![]() |
Source image:https://irfront.net/wp-content/uploads/2020/10/daqu-sch-id-5dba0e3b097f360c23607032-600x384.jpg |
Astri Liyana
Di era pasca kebenaran (post-truth era)[1] salah satu
tantangan terberat ummat Islam saat ini adalah disrupsi informasi
dalam berbagai bidang termasuk teologi. Ideologi dari berbagai madzhab
pemikiran (Islamic schools of thought) dan gerakan seperti HTI, NII,
Al-Qaeda,Jama’ah Islamiyyah dan ISIS menjadi diskursus liar dan tak terbendung.
Ideologi
radikal-ekstremis yang menggaungkan tema khilafah, jihad, daulah Islamiyyah sudah tidak saja merasuki kognisi ummat namun secara
jelas telah menjadi driving force bagi berbagai aksi terror dan kekerasan di berbagai
wilayah di dunia[2]. Di Indonesia misalnya, selama dua dekade terakhir aksi terror dan kekerasan atas nama agama (Islam) diyakini
juga terpenetrasi ideologi extremist baik Al-Qaeda, Jemaah Islamiyah, dan ISIS.[3]
Munculnya kelompok-kelompok Islam di atas,
bertujuan untuk melahirkan perubahan dan pembaruan secara tajam dan menjadi
revolusioner dalam aspek sosial dan politik. Kemunculan kelompok radikal ini
kemudian memanfaatkan slogan-slogan atas nama agama, seperti “mati syahid”, “jihad
fi sabilillah”, “khilafah”, “Islamic state” yang kemudian menarik perhatian
publik dan memikat simpati, hingga akhirnya merekrut kader-kader ekstrimis,
bahkan digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Agama kemudian dijadikan
sebagai alat yang dapat dieksploitasi untuk mewujudkan kepentingan yang
sesungguhnya. Oleh sebab itulah, tindakan radikalisme yang mengatasnamakan
agama menjadikan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjadi tercoreng
(Ulya, 2016: 114).
Menurut Al-Qardhawi bahwasannya pemicu
kemunculan radikalisme dalam beragama
ialah pemahaman agama yang kurang benar
dan komprehensif atas hakikat ajaran agama dan pemahaman agama yang terlalu
tekstual atau literalistik atas teks-teks agama. Sedangkan, menurut Arkoun
bahwasannya al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman umat muslim salah satunya ialah
untuk membenarkan tingkah laku, melegitimasi tindakan peperangan, menjadi tolak
ukur sebuah apresiasi, memperkuat jati diri sebuah kelompok, dan lain
sebagainya (Rodin, 2016: 32).
Dalam hal ini, sebagian muslim ektremis
menjadikan al-Qur’an sebagai dasar untuk melegitimasi tindakan mereka, seperti
aksi terorisme di New York (9/9/2001), kemudian pengeboman di Bali (12/10/2002
dan 1/10/2005), teror bom yang dilakukan sekeluarga di Surabaya (14/5/2018),
dan baru-baru ini aksi terorisme terjadi di depan Gereja Katedral Makassar
(28/03/2021).[4]
Para pelaku teror mengidentitaskan diri sebagai ‘mujahidin’ yang dalam Islam,
istilah mujahidin ini mendapat tempat yang mulia, yakni ‘orang-orang yang
memperjuangkan agama Allah’.
Adapun penyimpangan interpretasi ayat yang
dilakukan oleh pelaku teror cenderung memunculkan klaim-klaim aneh dan tidak
masuk akal. Sebagaimana pada QS. Taubah yang memerintahkan untuk memerangi
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah. Dalam ayat tersebut, Imam Samudera
(pelaku bom Bali I tahun 2002) berpandangan bahwasannya berjihad dengan senjata
merupakan satu-satunya indikator antara orang beriman dan tidak. Menurutnya,
jihad bersenjata ialah kekal hingga dunia berakhir dan tujuannya ialah
memerangi orang-orang yang tidak beriman di mana pun mereka berada. Jihad
bersenjata merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan hingga tanah muslim
merdeka dari orang-orang yang tidak beriman.[5]
Klaim di atas tentu menuai persoalan penting,
di antaranya ialah; apakah perang yang dimaksud dalam ayat tersebut berbentuk
tindakan kekerasan? Sedangkan, Islam merupakan agama yang rahmatan lil
‘alamin. Maka dari itu, tulisan ini kemudian menjadi menarik untuk
mengetahui ayat-ayat dalam al-Qur’an yang kemungkinan disalahpahami seseorang
hingga menimbulkan tindakan radikal dan bagaimana penafsiran-penafisran para
ulama dalam memahami ayat-ayat tersebut untuk menghindari salah pandang dalam
menangkap pesan-pesan dalam al-Qur’an.
[1]
Biesecker mendefinisikan post-truth sebagai a philosophical and political
concept for "the disappearance of shared objective standards for
truth" and the "circuitous slippage between facts or alternative
facts, knowledge, opinion, belief, and truth". Post-truth discourse is
often contrasted with the forms taken by scientific methods and inquiry. Lihat, Biesecker (2018). "Guest
Editor's Introduction: Toward an Archaeogenealogy of Post-truth".
Philosophy & Rhetoric. 51 (4): 329.
[2]
Lihat beberapa kasus seperti…
0 komentar:
Posting Komentar