![]() |
source: wordpress.com |
Malam itu tepat saat malam tragis nan kelam bagi bangsa Indonesia
pada tahun ’65. Malam yang ngeri tak hanya bagi para jenderal sang pahlawan
bangsa, namun juga bagi rakyat biasa lainnya termasuk para santri. Kala itu, di
salah satu kawasan di Jawa Timur tepatnya tak jauh dari salah satu pusat
pesantren di situ, terdengar suara terengah-engah dan gemetaran berusaha
melarikan diri dari kejaran segerombolan gembong PKI yang mengkhianati
pesantren sedang mengejar beberapa target mereka terutama beberapa santri
senior di kawasan pesantren tersebut.
“Lariiiiii!” Perintah Hilmi.
“Aku sudah nggak kuat mi, titip surat-surat ini untuk Abah, Mak,
dan dia” Isak Izul.
“Jangan ngomong gitu Zul, aku akan menggendong kamu sampai kita
aman” Hilmi meyakinkan.
“Mi, kamu ingat nggak kata Yai Jid kalau kita wafat saat nyantri
maka kita akan mendapat pahala seperti orang-orang yang syahid di jalan Allah”
Suara Izul mulai mengecil.
“Zul dengar aku, selagi nafas masih terasa di raga ini mari kita
berusaha untuk menyelamatkan diri kita” Hilmi mengusap kepala Izul.
“Mi, titip orang-orang yang sudah kutuliskan dalam surat-surat ini.
Dan satu lagi, jika memang dalam jalan takdirnya ternyata bukan namaku yang
Allah takdirkan untuknya, tolong sampaikan beribu maaf untuknya karena aku
pernah meminjam namanya dalam dialog panjangku dengan-Nya.”
Hilmi menggelengkan kepala seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar
barusan dari lisan sahabatnya Izul, ia juga menyaksikan sahabat seperjuangannya
di pesantren kini sedang dalam masa kritis dan mungkin sebentar lagi akan
menghadap-Nya. Ia mulai merasakan kaleidoskop kenangannya bersama Izul mulai
berputar dalam sinema pemikirannya.
“Mi, bantu aku mengucap asma-Nya” Izul tersenyum tipis menggenggam
dengan lemah tangan Hilmi.
“Zul, bertahan kumohon” Isak Hilmi.
Terdengar derapan langkah kaki kian mendekat, terasa menggema di
tengah sunyi yang melanda. Isak Hilmi terhenti dan menerawang sekitar, alangkah
terkejutnya ia ketika melihat segerombolan orang mendekat. Hilmi memicingkan
matanya dan tersentak bahwa yang ia lihat adalah anak buah si Jahanam Nashrul.
“Mi, lari…! Selamatkan diri kamu, biarlah angin malam yang
menemaniku menyebut asma-Nya” Izul mulai menutup matanya.
“Nggak bisa Zul, kita pasti selamat” Hilmi mulai menggendong tubuh
Izul.
“Hilmi, Izul, jangan lari!!!!” Ihkam menyeringai sembari
menodongkan senapannya.
Hilmi bangkit dengan terengah-engah sembari menggendong Izul untuk
menyelamatkan diri mereka dari kejaran gembong PKI tersebut.
Dengan sisa tenaga terakhir yang ia punya, Hilmi berusaha mencari
tempat perlindungan untuk dirinya dan Izul. Lalu dengan kuasa-Nya, Hilmi merasa
sedikit lega setelah melihat musholla tua yang sudah rapuh bangunannya. Ia pun
bergegas menuju kesana.
Musholla itu nampak sangat mungil dan tak layak disebut sebagai
tempat ibadah, namun anehnya di dalamnya terdapat sebuah mimbar yang sangat
bagus dan berkualitas. Hilmi sesaat terpesona akan ukiran di mimbar tersebut
dan melupakan fakta bahwa ia harus segera bersembunyi dari kejaran gerombolan
tersebut.
Hilmi melatakkan Izul di belakang mimbar tersebut sembari
memangkunya, kemudian ia mengambil salah satu surat dari Izul.
“Zul, izinkan aku bertanya tentang nama sosok wanita yang kamu
maksud dalam suratmu.”
“Bukannya, sudah kutulis namanya dalam suratku?”
“Kamu tidak menuliskan namanya, kamu hanya menuliskan nama
panggilan khusus untuknya”
“Apa yang kamu tanyakan Mi?”
“Siapakah sosok wanita tersebut yang kamu pinjam namanya pada
dialog panjangmu?”
Izul tersenyum sembari
menjawab “Ia adalah wanita yang pernah mengirimiku pepes tongkol melalui Kang
Badri.”
“Arfia?”
Izul tak bergeming
“Astria?”
Izul masih saja bungkam.
Hilmi merasa kalut
dan bingung, benarkah sahabatnya mencintai wanita yang sama dengannya? Karena
saat itu Kang Badri berkata padanya bahwa yang mengirimi pepes tongkol untuk
Izul adalah Arfia, kalau hal ini memang benar berarti ia harus merelakan Arfia
untuk sahabatnya Izul.
Daaaaar!!!!! Belum
sempat Hilmi membalas kebungkaman Izul, ada sebuah peluru yang melesat dan menembus
dada Izul dengan cepatnya. Darah mengucur deras dari dadanya. Hilmi sempat
mendengar lirihan Izul menyebut Asma Allah. Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Apakah semua ini nyata?
“Tangkap Hilmi,
dan biarkan Izul disitu” Mereka menagkap Hilmi yang sedang termangu tak percaya
menatap kepergian sahabatnya.
“Lepaskan aku!!!”
Hilmi mulai memberontak.
“Tidak akan Hilmi,
kamu harus merasakan penderitaan yang lebih mengerikan daripada Izul” Nashrul
tersenyum tajam mencengkram rambut Hilmi.
•••
Sang waktu beranjak jauh menuju 56 tahun kemudian.
Ini adalah sebuah cerita bersambung yang berlatarkan dunia
kepesantrenan yang dibalut dengan misteri penuh teka-teki mengenai kisah cinta
yang tak sempat terungkap kebenarannya hanya karena rasa solidaritas antar
sahabat dan sebuah kesalahpahaman. Kisah ini juga dinarasikan dengan misteri
sosok yang menggerakkan kumpulan pengkhianat pesantren pada tahun’65.
Pengkhianatan tersebut terus berlanjut hingga 56 tahun lamanya. Oleh karena itu
ini adalah sebuah awal, akan ada narasi-narasi selanjutya yang akan memecahkan
problematika di atas. Tunggu saja..!
0 komentar:
Posting Komentar