Oleh: Ahmad Maulana
Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan
nasional adalah bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya
untuk dapat melangsungkan pernikahan, agar dapat mewujudkan tujuan pernikahan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat. Untuk itu harus di cegah adanya perkawinan antara calon suami istri
yang masih di bawah umur. Dalam hukum Islam, konsep batas usia minimal
perkawinan dipahami secara beragam. Sebagian ulama menyatakan bahwa batasan
usia minimal perkawinan adalah balig dengan ciri fisik tertentu. Sebagian ulama
yang lain menekankan kesempurnaan akal dan jiwa.
Terkait batas usia perkawinan menurut pandangan hukum Islam (fiqh)
terdapat berbagai macam pendapat. Sebagaimana diketahui bahwa kebolehan menikahkan
anak di usia 6 tahun (belum baligh) Sebagian Ulama memahami hadis ini secara
tekstual, sehingga menurut mereka, akad bagi anak yang berusia 6 tahun atau
lebih adalah sah. Karena secara fisik, pertumbuhan anak tersebut sudah
tergolong dewasa. Tetapi pernikahannya baru sebatas akad saja dan belum digauli
(berkumpul). Sebagian lagi memahami hadis ini secara kontekstual, dimana hadis
ini hanya sebagai berita (khabar) dan bukan doktrin yang harus dilaksanakan
atau ditinggalkan, karena bisa jadi di daerah Hijaz pada masa Rasulullah, umur
Sembilan tahun atau di bawahnya dikatakan sudah dewasa. Sebagai khabar atau
isyarat hadis ini tidak menunjukkan perintah untuk melaksanakan perkawinan pada
usia 6 tahun, sebagaimana pernikahan Rasulullah dengan Asiyah.
Pemahaman istilah baligh bersifat relatif berdasarkan kondisi
sosial dan kultur, sehingga ketentuan tentang dewasa dalam usia perkawinan para
ulama madzhab berbeda pendapat baik yang ditentukan dengan umur, maupun dengan
tanda-tanda fisik lainnya. Pertama, golongan Syafiiyah dan Hanabilah menetapkan
bahwa masa dewasa seorang anak itu dimulai umur 15 tahun, walaupun mereka dapat
menerima tanda-tanda kedewasaan seseorang ditandai dengan datangnya haid bagi
anak perempuan dan mimpi bagi anak laki-laki. Akan tetapi tanda-tanda tersebut
tidak sama datangnya pada setiap orang, sehingga kedewasaan seseorang
ditentukan dengan standar umur. Kedewasaan antara laki-laki dan perempuan sama,
karena kedewasaan ditentukan dengan akal. Dengan adanya akal ditentukan taklif dan
adanya hukum.
Kedua, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa ciri kedewasaan itu
datangnya mulai umur 19 tahun bagi laki-laki dan umur 17 tahun bagi perempuan.
Ketiga,Imam Maliki menetapkan bahwa usia dewasa seseorang adalah ketika berumur
18 tahun bagi lakilaki dan perempuan. Keempat, Mazhab Ja’fari berpendapat bahwa seseorang dipandang
telah dewasa dan dapat melangsungkan perkawinan jika telah berumur 15 tahun
bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan, mazhab ini juga memandang bahwa
seorang wali boleh mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
Dari perbedaan pendapat tersebut diatas, bahwa pendapat Imam Abu
Hanifahlah yang memberikan batasan usia tertinggi dibandingan pendapat lainnya
dan pendapat inilah yang dijadikan rujukan dalam perundang-undangan perkawinan
di Indonesia. Dalam perundang-undangan di Indonesia memberikan batas usia nikah
dengan minimal usia 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar