Oleh : Siti Khoirun Niswah
Biografi KH. Abdul Chaliq Hasyim
Pada tahun 1916 M (1336 H) lahir seorang bayi
dari seorang ibu sholihah yang bernama Nafiqah, seorang putri ningrat asal
Sewulan, Madiun. Beliau merupakan istri ulama besar nusantara Hadratus Syeihk
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Pasangan tersebut menyambut kehadiran putra keenam
ini dengan penuh kegembiraan dan kasih sayang. Bayi tersebut kemudian diberi
nama Abdul Hafidz. Kehadiranya di dunia semakin menambah kebahagiaan pasangan
Syeikh dengan Nyai Nafiqah. Hingga setelah beliau melaksanakan ibadah haji yang
kedua pada tahun 1950-an, nama beliau diganti menjadi Abdul Chaliq.[1]
Sejak
belia Gus Chaliq telah mendapatkan bimbingan rohani dari kedua orang tuanya,
termasuk nilai-nilai tentang pentingnya membela tanah air. Setiap sebelum Gus
Chaliq tidur, sang ibu selalu menanamkan jiwa cinta tanah air (hubbul wathan). Sang
ibu juga sering menceritakan tentang kekejaman penjajah yang sewenang-wenang
menjajah bangsa Indonesia, khususnya kaum muslimin. Dari cerita-cerita sang Ibu
itulah Gus Chaliq tertancap rasa cinta yang kuat pada tanah air dan rasa benci
pada penjajahan kemudian beliau juga terkenal anak yang pemberani.
Gus Chaliq memula
pendidikan sejak masih belia, dan beliau mendapat pendidikan secara langsung
dari kedua orang tuanya. Ketika sudah berumur menginjak Sekolah Dasar beliau
melanjutkan pendidikannya ke Psantren Sekar Putih, Nganjuk-Jawa Timur. Selepas
dari sana melanjutkan ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah yang
merupakan pesantren dalam asuhan kakek Gus Mus, Kyai Kholil bin Harun yang
terkenal sebagai pakar ilmu Nahwu. Hingga beliau dijuluki syibawaihi zamanihi
(Imam Syibawaih pada masanya).
Kepribadian dan Prinsip Hidup
Gus Choliq merupakan Kyai yang memiliki ciri khas kepribadian yang unik.
Beliau senang belajar dan mengaji, juga sering mengadakan mayoran (makan
bersama para santri di pondok). Selain itu beliau juga pandai memasak sendiri.
Selain hal-hal kecil seperti kegiatan pondok Gus Chaliq memiliki sifat tidak
gila hormat terhadap semua orang dan untuk urusan pribadi, tidak pernah
bercerita bahwa pernah menjadi orang penting di pemerintahan. Beliau pernah
menjadi anggota Dewan Konstituante pada masa pemerintahan Soekarno. Hal
tersebut dilakukan karena beliau tidak ingin anak-anaknya membanggakan bahwa
orang tuanya mempunyai prestasi yang membanggakan.[2]
Tidak
pilih kasih menjadi ciri khas yang mewarnai kehidupan Gus Chaliq, selalu memperlakukan
putra dan kerabatnya secara adil tanpa ada yang diistimewakan. Ketika beliau
membeli oleh-oleh kepada keluarganya, maka beliau membeli barang yang sama agar
tidak menimbulkan kecemburuan antara mereka. Gus Chaliq seorang yang tegas tapi
juga berhati lembut. Memang beliau memiliki tubuh yang tinggi dan besar serta
terlihat menakutkan. Namun ketika berincang dengan beliau, tampak begitu lembut,
sering melempar senyum manis, dan tidak pernah menyakiti perasaan lawan berbicaranya.
Terlihat tegas pada saat dakwah, namun selalu meneteskan air mata kerap kali
sedang berdzikir.[3]
Rasa
peduli terhadap nasib orang kecil juga menjadi ciri sifat Gus Chaliq.
Masyarakat Tebuireng mengenal Gus Chaliq sosok yang menyayangi orang-orang
lemah dan tidak mampu. Beliau sering memberi makanan kepada masyarakat yang
kurang mampu. Juga mendapat julukan waskitha, weruh sakdhurunge winarah
(mengetahui hal-hal yang belum terjadi), Gus Chaliq mengetahui santri yang
melanggar syariat Allah swt dimanapun santri itu berada. Siapapun santri yang
melanggar peraturan pondok, beliau mengetahuinya istilahnya beliau memiliki
ilmu ma’rifat. Gus Chaliq pernah berpesan kepada para santri kalau ingin
menjadi orang yang mulia dan berwibawa di masyarakat, maka tanamkanlah sikap akhlaqul
karimah dan disiplin dalam beribadah.
[1]
Muhammad Yahya, Dawud Ubaidilah
Habibi,2011, “Pahlawan yang Terlupakan : Sang Kiai Kadigdayan” Jombang :
Pustaka Tebuireng, hal.20.
[2] Muhammad Yahya, Dawud Ubaidilah
Habibi,2011, “Pahlawan yang Terlupakan : Sang Kiai Kadigdayan” Jombang :
Pustaka Tebuireng, hal.63
[3] Muhammad Yahya, Dawud Ubaidilah
Habibi,2011, “Pahlawan yang Terlupakan : Sang Kiai Kadigdayan” Jombang :
Pustaka Tebuireng, hal. 66
0 komentar:
Posting Komentar