Oleh: Ghina Aulia Nurinsani
Pagi ini sedikit berbeda dari pagi-pagi
sebelumnya. Tak seperti biasa, namanya tak terlihat di bilah notifikasi. Ada
apa? Apa mungkin paket data internetku habis? Tapi sepertinya belum seminggu
sejak pembelian terakhir. Ah, mungkin whatsapp sedang eror atau mungkin dia
masih tertidur. Aku bergelut dalam benak dan berusaha menghibur diri
sendiri dengan menghadirkan kemungkinan-kemungkinan baik yang sebenarnya aku
sendiri pun ragu atas itu.
Jemariku dengan lihai
mengetik kalimat sapa untuknya, memastikan dia baik-baik saja.
“Hai, Angga.” Pesan itu
terkirim begitu saja, tandanya whatsapp sedang tidak ada masalah dan tentunya
data internetku pun masih ada. Ku rasa kemungkinan yang kedua adalah
penyebabnya.
Hampir satu setengah jam
setelah pesan itu terkirim, namun masih tak ada balasan apa pun. Aku mencoba
menghubunginya via telepon, tapi nada tunggunya tak terdengar di sana. Apa
mungkin telepon genggamnya kehabisan baterai? Ku coba ciptakan
kemungkinan-kemungkinan baru demi mengurangi rasa gundah di dalam sanubari.
Aku beranjak menuju
jendela kamar yang terbuka, melihat pemandangan asri pedesaan, udara segar
menyapa dan menyapu rambut yang terurai. Sedikit menenangkan pikiran dan hati
yang sedang tak karuan.
***
Bayangan tentang
pertengkaran semalam kembali bermuara di pikiran. Wajah Angga yang merah karena
menahan amarah kembali tersulut dalam angan-angan. Tangan yang biasanya
menggenggam dengan penuh kelembutan, semalam terasa sangat berbeda dan disertai
dengan remasan yang sedikit menyakitkan.
“Ayara, aku cape. Kita
selesaikan semuanya malam ini. Jangan sisakan masalah apa pun untuk esok
hari. Aku muak dengan semua keributan yang sudah terjadi selama hubungan kita
terjalin. Aku tak ingin ini terjadi lagi. Aku ingin kita selesai.” Angga
menundukan pandangannya dan perlahan merenggangkan genggaman yang kemudian
dilepasnya begitu saja.
“Kenapa? Apa karena
sikap egoisku?, tapi aku sudah berusaha menghilangkannya. Tolong beri aku
sedikit lagi waktu untuk menuntaskan perubahan sikapku ini. Aku pasti akan
berubah, aku yakin. Tolong yakinkan hatimu lagi tentang aku, ku mohon.” Suaraku
terdengar agak serak setelah menangis sejak beberapa saat yang lalu.
Tak lama setelah itu,
penglihatanku gelap. Aku tak dapat mendengar apa-apa, aku pingsan. Aku baru
saja siuman pagi tadi dan langsung mencari telepon genggam, berharap semua
kejadian semalam hanyalah sebuah mimpi buruk sialan.
***
Aku kembali menuju
tempat tidur dan meraih telepon genggam, berharap sudah ada balasan. Tapi
nihil, tak ada notifikasi apa pun dari Angga. Apa kontakku diblokir olehnya?
Pikiran sialan itu iseng menghampiri.
Rasa sesak tiba-tiba
menyeruak, mencengkram hati yang sedang gundah dan membuatnya makin kacau. Tanpa
terasa netraku mulai buram tertutup air yang kemudian menetes dari
sela-selanya. Aku menangis, lagi. Ada ribuan rasa yang menyesakkan dada, aku
tidak suka itu, menyiksa.
Di tengah tangisku,
terdengar suara ketukan lembut dari balik pintu.
“Ayara, Sayang, bagaimana?
Sudah baikkan?” Suara Ibu terdengar beririangan dengan pintu kamar yang
perlahan terbuka. Senyumnya merekah, tatapannya begitu sejuk dan membuat lukaku
sedikit terobati.
“Sarapan dulu yuk, ibu
sudah buatkan sarapan untuk kamu. Ayo kita makan Bersama.” Ibu mengulurkan
tangannya yang langsung disambut ramah oleh tanganku yang sedikit lemas.
Kami berjalan bersama
menuju meja makan yang di beberapa
sisinya sudah terisi oleh anggota keluarga yang lain. Tangan ibu merangkulku
nyaman dan penuh kelembutan, menuntunku ke tempat duduk samping ayah.
Ayah menanyai kabarku,
yang kemudian dijawab oleh ibu “Ayara sudah jauh lebih membaik, Yah”.
“Syukurlah jika memang
begitu. Ya sudah sekarang Aya makan dulu ya, sayang. Jangan lupa minum vitamin
dan jangan sampai pingsan lagi, Ayah tidak suka melihat anak Ayah rapuh seperti
semalam.” Ucap Ayah dibarengi senyum lega.
Ibu menyajikan makanan
untukku, tak lupa minuman dan beberapa butir vitamin.
Aku memakan makanan itu
sambil sedikit merasa lega “Aku masih dan akan selalu punya mereka di saat
butuh tempat pulang. Bagaimana pun aku dibenci oleh dunia, mereka lah yang
selalu mendukung dan merangkulku.” Aku tersenyum haru dan melanjutkan
sarapanku.
0 komentar:
Posting Komentar