Oleh: Hilwah Tsaniyah
K.H. Muhadjirin merupakan salah satu sosok ulama dari Betawi yang memiliki
perhatian lebih terhadap keberadaan ilmu falak, baik metodologi hisab maupun
ru’yah. Selain itu beliau juga salah satu ulama yang produktif dalam tulis
menulis terutama kitab-kitab berbahasa Arab. Nama lengkapnya Muhammad
Muhadjirin Amsar Addary yang lahir di Jakarta (Kampung Baru Cakung, Jakarta
Timur) pada tanggal 10 November tahun 1924, yang kemudian wafat pada tanggal 31
Januari pada tahun 2003. Dilahirkan dari pasangan suami istri H. Amsar bin Fiin
dan ibu Hj. Zuhriah binti Syafii. Beliau adalah anak pertama dari tujuh
bersaudara, di antara saudara-saudaranya adalah Hj.Saodah, H. Mahbub, Hj.
Saeni, H. Ma’ruf, Hj. Salmanih, H. Solahudin.
Dalam perjalanan masa belajarnya K.H Muhadjirin memiliki 2 periode,
yaitu (1) periode belajar di Jakarta dan (2) periode belajar di Mekkah dan
Madinah. Pada periode pertama, yaitu semasa di Jakarta, beliau mempelajari
berbagai macam ilmu agama, yakni ilmu Al-qur’an, ilmu Alat, dan ilmu lainnya
dari beberapa ulama besar yang bertempat di Jakarta dan sekitarnya. Ulama-ulama
tersebut ialah : (a) Guru Asmat, kitab yang dipelajari adalah Nahwu dan Shorof;
(b) H.Mukhayyar, kitab yang dipelajari adalah Al-Qur’an dan ilmu tajwidnya; (c)
H.Ahmad, kitab yang dipelajari adalah Mawahib Asshomad; (d) KH. Hasbiallah Klender,
kitab yang dipelajari adalah Jahwar Al-Maknun; (e) H.Rahmat, kitab yang
dipelajari adalah Assyaqowi ‘ala Tahrir; (f) KH. Ahmad Mursyidi, kitab yang
dipelajari adalah Idhohul Mubham; (g) H. Hasan Murtaha, kitab yang dipelajari
adalah ‘Uqudul Juman; (h) Syekh Muhammad Thohir ialah guru terlama yang
mengajar K.H Muhadjirin,yakni selama 9 tahun. Kitab yang dibaca adalah Asyumuni
‘ala Alfiah; (i) H. Ahmad bin Muhammad merupakan salah seorang murid guru
Mansyur Falaky. kitab yang dipelajari
adalah ilmu tentang gerhana Matahari dan Bulan; (j) KH. Sholeh Makmun Banten,
kitab yang dipelajari adalah tatacara membaca Al-Qur’an; (k) Syekh Abdul Majid,
kitab yang dipelajari adalah Fathul Wahab; (l) Sayyid Ali bin Abdurrahman Al
Habsyi Kwitang, kitab yang dipelajari adalah Al Hikam.
Kemudian pada periode kedua, yaitu semasa di kota Mekkah dan Madinah
dimulai pada tanggal 4 bulan Agustus tahun 1947. Beliau berangkat dari
Indonesia menuju Jeddah menggunakan kapal laut yang mana ini adalah cita-cita
beliau untuk bisa menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah. Kemudian beliau tiba di
Jeddah pada bulan September di tahun yang sama beliau tiba di tanah suci Mekkah.
Pada kesempatan itu pula beliau menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya.
Selama kurang lebih 2 tahun beliau berguru kepada beberapa ulama
besar di kota Mekkah dan Madinah diantaranya adalah: (1) Syaikh Muhammad Ahyad,
kitab yang dibaca adalah Fathul Wahab; (2) Syaikh Hasan Muhammad Al Masyath di Masjidil
Haram, kitab yang dibaca adalah Shohih Muslim dan Bukhori; (3) Syaikh Zaini
Bawean di kediamannya, kitab yang dibaca adalah Ihya ‘Ulumuddin; (4) Syaikh Muhammad
Ali bin Husain Al Maliki di kediamannya, kitab yang dibaca adalah Tuhfah; (5) Syaikh
Mukhtar Ampetan di kediamannya, kitab yang dibaca adalah Al Itqon Fi ‘Ulumil
Qur’an; (6) Syeikh Muhammad Al ‘Arobi Attubbani Al Sutoyfi Al Jazairi, kitab
yang dibaca adalah Tafsir Ibnu Katsir; (7) Syaikh Said ‘Alawi Abbas Al Maliki
di kediamannya, kitab yang dibaca adalah Mughni Labib; (8) Syaikh Ibrohim
Fathoni di Masjidil Haram, kitab yang dibaca adalah Tafsir Jalalain; (9) Syaikh
Muhammad Amin Al Kutbi di Masjidil Haram juga , kitab yang dibaca adalah Fiqh
Al Hanafi; (10) dan Syaikh Ismail Fathoni juga di kediamannya, kitab yang dibaca
adalah Hasyiah Ibn Aqil ‘Ala Alfiah.
Sedangkan pada saat di kota Madinah beliau menimba ilmu agama
kepada Syaikh Muhammad Amin Alsingiti dan Syaikh Abdul Rahman Alafriqy. Maka total
beliau menuntut ilmu di kota Mekkah dan Madinah adalah lebih dari 8 tahun.
Kemudian setelah menyelesaikan studinya di Mekkah dan Madinah beliau kembali ke
Indonesia pada hari kamis tanggal 6 Agustus 1955.
Berdirinya Pondok Pesantren Annida Al Islamy Bekasi ini bertepatan
dengan berdirinya Pondok Pesantren Bahagia Bekasi yakni pada awal-awal masa
kemerdekaan Indonesia. Lokasinya pada saat itu terletak di alun-alun Bekasi
yang merupakan simbol lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh para ulama
di Bekasi. Salah satu pendirinya ialah KH. Abdurrahman Shodri yang merupakan
mertua dari KH. Muhadjirin .
Pada tahun 1957 putri dari KH. Abdurrahman Shodri dinikahi oleh KH.
Muhadjirin yang baru kembali menuntut ilmu di kota Mekkah dan Madinah. Mereka
dikaruniai 8 anak yakni: (1) Hj. Faiqoh Muhadjirin; (2) H. Muhammad Ihsan
Muhadjirin; (3) H. Ahmad Zufar Muhadjirin (almarhum); (4) Hj. Badi’ah
Muhadjirin; (5) Hj. Farhah Muhadjirin; (6) Hj. Rufaida Muhadjirin; (7) H. Dhiya
Al Maqdisi Muhadjirin dan; (8) H. Muhammad Aiz Muhadjirin. Setelah resmi
menjadi menantu dari KH. Abdurrahman Shodri, KH. Muhadjirin ikut bergabung
dalam membesarkan pondok pesantren yang waktu itu masih bernama Pondok
Pesantren Bahagia.
Pengabdian KH. Muhadjirin di Pondok Pesantren Bahagia berlanjut hingga
wafatnya KH. Abdurrahman Shodri pada tahun 1960. Namun setelah wafatnya KH.
Abdurrahman Shodri kondisi Pondok Pesantren Bahagia mengalami pasang surut,
terutama dalam persoalan internal pondok. Lokasi Pondok Pesantren Bahagia yang
berada di alun-alun kota Bekasi yang bersebelahan dengan markas Kodim TNI
menyulut persoalan, karena kebutuhan akan perluasan markas tersebut yang
kemudian memaksa pondok pesantren tersebut untuk melakukan relokasi.
Dalam proses relokasi pondok pesantern bahagia inilah yang kemudian
menjadi puncak persoalan internal pengurus pondok maupun para gurunya. Aset
yang dimiliki pondok pesantren, termasuk di dalamnya para santri menjadi
persoalan internal pengurus dan para guru. Mereka para santri diberikan
kebebasan untuk memilih guru yang kemudian akan mereka ikuti nantinya.
Mayoritas santri memilih KH. Muhadjirin dikarenakan beliau memiliki kemampuan
agama yang mumpuni. Bagi santri-santri yang telah memilih beliau kemudian
dipindahkan ke lokasi rumah mertuanya KH. Abdurrahman Shodri yakni di jalan Ir.H.Juanda.
Sedangkan aset fisik berupa sarana dan prasarana pondok pesantren KH. Muhadjirin
maupun keluarga KH.Abdurrahman Shodri tidak mendapat bagian sama sekali.
Dengan bermodalkan seadanya, proses belajar mengajar tetap
terlaksana. Namun oleh KH. Muhadjirin tidak lagi memakai nama Pondok Pesantren
Bahagia, karena seiring dengan beralihnya aset Pondok Pesantren Bahagia yang
menjadi milik Kodim. Maka awal proses pembelajaran oleh KH. Muhadjirin
dilaksanakan di salah satu rumah mantan pengurus Pondok Pesantren Bahagia selama
beberapa waktu, yakni di rumah bapak H.Muhammad Idrus (Madrus) yang terletak
persis di samping Pondok Pesantren Bahagia dan masjid Agung Al-Barkah Bekasi. Hingga
pada akhirnya dipindah dan dilaksanakan di kediaman KH. Abdurrahman Shodri.
Secara resmi nama Annida Al Islamy dalam catatan digunakan pada
tanggal 4 april 1963. Kata “Annida” digunakan karena terinspirasi dari salah
satu ayat al-Qur’an yakni dalam surah Ali Imran ayat 193, yang artinya: Ya
Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,
(yaitu): “berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak
berbakti.
Referensi:
https://annidaalislamy.ac.id/sejarah
https://annidaalislamy.online/
0 komentar:
Posting Komentar