Sumber gambar: animasi ibu dan anak - Bing images
Oleh: Izzat Imaniya
Imam Syafi’I yang merupakan pendiri madzhab fikih sudah tidak asing lagi
bagi kaum muslim. Sosok Imam Syafi’I tersohor hingga penjuru dunia dengan
karya-karya, ketokohan, serta kepakaranyya dalam berbagai bidang ilmu, selain
ahli dalam bidang fikih, Imam Syafi’ie juga memiliki keahlian dalam seni sastra
yang berupa kumpulan puisi gubahannya. Segala pencapaian yang telah didapatkan
oleh Imam Syafi’I tida pernah lepas dari doa seorang ibu yang disetiap sujudnya
terbisik nama Imam Syafi’i. ibu Imam Syafi’I bernama Fatimah binti Ubaidilla
Azdiyah, ia berasal dari suku Al-Adz yang terletak di Yaman. Dan menurut salah
seorang sejarawan, ibu Imam Syafi’i merupakan keturunan Rasulullah SAW dari
Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Seorang ibu memang
merupakan sekolah pertama bagi anaknya, akan tetapi sejak Imam Syafi’I berusia
dua taun, ayanya meninggal dunia di Gaza, sehingga sang ibu memiliki peran
ganda sebagai ayah dan ibu untuk anaknya tercinta. Dengan berbekal kecerdasan
dan sosok yang tegar, Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah selau berusaha merawat
putranya dengan baik, meskipun perekonomiannya sering kurang karena tak
sedikutpun ia mendapatkan warisan setelah meninggalnya sang suami. Namun hal
itu tidak membuat Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah lemah untuk berjuang, ia
bertekad untuk mendidik putranya agar menjadi laki-laki yang hebat dan
bermanfaat untuk orang lain.
Beberapa waktu setelah meninggalnya sang suami, Fatimah dan putranya
Syafi’I pindah ke kota suci Makkah dan tinggal di kampung yang bernama Al-Khaif,
selain dengan tujuan mempertemukan Syafi’I dengan keluarga besarnya dari suku
Quraisy, Fatima juga bertujuan agar Syafi’I bisa belajar Bahasa Arab langsung
ke kabilah Hudzail yang terkenal dengan Bahasa Arabnya yang fasih. Meskipun
berjuang seorang diri tanpa adanya sosok suami yang menemani, Fatimah binti
Ubaidillah Azdiyah selalu ikhtiar dan berdoa, kecintaannya terhadap Allah
memudahkan ia mendapatkan guru untuk sang putra tanpa harus dibayar karena
keadaanya yang miskin. Hal inipun pernah diungkapkan oleh Imam Syafi’i mengenai
drinya yang tumbuh sebagai anak yatim dalam keadaan miskin bersama sang ibu
hingga tidak ada harta yang bisa diberikan kepada gurunya, akan tetapi pada
saat itu mereka mendapatkan guru yang berhati mulia, sang guru tidak keberatan
karena tidak dibayar, cukup rasa lega yang membayar guru tersebut karena kelak
ada yang akan menggantikannya jika ia telah meninggal dunia.
Melihat usaha sang ibu, semangat
Imam syafi’i dalam menuntut ilmu semain tinggi, pada usia lima belas tahun
beliau izin kepada sang ibu untuk menuntut ilmu keluar kota Makkah, akan tetapi
Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah sebagai ibi tida memberikan izin kepada
putranya, ia merasa berat untuk melepaskan putranya. Karena rasa taat terhadap
sang ibu, Syafi’i mengurungkan niatnya untuk menuntut ilmunkeluar Makkah.
Setelah menimbangkan beberapa hal mengenai keinginan Syafi’i untuk menuntut
ilmun keluar kota Makkah, akhirnya sang ibu ridha terhadap keinginan putranya
tersebut. Sebelum melepas Syafi’i keluar kota Makkah, Fatimah binti Ubaidillah
Azdiyah selau berdoa kebaikan untuk puyranya tersebut, ia berdoa agar kelak ia
bisa kembali bertemu dengan putranya dan membawa segudang ilmu yang bermanfaat.
Disaat keberangkatan Syafi’i keluar kota Makkah, Fatima binti Ubaidillah
memeluk putranya dengan penuh kasih sayang sehingga air mata telah membasahi
wajahnya. Dengan ikhlas Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah melepas kepergian
putranya dengan berpesan bahwa sebaik-baik tempat meminta pertolongan adalah Allah. Sang ibu ridha dengan kepergian
putranya menuntut ilmu, karena ia percaya bahwa harapannya akan terwujud bisa
menjadikan syafi’i sebagai laki-lai hebat, bermanfaat dan menjadi bintang ilmu
yang gemerlap pada hari yang akan datang. Begitpun Syafi’i, beliau berdoa untuk
kesehatan sang ibu serta kesejahteraannya dalam menuntut ilmu sebagaimana yang
diharapkan sang ibu.
Inilah gambaran kehebatan seorang ibu yang patut untuk dicontoh oleh
para wanita, terlebih lagi bagi muslimah. Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah
memilki karakter ibu sejati dengan menyerahkan seluruh jiwa dan raga anaknya untu
mengabdi kepada Allah. Kesendiriannya tanpa seorang suami dalam membesarkan Imam
Syafi’i telah Allah mudahkan berkat keseungguhannya, kesabarannya, serta
keihlasannya dalam menerima segala takdir yang telah Allah tetapkan kepadanya
sehingga Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah berhasil sebagai seorang ibu dalam
membesarkan Imam Syafi’i yang namanya terus terkenang sampai hari nanti.
0 komentar:
Posting Komentar