Oleh: Astri Liyana
Kekerasan atas nama agama selalu dijadikan
alasan oleh pelaku radikal dengan dalih membela dan mengikuti keinginan Tuhan,
serta menjadikan ayat al-Qur’an sebagai pembenaran atas tindakan yang
dilakukan. kurangnya pemahaman dalam menafsirkan ayat-ayat kekerasan dalam
al-Qur’an dapat berujung pada pertikaian antar kelompok. Seakan-akan al-Qur’an
melegalkan tindak kekerasan, baik atas nama jihad ataupun khilafah (Lufaefi,
2017: 2). Oleh sebab itu, menjadi
penting untuk memahami ayat-ayat tersebut berdasarkan konteks dan tujuan
pensyariatannya.
Telaah Ayat-Ayat Jihad dalam al-Qur’an
Jihad acap kali dimaknai sebagai pertikaian
memerangi musuh Islam, sehingga tindakan kekerasan yang dilakukan kepada musuh
Islam dianggap tindakan yang mulia. Akibatnya, jihad dipandang sebagai sesuatu
yang mengerikan dan berujung pada klaim bahwasannya Islam ialah agama
teroris. Sehingga tidak berlebihan
apabila makna jihad dalam ajaran Islam sering disalahpahami, terutama para
pengamat Barat. Kata jihad sendiri mendapat perhatian serius dikalangan umat
muslim. Kewajiban untuk berjihad sudah ada ketika Nabi berada di Makkah.
Perintah jihad pada periode di Makkah, terdapat dalam al-Qur’an dengan menggunakan
kata jihadan kabiran (Jihad agung, sepenuh jihad) dalam surah al-Furqon
ayat 52:
“Maka janganlah
kamu (Muhammad) mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka
dengan al-Qur’an dengan jihad yang besar”.
Ayat tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad
sebagai bentuk perintah dari Allah untuk berjihad melawan orang-orang kafir
dengan jihadan kabiran sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, bukan
dengan pedang maupun kekerasan. Jihad pada ayat-ayat Makkah ini tidak dapat
diartikan sebagai kekerasan fisik atau perang menghadapi musuh. Sebab, periode
Makkah merupakan periode kesungguhan dan kesabaran dalam memperjuangkan Islam,
tanpa kekerasan. Jihad ketika itu ialah komitmen untuk menyampaikan kebenaran
dan keadilan. menurut DR. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menyatakan bahwa
jihad dimaknai sebagai prinsip dakwah tanpa kekerasan ataupun perang. Tetapi,
merujuk pada kebijakan dan kesugguhan dalam menyampaikan kebenaran (Al-Buthy,
1996: 12-22).
Jihad diartikan sebagai prinsip dakwah Islam
dengan perkataan yang bagus (mau’idzhah hasanah) dan dialog yang baik (al-mujadalah
al-hasanah). Dengan kata lain, makna dari jihad selain diartikan sebagai
kesungguhan dan kebijakan juga harus dipahami secara kondisional, provisional
dan berhubungan dengan keadaan sekitar.
Dalam pemaknaanya, kata jihad dapat
mengalami pegurangan makna, terutama ketika ayat-ayat jihad yang turun di
Madinah. Saat ayat-ayat tersebut diturunkan, umat Islam mendapat serangan
militer dari musuh sekitar dan strategi penghianatan dari internal. Sehingga,
banyak ulama yang memaknai jihad sebagai perang yang dilakukan atas nama agama
(Mansyur, 2015: 223). Selain itu, surah at-Taubah ayat 5 juga kerap dijadikan
alat untuk melegitimasi tindaan radikalisme atas nama agama.
“Apabila sudah
habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana
saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah
mereka di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan salat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jika
ditelaah menggunakan teori kesejarahan, dalam ayat tersebut tidak ditemukan
makna kewajiban bagi umat manusia untuk membunuh, menangkap, dan mengintai.
Akan tetapi, dalam ayat tersebut jihad berupa izin dari Allah dan sifatnya
mubah. Sebab, perintah dalam ayat di atas muncul setelah adanya larangan
(dilarang membunuh pada bulan Haram) yang terdapat pada ayat sebelumnya.
Sebagaimana kaidah ushul fiqh “al-amru ba’da al-nahy li al-ibahah (perintah
yang terletak setelah larangan dimaksudkan untuk memperbolehkan). Sehingga,
perintah tersebut tidak bersifat wajib, terkecuali jika perkara yang dihadapi
sangat membahayakan dan tidak bertaubat.[1]
Secara literal, ayat
tersebut memperbolehkan pembunuhan terhadap orang-orang musyrik. Akan tetapi, apabila
ayat ini diterapkan secara lahiriah, maka akan melahirkan berbagai persoalan.
Turunnya ayat ini merupakan perintah untuk melaksanakan perang. Namun, secara
khusus jihad yang dimaksud adalah
membunuh kaum musyrik yang ditemui dan mengepung kaum muslim dalam
keadaan perang. Pada akhir ayat dikatakan bahwasannya kaum muslimin dilarang
membunuh kaum musyrik yang memohon perlindungan kepada kaum muslim. Allah telah memerintahkan untuk
memberikan kesempatan bagi kaum musyrikin yang belum menerima dakwah ataupun
mendengarkan al-Qur’an sama sekali. Hal tersebut menjadi peluang Rasulullah
untuk berdakwah. Apabila kaum musyrikin tersebut tetap menolak, maka aum
muslimi memiliki kewajiban untuk mengantarkan mereka ke tempat yang aman
terhadap jiwanya serta bebas memilih keyakinannya. Dengan begitu kaum muslimin
juga tidak memiliki hak terhadapnya (al-Maraghi, 1996: 59-60).
Meskipun ayat tersebut
menjelaskan tentang kekerasan, akan tetapi hakikatnya ayat tersebut mengandung
misi perdamaian. Setiap turunnya ayat al-Qur’an selalu dikontekstualisasikan
dengan lingkungan sosial Jazirah Arab, yang terbiasa dengan peperangan dalam
memperjuangkan tujuannya. Begitupun dengan turunnya ayat ini, mempunya itujuan
untuk memperjuangkan kemaslahatan dengan cara mengatur peperangan dan juga
menggencarkan peperangan yang telah disepakati (Ridho, 1947: 198).
Sebab, dalam pembahasan ayat tersebut, perang ditujukan
untuk menciptakan perdamaian. Tidak ada satu
pun ayat dalam al-Qur’an yang bertujuan untuk melaksanakan perang atas
nama mengubah agama suatu masyarakat (Hali, 2002: 90-91). Peperangan pada
mulanya memang tidak dibenarkan. dalam al-qur’an lebih dari 70 ayat yang
menentang adanya peperangan. Tetapi, musuh-musuh Islam semakin har semakin
bersikap buruk, kasar, dan ganas (Ash-Shiddieqy, 2007: 406). Kemudian turunlah
ayat untuk membela agama dan negara, yakni surah al-Hajj ayat 39:
“Diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya yang
didzalimi. Dan sungguh Allah Maha Kuasa Menolong mereka itu”.
Ayat tersebut merupakan ayat yang pertama kali
turun bertepatan dengan doktrin peperangan dan kekerasan dalam Islam. akan
tetapi, ayat tersebut kemudian diinterpretasikan oleh pakar sejarah Islam,
Ahmad Syalabi bahwasannya siapapun yang
ingin mendalami ayat ini akan berpandangan
bahwasannya Islam sebenarnya tidak menginginka adanya peperangan. Hal tersebut
diketahui dari penggunaan kata kerja pada permulan ayat dengan term mabni
majhul (bentuk pasif) dengan kata uzzina sebagai fa’il-nya,
dalam hal ini Allah disembunyikan. Sehingga, ini mengilustrasikan bagaimana
Allah tidak dengan peperangan. Dalam ayat ini hanya sekedar memberi izin bagi
yang terdzalimi dengan kata-kata “biannahum zulimu” (karena sesungguhnya
mereka dianiaya). Sebab, ketika ayat ini diturunkan di antara kaum muslimin
belum terlalu meyakini bahwa ayat ini untuk dijadikan alasan melakukan
peperangan (Syalabi, 1994: 154).
Ayat pertama yang turun di Madinah yang
mengizinkan kaum muslimin untuk berperang setelah menahan diri dari intimidasi
kaum kafir selama di Makkah. Kaum muslimin mengeluhkan intimidasi tersebut
kepada Rasulullah dan beliau bersabda, “Bersabarlah, karena aku belum
diperintahkan untuk berperang”. Intimidasi trsebut terus berlangsung hingga
nabi hijrah ke Madinah dan turunlah ayat ini.[2]
Ahmad Muhammad al-Hufy dalam memaknai
perang sebagai representasi dari jihad harus mengandung tiga batasan, di
antaranya harus fi sabilillah sebagai tujuan, mendapat justifikasi dari
penguasa umat Islam yang diakui, serta harus bersifat reaktif (Yurisaldi, 2010:
4). Dalam perspektif Islam, Rasulullah memaknai perang sebagai preferensi
paling akhir apabila tidak ada jalan lain untuk mempertahankan diri selain
mengangkat senjata (A’la, 2014: 100)
Ayat lain yang juga
dijadikan pijakan paham radikal yakni surah at-Taubah ayat 29, yang artinya “Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan tidak
mengharamkan apa yang telah di haramkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragam
dengan agama yang benar, yaitu orang yang diberikan al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah, sedangkan mreka dalam keadaan tunduk dan patuh”.
Ayat di atas merupakan ayat yang pertama kali
turun bertepatan dengan perang melawan ahli Kitab (musyrik), sebab ada
sekelompok Nasrani yang gamang terhadap ajaran nabi Muhammad, kemudian mereka
menghimpun pasukan dari suku Arab yang beragama Kristen dan bersekutu dengan
tentara Romawi untuk menyerang pasukan Muslim. Akibatnya, orang Muslim merasa
cemas setelah mengetahui bahwasannya pasukan sudah sampai di dekat Yordania
(al-Maraghi, 2001: 52-53).
0 komentar:
Posting Komentar