Oleh: Ahmad Nasrul M
Mataku
berkeliling menyaksikan para pengunjung lainnya. Ada yang datang bersama
keluarganya, ada yang bersama temannya hingga ada yang nampak duduk sendirian,
kasihan. Seusai beberapa menit lamanya, Riski datang seraya menyeimbangkan dua
gelas di atas nampannya.
“Apa ini ?”
tanyaku penasaran
“Sahlab” ia mendekatkan
gelas besar berisikan minuman berwarna putih itu ke mulutnya. Sontak aku menyeret
tangannya yang membuat sebagian minuman itu tertumpah. “Ris belum buka”
“Apa-apaan kau
ini, tengok jam” wajahku sedikit merah menahan malu setelah tahu bahwa jarum
jam berada tepat di pukul enam. Ternyata aku sudah cukup lama singgah di
restoran ini.
Aku meneguk isi
gelas itu perlahan, rasanya segar untuk membasahi keringnya tenggorokan. Rasanya
cukup manis, mungkin ini berasal dari susu dan kayu manis yang dicampurkan. Gelasku
hampir habis, tersisa empat kali tegukan untuk ku minum setelah menghabiskan
canai yang juga dipesan Riski.
Di tengah
nikmatnya makan, mendadak saja aku teringat akan tujuan kita sebelumnya. Aku
menagihnya kepada Riski, “Mana kolak khas Saudi yang kau janjikan Riss ?”
ujarku bersamaan dengan Riski yang hendak meneguk minumnya. Namun ternyata
pertanyaanku tidak dapat menghentikan mulutnya yang terus menyesap cairan putih
itu.
“Apakah kau
tidak merasakan sedikit pun kolak di sahlab ini ?” kepalaku menggeleng, tanpa
mengujar kata.
“Kau yang benar
Yus, ini bahkan lebih manis dari kolakmu” ia kembali meneguk minuman itu lebih
lama, sepertinya ia berusaha meyakinkanku bahwa minuman ini selezat kolak
Ramadhan.
“Bagaimana bisa
kau menyebutnya kolak, kalau di sini saja aku tak melihat pisang bahkan rasa
santan sedikit pun” ucapku dengen nada tinggi, membuat beberapa pengunjung
lainnya melirik kepadaku.
“Tapi ini lebih
lezat dibanding kolak kan ?” Ternyata Riski juga tidak ingin kalah dariku. Ia
bahkan meninggikan suaranya dariku. Apakah kita akan beradu mulut lagi ? Tidak,
setelah seorang nenek tua menghampiri kita berdua. Sepertinya ucapanku dan
Riski telah mengalihkan perhatian pengunjung restoran.
Wanita paruh
baya itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Jubahnya hitam lebar, dengan ditempeli
pernak pernik bening di beberapa bagiannya. “Apakah kalian sedang
memperdebatkan ini ?” Riski menginjak kakiku dari bawah meja sedang aku reflek
kesakitan. Kita berdua saling pandang agak lama. Hingga Riski memberanikan diri
untuk bertanya, “Apakah antum dari Indonesia ?” Wanita tua itu
membenarkan kursi di samping Riski,
“Apakah saya
boleh duduk di sini ?”
“Silahkann”
jawabku hampir bersamaan
Sebelum ia
bercerita lebar, Nenek itu membuka sebuah wadah yang dikeluarkannya, lantas
mengaduk lalu menuangkannya ke dalam gelasku dan Riski. Aku terkejut, ternyata
isi dari wadah itu adalah sebuah kolak pisang. Mataku berbinar memandangi kolak
pisang berharga ini. “Minumlah ! Semoga kolak pisang ini dapat mewakili jawaban
atas pertanyaan kalian dari mana aku berasal ?” kami bertiga saling tertawa lepas
sembari meneguk kolak pisang langkah itu.
“Lihat Riss,
kolak pisang Arab Saudi gak ada, kalo kolak pisang di Arab saudi baru adaaa”
Mendengarkan
ceritanya, ternyata wanita baik itu perantau Indonesia yang kerja sebagai
asisten rumah tangga di negeri ini. Beruntungnya ia mendapatkan majikan yang
baik, sehingga dia sangat betah untuk tinggal di sini. Karena biasanya dari tenaga
kerja Indonesia yang meminta untuk cepat pulang lantaran mendapatkan majikan
yang ringan tangan.
0 komentar:
Posting Komentar