Oleh Syifaul Fajriyah
Panggil aku Elyn. Sedikit kisah yang
akan kusampaikan dalam tulisan tak bernyawa ini. Sebuah kisah tentang cemaraku
yang sudah tak kokoh lagi. Cemara yang kucoba pupuki dan terus sirami, tumbang
seketika hanya karena sesosok ulat yang menjelma di pohon kami.
Pagi itu seperti biasa, beranjak
dari tidur aku bergegas mandi dan berlulur ria. Berdandan untuk menyejukkan
pagi seorang lelaki yang akan membuka mata. Ku panggil dia Mas Bagas. Setelah
dia terbangun, rutinitas yang kita lakukan selayaknya pasangan. Ku ingatkan
untuk segera bangun dan bersiap mencari cuan. Tak perlu aku memasak, mencuci,
menyapu, dan lain sebagainya karena ada Bi Nera yang membantuku mengurus rumah
besar ini. Tapi kalau Mas Bagas merengek, apalah daya aku harus terjun langsung
memanjakannya dengan masakanku yang katanya khas dan lezat.
Tiga tahun menjalin hubungan yang
dikata sebagai penyempurna agama. Tapi aku merasa, hubungan ini masih belum
sempurna. Orang menyebutku pejuang 2 garis biru. Segala upaya telah ku lakukan
bersama Mas, tapi jika Allah tidak berkata "Kun Fayakun" apalah daya
aku sebagai manusia biasa. Walau gunjingan dari keluarga datang menerpa, Mas
Bagas tetap disampingku dan membela.
Pekan depan, Aku dan Mas berencana
menemui salah seorang dokter kandungan dengan tag name "Nina Wijaya
Kusuma". Sebut saja dia Dok Nin. Dokter muda dengan bakat yang luar biasa.
Dia adalah rekomendasi dari temanku yang juga pejuang 2 garis biru. Hari H
sudah tiba, ku sapa perempuan muda nan cantik itu. Ku kenalkan diriku sebagai
teman dari salah satu pasiennya. Begitu cerianya dia membalas segala ocehanku.
Medis mengatakan bahwa kandungaku
lemah. Dan aku bersama Mas Bagas memutuskan untuk program bayi tabung. Untuk
mencapai apa yang kita impikan, aku memutuskan untuk berhenti dari perusahaan
penerbitan. Agar problem nantinya tidak terjadi pada kandunganku. Tiap bulan,
treatment yang Dok Nin lakukan padaku sedikit demi sedikit membuahkan hasil.
Bayi tabung yang ku impikan akan benar-benar terwujud. Tinggal menunggu hasil
lab yang akan menunjukkan negatif atau positif. Dan sepertinya Allah telah
mengucapkan mantra ajaibnya. Lampiran kertas menunjukkan kata yang diberi efek
tebal yaitu "positif". Sontak Mas Bagas memelukku dan mencium
keningku. Tutur kata lembutnya tersirat padaku.
"Terimakasih
sudah mau berjuang. Kita jadi ayah bunda sayang"
Dok Nin yang berdiri tepat didepanku, seketika ku dekap dan ku ucapkan terimakasih. Interaksi antara kita sudah seperti kakak beradik. Dia adalah anak rantauan yang berbeda pulau, Bali dan Jakarta bukan jarak yang dekat. Aku iba dengannya karena jauh dari keluarga. Sedangkan aku, jauh dari papa mama baru saat menikah ini. Hampir setiap hari, ku minta dia berkunjung ke rumah untuk makan dan bercengkrama bersama. Bahkan setelah aku dinyatakan positif, Dok Nin berinisiatif untuk tinggal di komplek yang sama denganku. Katanya, kontrak rumah yang dulu sudah habis.
Setelah hidup sebagai anak tunggal
yang kesepian, aku merasa tenang dengan kehadiran Nina. Bahkan tak jarang aku
memintanya untuk menginap dirumah karena masih banyak ruang kosong. Dan
terkadang aku merasa kesepian karena Mas Bagas sudah mulai sibuk dengan
pekerjaannya. Namun sayangnya, kupu-kupu indah yang ku bawa ke rumah ternyata
adalah ulat yang rakus.
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar