![]() |
Utusan AS Tiba di Tel Aviv Bahas Konflik Israel-Palestina (idntimes.com) |
Oleh : Hilwah Tsaniyah
Konflik adalah persoalan sosial yang dihadapi oleh banyak negara
(Herman & Nurdiansa, 2014, h.155). Secara umum konflik dapat diartikan
sebagai ikatan antara dua kubu atau lebih baik itu individu ataupun kelompok
yang memiliki gagasan atau pendapat yang tidak setujuan. Konflik juga dapat
digambarkan sebagai suatu kepentingan antara dua kubu atau lebih, namun salah
satu kubu merasa tidak diperlakukan secara adil (Nasikun, 1966: 21).
Konflik lumrah terjadi
ketika bertemunya dua atau lebih suku bangsa pada suatu wilayah atau pemukiman
yang akan terjadi interaksi antar keduanya, baik itu interaksi secara fisik
ataupun menggunakan simbol dan lambang. Kondisi tersebut biasa terjadi karena
memiliki kepentingan berbeda-beda. Oleh karena itu, masing-masing kubu ingin
mengklaim daerahnya untuk memperkuat kedudukannya (Herman & Nurdiansa,
2014, h.155).
Perebutan
kekuasaan ini bisa terjadi pada komunitas manapun, baik komunitas yang kecil
maupun yang besar. Hal itu sering terjadi antara dua negara yang kemudian
menimbulkan konflik berkepanjangan antar keduanya. Konflik yang berlarut-larut
antara Israel dan Plaestina merupakan konflik terlama yang berlangsung di
wilayah Timur Tengah selain Perang Salib. Konflik antar keduanya telah
melibatkan banyak negara Arab dan Barat, serta menjadi agenda utama dalam
Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Herman & Nurdiansa,
2014, h.155).
Konflik antara
Israel dan Palestina yang terjadi di Yerussalem, yakni kota yang menjadi simbol
aspirasi terdalam dari kedua kubu. Tembok Ratapan adalah satu-satunya bagian
terpenting dan religious yang tersisa dari peninggalan Israel kuno bagi umat
Yahudi. Sedangkan bagi umat Islam tembok tersebut adalah tempat di mana peristiwa
Isra’ Mi’raj terjadi yakni sebuah perjalanan spiritual Nabi Muhammad
dari Mekkah ke Yerussalem, kemudian ke Sidratul Muntaha, serta terdapat sebuah
masjid yang bernama Masjid al-Aqsa, masjid tersuci ketiga bagi umat Islam
(Kuncahyono, 2011: 314).
Perpindahan
penduduk orang-orang Yahudi ke Palestina mengubah Zionisme menjadi ideologi dan
gerakan politik untuk mewujudkan “tanah air yang dijanjikan” di Palestina.
Dengan orientasi tersebut, maka penciptaan meyoritas bangsa Yahudi di Palestina
telah menjadi program pergerakan Zionisme internasional yang kemudian diikuti
dengan merosotknya kekuasaan Dinasti Usmani sejak perempatan terakhir abad
ke-19 yang memberikan peluang besar untuk orang-orang Yahudi memasuki kawasan
Palestian dalam jumlah besar (Satrianingsih & Abidin, 2016: 180).
Konflik yang
terjadi antara Israel dan Palestina dapat dikategorikan sebagai konflik
kemanusiaan yang berkepanjangan. Perbincangan perdamaian yang seringkali
dilakasanakan, naasbya selalu berakhir pada keadaan yang tidak lebih baik dari
sebelumnya. Seperti kesepakatan gencatan senjata yang berlaku sementara. Namun
tidak lama setelah itu, aksi saling serang diantara keduanya kembali terjadi
(Wahyudhi, 2011, h. 27).
Berbagai konflik yang berlangsung sampai saat inilah yang menjadikan
peneliti untuk mengkaji dengan teori konflik perspektif Dahrendorf. Teori
konflik yang dipeloporinya menyatakan bahwa teori sosiologi harus dibagi dua,
yaitu teori konflik dan teori konsensus. Bahwa tidak ada konflik yang terjadi
jika tidak ada konsesnsus sebelumnya (Tualeka, 2017: 40).
Menurut Dahrendrof (Dalam Rasyid, 2015: 280) setiap kelompok orang
memiliki posisi yang berbeda-beda, seperti kelompok orang yang berada pada
posisi dominan mereka mengupayakan status quo yakni atasan. Sedangkan kelompok
orang yang berada diposisi bawah mereka mengupayakan perubahan. Seperti konflik
yang terjadi antara Israel dan Palestian yang mempunyai keinginan merebut
kekuasaan Palestina dari masyarakat dan pemerintahannya. Mereka saling
menyerang satu sama lain untuk mempertahankan hak dan keinginannya.
0 komentar:
Posting Komentar