Oleh: Syifaul Fajriyah
Kiai Nawawi atau yang biasa dikenal dengan Mbah Nawawi merupakan
pendiri serta pengasuh Pondok Pesantren di Ringinagung, Keling, Kepung, Kediri.
Sosok beliau dikenal sebagai kiai yang kharismatik, alim, dan keramat. Mbah
Nawawi berasal dari kota the Spirit of Java yaitu kota Solo, Jawa
Tengah. Menurut M. Sholahudin dalam karyanya Napak Tilas para Masayyikh, nama
“Nawawi” bukanlah nama yang tersematkan sejak lahir melainkan sebutan yang
diberikan oleh sahabat nyantri di Pondok Siwalan Sidoarjo. Karena kemahiran
Beliau dalam kitab kuning, membuatnya mendapatkan julukan “Sang Nawawi” yang
terinspirasi dari tokoh ulama terkemuka yaitu Imam Nawawi al-Bantani.
Nawawi yang memiliki nama kecil yaitu Raden Sepukuh, menyantri
hingga menginjak usia lanjut bahkan hingga beliau sudah menikah. Kealiman
beliau membuat pejabat pemerintahan Bangil menjadikannya menantu untuk
putrinya, Dewi Landep. Hingga dua tahun pernikahan, Kiai Nawawi dan istri
memutuskan untuk hidup mandiri. Hingga akhirnya mereka berlabuh di sebuah desa
yang berada di pojok utara timur Kabupaten Kediri, yaitu Desa Keling. Disinilah
lokasi yang akan berdirinya sebuah pesantren dengan nama Mahir Arriyadl, sebuah
pesantren yang berdiri dengan menyimpan asal usul yang menarik.
Berdasarkan cerita turun temurun Ringinagung, tanah pesantren ini
merupakan sebuah alas atau hutan belantara yang sangat angker. Penduduk
menyebutnya dengan “Alas Simpenan”, karena hutan ini dihuni oleh banyak sosok
tak kasat mata yang dalam Bahasa Jawa dikenal dengan memedi. Peristiwa
mistis kerap terjadi pada wilayah hutan ini, salah satunya adalah keanehan pada
kayu yang terdapat didalam hutan. Penduduk mengatakan bahwa kayu-kayu tersebut
tidak dapat di tebang bahkan dibakar walaupun dalam keadaan kering. Keangkeran
hutan inilah yang membuat manusia enggan melintasi alas tersebut.
Didalam alas simpenan tersebut, juga berdiri sebuah pohon beringin
besar dan angker yang menjadi ikon hutan ini. Konon katanya, pohon tersebut
tidak dapat dirobohkan, banyak orang yang telah mencobanya dan hasilnya gagal.
Sampai tibalah Kiai Nawawi, yang berniat mengubah pohon beringin ini menjadi
pesantren dan masjid. Bersama para santri dan jama’ah, Kiai Nawawi menebang
pohon beringin angker tersebut dengan bekal sholawat dari sang Kiai. “Allahumma
sholli ala Muhammad wa sallim” menggema disertai dengan menebang pohon
angker tersebut. Al hasil pohon itu rubuh. Kayu dari pohon tersebut digunakan
sebagai material untuk membangun masjid pertama di wilayah tersebut. Kisah
inilah yang menjadikan desa tersebut dinamai “Ringinagung” yang berarti pohon
beringin besar.
Amalan Sang Kiai tersebut yang menjadi amaliah penting yang Kiai
Nawawi wariskan bagi santri dan keturunannya. Sholawat ini rutin dibaca setelah
sholat, terkhusus sholat maghrib dan setiap malam Jumat agar keberkahan dari
Allah swt. dan Rasulullah tetap terus mengalir. Sholawat Nabi ini juga yang
menjadi mustika dan saksi Kiai Nawawi mendirikan pesantren di tanah Alas
Simpenan.
Pada tahun 1910 M setelah pembangunan masjid Ringinagung, kesedihan
menghampiri penghuni Pesantren Ringinagung dan penduduk desa. Raden Sepukuh
atau Kiai Nawawi berpulang menghadap kehadirat Allah swt. Sang Kiai dimakamkan
dikawasan pondok pesantrennya tepatnya di sebelah barat Masjid Ringinagung.
Sumber Referensi:
Mujab, Saiful. Telusur Islam Kediri. Studi Agama-Agama IAIN
Kediri (diakses pada 14 Desember 2021, https://saa.iainkediri.ac.id/telusur-islam-kediri-5-kiai-nawawi-dan-pohon-beringin-angker/)
0 komentar:
Posting Komentar