![]() |
Oleh: Ahmad Nasrul Maulana
Terduduk di bangku panjang halte,
seorang anak kecil laki-laki berseragam lengkap melamun sendirian. Bajunya
berwarna violet dengan dasi berbentuk pita di lehernya. Celananya pendek
seirama dengan baju yang dikenakannya. Sesekali kepalanya menoleh ke kanan dan
ke kiri, seakan mencari sesuatu yang dinanti-nanti. Beberapa orang berlalu
lalang di sekitarnya, namun tidak ada satu pun yang memperhatikan, adapun hanya
sekedar menjatuhkan lirikan, sebentar, lalu diabaikan.
Hampir lima belas menit anak itu
duduk sendiri, ku rasa ia sudah mulai bosan sebab tangannya merogok ranselnya
seperti sedang mengambil sesuatu. Kini di tangannya terdapat sebilah warna
lengkap dengan buku tulisnya. Ia tampak menikmati gerakan tangannya yang
menggores kertas putih dengan berbagai warna, entah apa yang digambarnya.
Jelasnya ia sedang menggambar apa yang terbesit di dalam pikirannya.
Angin siang itu benar-benar berhembus
kencang, bahkan dress yang ku kenakan beberapa kali terangkat terbang,
bersamaan dengan rambut lurus dari anak kecil itu yang terurai berai. Matanya
masih menatap lekat buku gambarnya, terkadang lidahnya terjulur keluar, semacam
tokoh kartun yang sedang fokus menggambar.
Ternyata menggambar tidak seseru
yang dipikirkan, kembali kebosanan datang bertandang, membuat wajah anak itu
kembali melesu masam. Kali ini ia memasukkan buku gambarnya kembali ke ranselnya.
Anak kecil itu duduk kembali, kakinya yang terangkat karena bangku halte yang
tinggi, ia ayun-ayunkan. Hingga tibalah seorang pria tua menghampirinya. Pria
berpiyama cokelat itu memilih duduk di sampingnya.
Aku tidak tahu apa yang sedang
diperbincangkannya, namun aku dapat melihat beberapa senyuman terjahit di wajah
anak itu, apakah itu ayahnya? Paman atau kakeknya? Sepertinya bukan, pria tua
itu hanya duduk sementara, lalu pergi meninggalkan anak kecil itu sendiri,
lagi.
Pikiran anak itu sepertinya
benar-benar kosong, kemana orang tuanya yang mungkin telah berjanji untuk
menjemputnya. Sudah separuh jam tidak ada tanda-tanda sedan yang hendak parkir
di depan halte kota tersebut. Beberapa bus juga telah datang di halte itu,
namun anak itu masih tidak beranjak dari tempat duduknya. Membiarkan anak kecil
sendiri seperti ini bagiku sangat berbahaya. Harusnya orang tua menjemput
anaknya sesuai dengan jadwal kepulangan sekolahnya. Terkadang dunia terlalu
keras bagi mereka. Penculikan merupakan salah satu tindak kriminal yang masih
sering terjadi. Anak-anak yang pulang dari sekolah tiba-tiba diangkut
menggunakan mobil box, ada yang berdalih mengiming-iming permen, snack dan lain
sebagainya. Hampir semua kasus tersebut saat ku baca di koran harian kota
mencatat bahwa tujuh puluh lima persen kejahatan terhadap seorang anak
disebabkan oleh lalainya pengawasan orang tua.
Rasa khawatir memuncak cepat
lantaran anak kecil itu dihampiri oleh seorang pria berbadan gempal. Tidak
sanggup aku membayangkan anak manis itu berteriak kencang meminta tolong atau
bahkan lebih mirisnya ia tertidur begitu saja di tangan pria gempal bertato
itu. Ia dihipnotis. Aku berdiri dari tempat dudukku, bersiap menerjang jalan
jika pria gempal berani menyentuh kasar anak kecil itu.
Mereka berdua terlihat masih terus
berbincang, apa mungkin itu adalah siasatnya untuk mengambil langkah saat anak
itu lengah?. Percakapan mereka bahkan lebih lama dibanding dengan pria tua
tadi. Sialan, mobil sedan hitam menghalangi pandanganku dari mereka. Mobil itu
terparkir tepat di depan mereka berdua. Apakah pengendara mobil itu adalah
bagian dari penjahat penculikan? Akankah anak kecil itu akan dibawa paksa masuk
mobil lalu pergi menghilang.
“Tit...tit...tittttt”
“Titttttt....”
Beberapa mobil hampir bertabrakan
karena ulahku menyebrang jalan sembarangan. Tapi hal berbahaya itu harus ku
lakukam agar segera tiba ke sebrang jalan.sebelum anak kecil itu dibawa kabur
dan menghilang.
“Lepaskann anak itu, kalo berani
lawan aku dulu?” kedua pria itu menatapku tajam.
“Papaaaa” anak kecil itu berlari berlari
kecil ke arah pria yang baru saja keluar dari mobil. Wajahku memerah seketika,
sedang tatapan tajam mereka berganti dengan tawa kecil yang ditahan. Malunya
aku bukan kepalang.
“Mari Mbak... mari Mas”
Bahkan dia masih sempat menyapaku dan
pria gempal itu.
0 komentar:
Posting Komentar