Oleh:
Nur Sholikhah
Seorang lelaki tambun duduk di teras rumahnya. Matanya
menyapu pemandangan sawah yang tampak hijau segar akibat tersiram hujan tadi
malam. Mulut dan tangan kanannya Tak henti-hentinya bermain dengan sebatang
rokok. Asap tipis juga aroma embun menambah aroma paginya.
Lagu tahun 90an terdengar nyaring dari salon di dalam
rumahnya. Aku tebak, ia sedang bernostalgia dengan Masa lalunya. Mungkin saat
Masa mudanya, saat ia belum membagi penghasilannya bersama orang lain yang kini
menjadi istrinya.
***
Pagi ini aku merasa lebih beruntung. Aku masih bisa
menikmati pagi dengan sesantai ini. Tidak terburu-buru dan diburu. Tidak Ada
yang menuntut dan dituntut. Meskipun kini Aku sudah menjadi kepala keluarga
yang mengemban banyak tanggung jawab, Aku masih bisa menyelam Masa lalu saat
masih muda dulu.
Kuputar lagu-lagu yang dulu pernah tenar pada
jamannya. Kuhisap beberapa batang rokok sembari menikmati pemandangan sawah
juga halaman rumah yang kini dipenuhi bunga-bunga. Istriku memang suka dengan
tanaman. Maka kubiarkan ia mengisi sebagian tanah kosong ini dengan
bunga-bunga. Terkadang aku membelikannya bibit cabai, terong dan tomat agar
bisa dinikmati hasilnya.
Aku dikaruniai dua anak, satu perempuan dan satu
laki-laki. Dengan bekerja sebagai Tukang servis barang-barang elektronik Aku
bisa menafkahi mereka. Membelikannya mainan, membiayai pendidikan, dan
memberinya sedikit uang jajan. Hidupku berkecukupan. Rumah Tak perlu
repot-repot kubangun Karena aku mendapat warisan. Hanya perlu sedikit renovasi
agar rumah ini menjadi layak ditempati.
Sesekali Aku Tak bisa menafkahinya dengan cukup Karena
pekerjaan yang sepi. Aku punya tanggungan Kredit motor yang belum terlunasi.
Akhirnya terpaksa mencari pinjaman uang ke koperasi dengan menggadaikan BPKB
Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika seperti itu aku merasa gagal menjadi
kepala rumah tangga. Seharusnya aku bisa memenuhi kebutuhan mereka tanpa perlu
meminjam ke sana-sini. Tapi bukankah kehidupan memang menawarkan seperti ini?
Ada tanjakan agar Kita bisa meningkatkan kekuatan diri?
Di saat sulit seperti itu, istriku yang memainkan
perannya. Ia mengatur keuangan sedemikian rupa agar pemasukan yang sedikit
tetap bisa memenuhi kebutuhan yang tidak berubah. Aku Hanya memberi Dan ia yang
mengendalikannya. Ah perempuan itu memang istimewa, pandai sekali untuk urusan
uang.
Jika membicarakannya, aku teringat bagaimana isak
tangisnya saat ia pamit dari rumah. Setelah sah menjadi istriku, ia akan ikut
tinggal bersamaku. Sementara rumahnya tidak sekota denganku. Ia yang dari kecil
tidak pernah tinggal berpisah dengan orang tua terpaksa harus keluar dari zona
nyamannya. Tinggal bersama lelaki yang baru ia kenal beberapa Bulan dan hidup
di tengah-tengah keluarga juga orang tua barunya. Aku tahu itu bukan Hal yang
mudah. Maka kubiarkan ia menghibur dirinya dengan menanam bunga-bunga agar
hatinya senang meski jauh dari orang tua.
Suara denting jam yang berbunyi tujuh Kali
menyadarkanku dari lamunan pagi ini. Tampak perempuan itu sedang menyapu
halaman. Ketika ia tahu aku memandangnya, ia berkata, "Sudah selesai
ngopinya? Ayo katanya mau antar Aku ke pasar?"
Aku mengangguk lalu berdiri dari lamunan
panjang ini, mengeluarkan motor yang belum terlunasi.
***
"Jam
berapa balik Malang?"
Pertanyaan
ibu dari dalam rumah mengakhiri pikiran yang berisik ini. Ah, pagiku penuh
dengan imajinasi.
0 komentar:
Posting Komentar