![]() |
Source: https://pin.it/ANMy2B5 |
Partikel
debu terus mengudara menjelang shubuh. Beberapa ayam pejantan mulai berkokok
dan saling bersahutan. Hembusan angin masih saja berkelana dan membuatku
merapatkan jaket pemberian Kang Badri. Langkah kakiku terseok menahan perih
karena menginjak beling di dekat rumah kardus mereka. Mentari dan rembulan
memainkan perannya hingga sampailah aku pada detik ini yaitu kepulanganku ke
rumah. Aku harus mengambil keputusan secepat mungkin dan menyelamatkan mereka.
Aku
memasuki kamar Mak dengan rasa letih dan kantuk yang membuncah pada ragaku ini.
Aku enggan beristirahat di kamarku sendiri, bagiku lebih nyaman meringkuk sekejap
dan dipeluk Mak seerat mungkin sebelum kita sholat shubuh berjamaah, lantas
setelah itu aku akan bilang semuanya kepada Mak tentang anak-anak pejuang rumah
kardus di tempat pembuangan sampah kota yang sudah seminggu ini aku kunjungi
bersama Kang Badri, Rio, dan Lina.
●●●
Setelah
sholat shubuh terjadilah percakapn di antara aku dan Mak.
“Ris…Kakimu
kenapa itu nak?” (Mak berdiri mengambil kotak P3K disamping ranjang).
“Kaki
risa menginjak beling Mak” (Berusaha tenang).
“Kamu
habis pergi kemana kok bisa sampai kayak gini?” (Mak mulai membersihkan lukaku
dengan alkohol lalu memberi salep serta membungkusnya dengan perban).
“Dari
TPS Mak” (Kulirik wajah Mak tampak mengerut terheran-heran dengan jawabanku).
“Ngapain kesana?
Tugas kampus? Kan Mak sudah bilang sebisa mungkin kalau ada tugas penelitian
jangan ke tempat yang aneh-aneh Risa sayang, kamu tahu kan pandemi virus Corona
ini belum jelas kapan berakhir..” (Mak mengusap kepalaku).
“Mak…Ngomong-ngomong
tentang virus Corona ini, ada yang mau Risa sampaikan ke Mak” (Aku tersenyum
semanis mungkin agar Mak tidak berpikir yang aneh- aneh).
Wajah
Mak mulai menegang dan kebingungan, ada sirat khawatir dalam keriput wajahnya.
Kilat matanya menujukkan sorot ketakutan. Mak pun mengangguk mengizinkanku
bercerita. Aku pun menghela nafas dan mulai mengisahkan petualanganku bersama
Kang Badri, Rio dan Lina mengenal lima anak penghuni rumah kardus yang sudah
tampak lusuh termakan waktu dan alam. Mereka adalah Ijul, Encip, Apak, Jijah
dan Ina. Lima anak kecil berusia kurang lebih sembilan tahun yang konon kata
masyarakat adalah anak-anak “buangan” yang tak diinginkan otang tuanya. Nama
mereka sangatlah unik dan kelakuan mereka pun juga tak kalah unik. Ketika Kang
Badri bertanya nama lengkap mereka, tak satupun anak yang tahu nama lengkap
mereka, nama sapaan mereka sekarang adalah pemberian dan satu-satunya identitas
yang diberikan masyarakat sekitar TPS, dan tak ada satupun dari mereka yang
mempunyai ayah ibu.
Encip
pernah mencoel lenganku seraya berkata “Kak Risa… Enak ya jadi bumi, dia benda
mati tapi mempunyai bulan dan matahari yang setia beredar di dekatnya.
Sedangkan aku bisa bernafas dan mengupil tapi tak pernah tahu apa itu ayah dan
ibu”.
Aku
tertegun. Kehilangan Bapak satu tahun yang lalu saja sudah membuatku hampir putus
kuliah, apalagi kelima anak ini yang tak pernah tahu apa itu ayah dan ibu.
Kemudian Kang Badri mendekat. Ternyata beliau menguping seluruh pembicaraan
kami. Lantas Kang Badri mulai memanggil lima anak itu dan yang membuatku heran
Kang Badri ternyata sudah menyiapkan nama-nama Islami yang indah untuk mereka
dan berjanji akan membuatkan akta lahir untuk mereka. Seketika mereka berlima
heboh dan tertawa tanpa henti, seakan baru saja mendapat semangkuk bakso,
kemudian mereka menuliskan nama mereka dibantu Rio dan Lina di dinding kardus
rumah mereka sebagai kenang-kenangan.
Sampai sini Mak
mulai tertarik dengan kisahku, dan membenarkan posisi duduknya sambil mengelus
tanganku. Aku pun hampir sampai pada inti pembicaraan.
“Mak…Kan
sekarang pemerintah daerah sini mulai melakukan PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar), dan dua hari yang lalu Pak Lurah mulai melakukan penertiban
termasuk di TPS pusat, kemudian ada sesuatu yang tidak kami sangka Mak, rumah
kardus kelima anak tersebut diratakan dan pak Lurah bilang kalau
anak-anak ini harus segera dipindahkan ke rumah warga sekitar agar PSBB ini
berjalan lebih lancar. Tapi nyatanya Mak, kelima anak ini terbuang oleh lingkungannya
sendiri, sedari kecil mereka sudah akrab dengan bau ratusan ton sampah dan
mereka juga dipaksa untuk mengerjakan sesuatu sebagai balas budi mereka pada
masyarakat sekitar TPS yang menurut Risa tak layak untuk anak-anak sekecil
mereka, dan ternyata mereka ditolak mentah-mentah oleh lingkungan yang hanya
memberikan identitas satu nama untuk mereka” (Aku menahan bulir air mataku yang
mulai mengalir).
“Mak…Mereka
butuh tempat bernaung, dan Risa tadi berpikir untuk membawa mereka ke rumah
kontrakan Bapak sementara waktu saja Mak, dan…” (Mamak memotong pembicaraanku).
“Risa…
Mak ngerti. Mak sudah paham dengan apa yang Risa dan teman-teman Risa inginkan
untuk lima anak tersebut, tetapi tak semudah itu Ris, membawa dan merawat
mereka kesini apalagi mereka tidak punya identitas pasti, Mak khawatir… Apalagi
juga masalah adaptasi Ris dan pandemi ini. Hasil penjualan di toko Mak menurun,
belum lagi semester depan harus bayar uang kuliahmu…” (Mak menghela nafas
panjang dan memegan tanganku erat. Di tengah maraknya virus ini aku tak
bisa membujuk Mak karena aku tahu sektor ekonomi dan sosial juga tidak stabil
dan menimpa hampir seluruh orang).
Kami mengakhiri
pembicaraan dengan kesunyian tanpa isyarat pasti.
●●●
“Gimana
Ris kata Mak?” Lina bertanya mewakili Kang Badri dan Rio.
Aku hanya
menggeleng dan mulai menangis. Tangan halus Lina mulai mengusap air mataku dan
ia meyakinkanku bahwa masalah ini akan segera menemukan titik terang. Aku
menegakkan posisi dudukku dan memicingkan mata lantas aku tersentak dan segera
berlari menuju tumpukan raksasa sampah di tengah TPS. Aku tercengang hingga
terlupa akan bau menyengat sampah-sampah ini. Bagaimana tidak, kelima anak
tersebut sedang memilah sampah dan menemukan masker bekas kemudian memakaikan
di wajah mereka. Sungguh miris dan ironis.
“Lepaaaas!” (Aku
meneriaki mereka dan kelima anak tersebut hanya memandangku
datar).
“Kenapa
Kak Risa marah? Ijul sama yang lainnya sedang mengikuti anjuran bapak
presiden untuk
memakai masker biar tidak terkena virus Rocona” (Ijul menyeringai menampakkan
gigi ompongnya).
“Hush…Corona
Jul…Bukan Rocona…huuu, malu-maluin kamu” (Apak mencubit lengan Ijul).
“Yah
maaf, aku kan lupa”.
“Kalian
kenapa pakai masker bekas itu? Kalian tahu masker bekas yang kalian pakai tadi
itu sangat berbahaya. Kalian tidak tahu orang-orang seperti apa yang sudah
memakai masker ini kemudian membuangnya di TPS ini” (Aku terisak).
Kang
Badri, Rio dan Lina mulai melambai agar mereka berlima turun dari tumpukan
sampah dan menyita masker bekas itu.
“Kan
nanti kami cuci di sungai Kak.. Biar bersih seperti baru” (Ina berkata polos
dan membuat hati kami berempat semakin ngilu melihat realita ini).
“Lagian
kami nggak punya uang untuk membeli masker yang harganya setara dengan jatah
makan kami selama empat hari itu” (Jijah mulai merajuk memandang kami karena
kesal dengan larangan kami).
“Anak-anak,
nanti Kak Rio sama yang lain janji akan membuatkan masker kain untuk kalian,
agar lebih tahan lama dan bisa dicuci lagi” (Rio membujuk mereka).
Wajah
murung mereka berubah cerah seketika, mereka berlima memeluk Rio dan Rio hanya
bisa pasrah jika nanti bajunya akan tertular bau sampah. Setelah itu kamipun
menyadari bahwa menyelamatkan dan menjaga kelima anak-anak tersebut adalah
amanah dan beban di waktu bersamaan. Berawal dari ketidaksengajaan kami bertemu
mereka ketika mereka diamankan satpam apotek karena ketahuan mencuri
handsanitizer, dari situlah kami secara tidak langsung iba dan memutuskan untuk
mengabdikan diri kami kepada anak-anak dan lingkungan TPS ini untuk memberi
pengetahuan secara sederhana apa itu virus Corona. Tapi nyatanya upaya kami
dipandang sebelah mata oleh warga sekitar dan mereka hanya bilang “Kalau sudah
giliran ya pasti takdir kami, kalau sehat terus ya itu nasib baik kami.
Buktinya kami sudah bertahun-tahun lamanya hidup dengan sampah yang kalian
anggap menjijikkan tapi kami baik-baik saja tuh”. Miris memang.
●●●
Esok
harinya, aku terburu-buru menuju gerbang TPS. Kulihat ada beberapa mobil
ambulance serta kepolisian keluar dari gerbang TPS. Para warga berjalan lunglai
keluar area TPS. Kurasa ada yang tidak beres. Aku pun berlari menuju tempat biasanya
aku berkumpul dengan ketiga rekanku.
Kang
Badri dan Rio tampak nanar, mereka meremas topi mereka dan memandang kosong ke
arah gerbang. Lina tertunduk menyeka air matanya. Dan hanya ada Ina, Apak, dan
Jijah. Kemanakah Ijul dan Encip?.
“Ada apa?” (Bibirku
bergetar ketika mengucapkan itu, lalu Lina mendekat kepadaku dan berbisik
“Ris… Ijul dan Encip positif bersama dua warga lainnya”. Bagai tergores silet,
aku terdiam dan terjatuh. Kakiku terasa tak bertulang. Benakku dijejali dengan
pertanyaan “Kok bisa?”.
●●●
Dua
minggu berlalu semenjak hari itu. Mak akhirnya mengizinkan kami membawa tiga
anak yang tersisa ke kontrakan Bapak. Ijul masih di rumah sakit. Sedangkan
Encip, anak kecil yang pernah iri terhadap bumi baru saja tadi malam bertemu
dengan bumi lebih dekat. Mungkin sekarang dia sudah bisa bertanya kepada bumi
mengapa ia sangat beruntung ditemani bulan dan matahari.
Tidak
ada keterangan yang pasti darimana mereka tertular. Kami berempat sempat
mengira dari masker bekas itu. Tapi entahlah, kami sudah tidak sanggup menduga.
Encip…
Salamkan pada bumi bahwa kami semuanya berdoa agar bumi kami lekas membaik.
Kami bukanlah pasukan garda terdepan, tapi kami adalah pasukan garda dari
ribuan sudut yang akan terus berjuang melawan pandemi ini meski tahu kami
memang tak sempurna.
Kita
bagaikan sepatu dan Corona bagaikan semir yang beracun dan berbau, lantas ia
digosokkan kepada permukaan sepatu untuk membuatnya berkilau. Mungkin seperti
itulah Corona, ia menghampiri kita dengan bahaya yang dibawanya untuk membuat
kita nantinya menjadi pribadi yang lebih bersinar lagi karena kesabaran serta
ketulusan kita ketika berjumpa dengan Corona.
0 komentar:
Posting Komentar