo Nyo . Po Do Jo Yo Nyo dimaknai sama-sama jaya atau seimbang,
maksudnya seimbang dari segi rohani dan jasad, termasuk pula dapat kita artikan
simbang dari segi hubungan antar sesama mahluk serta hubungan mahluk dengan
Tuhannya. Terakhir adalah Mo Go Bo To Ngo, yakni menjadi bangkai atau mayat. Yakni
ketika tugas manusia telah selesai dimuka bumi dengan itu berakhirlah kehidupan
di dunia dan berganti kehidupan lain yang kekal.
Pemaknaan-pemaknaan empat kalimat dari Aksara Jawa tentu
bisa beragam tergantung sejarah serta aspek-aspek yang menyertai dan mendasari,
termasuk kondisi pemberi makna itu
sendiri.
Tulisan ini ditulis berdasarkan opini dan juga beberapa
sumber digital baik berupa artikel maupun audio visual yang dapat ditemui dari
beberapa platform yang tersedia. Jika terdapat kesalahan mengenai penyebutan
sejarah dan yang lain, dengan kerendahan hati penulis mohon untuk pembenaranya.
Terimakasih.
0 komentar:
Posting Komentar