Oleh: Syifaul Fajriyah
Aku adalah Edel, si cantik jelita dari desa Ancala. Nama ini
terinspirasi dari bunga yang dikeramatkan oleh warga sekitar, yaitu Edelweis.
Sudah menjadi tradisi warga setempat, jika lahir seorang gadis dengan rambut
perak maka nama bunga langka nan suci ini harus diberikan. Siapa sangka,
pasangan Baron dan Hanum yang dikenal dengan kemiskinannya melahirkan putri
yang akan mendapatkan gelar Edelweis.
Edelweis Anisty adalah nama panjangku. Setelah 17 tahun nama ini
tersematkan padaku, perekonomian keluarga kami meningkat pesat. Bahkan,
orangtuaku yang semula dihina kini mereka disanjung dengan gembira. Tak heran
warga berprilaku sedemikian, pasalnya para tetuah disana mengangkat ayah
sebagai bagian dari mereka. Kala itu, ayah yang hanya bekerja sebagai pencari
rumput untuk dijual ke peternak sapi. Tiba-tiba, dipanggil untuk menghadap
sesepuh desa terpencil itu, Eyang Mada
namanya.
Eyang Mada, pria yang hampir berusia hampir satu abad itu adalah
orang yang sangat tegas dan berwajah garang. Bahkan aku takut jika menatapnya.
Usia dan wajahnya seperti tidak sinkron. Jika orang awam yang melihatnya,
mungkin dia kira usianya sekitar enam windu. Eyang memanaggil ayah untuk
dihadapkan kepada warga Ancala.
"Hai
wargaku, Ancala Jaya. Sambutlah tetuah baru kita, Baron. Kuburlah dengan dalam
dia yang dulu. Bukalah lembaran baru dan hormatilah dia. Sayangi dia seperti
kau menyayangi Tetuah yang lain."
Orang Tua itu baik padaku dan ayah bunda. Setiap pagi, siang, dan
malam, Ia teratur mengunjungi gubuk reyot kami. Dapat ku katakan, kunjungannya
seperti minum obat tiga kali sehari. Ia tidak jarang membawa sandang pangan
bagi kami. Bahkan balok emas murni pernah jadi buah tangannya.
Itulah awalnya, hingga suatu ketika aku dan Bunda mulai menaruh
curiga pada kakek tua itu. Suatu hari, Eyang Mada datang ke rumah dengan
membawa sebongkah batu. Sesampainya, Ia mendongengi kita dengan cerita yang
masih belum terbukti kebenarannya. Di kisahkan, batu tersebut adalah
milik Gadis Edelweis pertama di Ancala. Batu inilah sebagai tempat duduk
favoritnya. Ayah diminta untuk merawatnya bahkan melebihi kasih sayangnya pada
keluarga. Memandikan dengan bunga, memberi sehelai kain, bahkan memberinya
makan dan minum. Entah apa sarapan batu itu, Eyang hanya berbisik saja.
Rutinitas ini dilakukan hingga usiaku menginjak 21 tahun.
Ulah kakek berbadan kekar inilah yang membuat Ayah menjadi orang yang berbeda. Bukan hanya Ayah, bahkan hawa di rumah membuat bulu kuduk aku dan Bunda merinding. Memang besar tapi panas, sesak, tidak nyaman itulah rumah kami saat ini. Bunda pun sering berdebat hebat dengan Ayah, kekerasan rumah tangga hampir saja terjadi. Permohonanku pada Ayah yang semula terpendam, pernah ku lontarkan.
"Ayah, kau
berbeda dengan yang dulu. Apa yang kakek tua itu lakukan? Apa dia menyimpan
kesesatan dalam dirimu?" Tangannya yang besar dan keras itu hampir saja
menyentuh pipi merah tanpa blush on ku.
Syukurlah, Bunda menahannya dan ayah menepisnya. Dua tangan besar itu
pun sontak mengusap wajah lusuh ayah.
Tok tok tok...
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar