![]() |
https://img.okezone.com/content/2016/08/19/194/1468301/ini-standar-cincin-pernikahan-yang-wajib-diketahui-oleh-calon-pengantin-FE0RskwuFk.jpg |
Izzat Imaniya
“Silahkan diperiksa lagi mbak, mungkin ada
bagian yang ingin ditambah atau dihapus”, make up artist tersebut
melontarkan pertanyaannya kepadaku setelah kurang lebih dua jam duduk didepan
meja rias. Sungguh, goresan jarinya memberikan hasil yang sangat flawless
dan mampu menutupi keresahan raut wajah. Jari-jari tanganku terlihat indah nan
lentik dengan ukiran henna putih berbalut taburan serbuk emas. Aku berdiri
tegak, gaun berwarna silver dengan model A-Line menjulur sepanjang dua
meter dari mata kaki dengan hiasan sedikit payet sehingga gaun ini terlihat
lebih elegan. Bibirku tersenyum manis memberikan apresiasi kepada make up
artist tersebut sembari menggenggam erat hand phone yang telah aku
buka tutup beberapa kali, berharap seseorang yang aku hubungi bisa membantuku
untuk bebas dari kebahagiaan yang dipaksakan ini.
Mungkin sebagian besar wanita sangat
mendambakan posisiku saat ini, menikah dengan laki-laki tampan, kaya hati, kaya
harta tajir melintir, yang untaian kata dari lisannya tidak pernah sedikitpun
menggores hati, tangannya tidak pernah sedikitpun melukai diri, langkahnya
selau menuntun menuju kebaikan. Pernikahan di Gedung yang mewah dengan konsep
acara yang sangat meriah menjadikanku seperti seorang putri raja yang sangat
bahagia di hari pernikahannya. Tapi, apakah itu semua bisa memberikan
kebahagiaan yang alami dari hati?
Kurang lebih satu jam prosesi akad nikah
akan dimulai, dari dalam kamar rias aku mendengar langkah kaki tamu undangan
yang satu persatu mulai datang. Laki-laki berhati emas pilihan ayah yang
dipercayainya bisa memberikanku kebahagiaan tersebut berdiri tegap tampan
dihadapan cermin merapikan peci berwarna putih bersih, persis sebersih
kulitnya. Hatiku semakin terasa berat setiap kali swipe up layar hand
phone menunggu notifikasi jawaban pesan dari seseorang yang aku harapkan
agar au bisa bebas dari kebahagiaan yang dipaksakan. Ingin berteriak
mengucapkan apa yang terpenda, dalam hati, bukan seperti ini kebahagiaan yang
aku inginkan.
Akan tetapi akal sehat menyelamatkanku dari
perbuatan konyol tersebut. Sangat memalukan untuk aku dan keluarga jika
melaukannya, tidak mungkin pernikahan ini aku batalkan. Kejadian saat memilih
jurusan di bangku perkuliahan tidak ingin aku ulangi, menyesal karena ego sendiri
dan tidak mau mendengar nasihat orang tua. Hingga beginilah sekarang,
cita-citaku menjadi seorang dokter berlalu begitu saja. Apakah penyesalan besar tersebut akan terjadi
kembali jika aku membatalkan pernikahan ini? Tentu tidak, aku sangat tidak
menginginkannya. Lalu bagaimana dengan sosok lelaki yang dirinya sudah menjadi
rumah untukku?
Mamemasuki semester empat dibangku
perkuliahan merupakan awal dari pertemanan kita. Dengan perantara tugas
kelompok dari seorang dosen, takdir membawa kita untuk menjalani hari yang
penuh dengan pengalaman, pelajaran dan juga ujian. Namanya Alvin, kata
teman-teman sihh dia mahasiswa yang rajin, baik kepada semua orang, dan selalu
antusias jika mendiskusikan pelajaran. Pengakuan mereka bisa aku percayai dari
muka Alvin yang sedikit terlihat lugu, pemalu dan tidak bicara jika tidak
penting. Seiring berjalannya waktu kita menjadi lebih akrab karena berasal dari
daerah yang sama dan mengenal satu sama lain lebih dalam. Alvin yang dahulu aku
tau adalah mahasiswa lugu ternyata sangat jahil, tidak jarang aku dibuat kesal
olehnya. Tapi disamping itu, bagiku Alvin adalah teman yang sangat baik, ia
selalu bersikap tenang menghadapi masalah. Ia teman yang selalu sabar
mengahadapi aku yang seringkali bersikap seperti anak kecil, entah mengeluh
karena tugas yang numpuk, ataupun karena diriku sendiri yang belum bisa dewasa
menghadapi permasalahan. Alvin sudah menjadi rumah bagiku karena apapun yang
terjadi selalu ada alasan untuk aku harus kembali. Banyak cerita yang telah
dijalani, dan tanpa disadari kami terjebak friendzone. Mau bagaimana
lagi? Ini sudah terjadi dan kami tidak bisa membohongi hati.
Laki-laki yang akan menjadi suamiku itu
keluar dari kamar rias tempat kami bersiap-siap. Inilah yang aku tunggu,
kesempatan agar bisa menelfon Alvin agar tidak diketahui oleh calon suami.
Prosesi akad nikah semain dekat, dengan segera aku menghubungi Alvin untuk
menjelaskan apa yang aku rasakan atas perjodohan ini, tidak sedikitpun dihatiku
terbesit untuk mengakhiri cerita kami seperti ini. Akan tetapi nihil, begitu ia
menjawab telfon dariku, terdengar suara bentakan seorang perempuan yang
merupakan kakaknya, ia meminta agar aku tidak menghubungi Alvin lagi, tidak ada
yang harus dijelaskan dan ia langsung menutup telfonnya. Keindahan gaun dan
kamar rias yang megah ini terlihat gelap karena air mata yang bercucuran deras.
Pernikahan yang beberapa menit akan
berlangsung sangat berat bagiku, tidak pernah sebelumnya aku membayangkan ini,
rumahku yang sebenarnya telah hancur. Ragaku terduduk lemas diatas kasur yang
sudah dihiasi bunga-bunga ketika mendengar suara microphone, pertanda bahwa
prosesi akad nikah akan berlangsung. Begitu suara keluar dari microphone
tersebut aku mendengar ayat suci Al-Qur’an dilantunkan, aku terkejut dan
terbangun dari tidurku. Suara lantunan ayat suci Al-Qur’an itu ternyata berasal
dari masjid sekitar rumah sebagai pertanda bahwa sebentar lagi azan subuh akan
berkumandang, bukan dari mimpi pernikahanku.
0 komentar:
Posting Komentar