Part 1
Definisi bahagia memang sangatlah beragam. Saya sendiri sempat bertanya pada teman socmed saya tentang definisi bahagia. Jawaban teman-teman saya pun beragam, dari jawaban agamis, sampai jawaban alay ala muda-mudi baper, hihi. Saya tidak menyalahkan pendapat mereka, hanya saja ada beberapa jawaban yang menurut saya kurang pas untuk diseiyasekatakan, mungkin dikarenakan oleh kondisi psikologis mereka yang kebetulan sedang tertekan, atau sedang tidak merasa relax dengan yang dialami waktu itu.
Jawaban dominan
dari teman saya ialah, bahwa bahagia itu ketika kita bisa membahagiakan orang
lain. Ada yang sependapat dengan statemen ini? Okay, me too, but not at all.
Membahagiakan orang lain itu boleh-boleh saja, sah-sah saja, selama kita mampu
dan dengan rela melakukan hal-hal yang kita kira bisa membahagiakan orang lain.
Akan tetapi, bagaimana jika kita keberatan untuk melakukan hal tersebut?
Bagaimana jika kita malah semakin menjadi orang lain demi membahagiakan orang
lain? Bagaimana jika hal tersebut justru mempersulit diri sendiri? Wah, tentu
hal tersebut bukan menjadi aspek kebahagiaan kita.
Dalam mengejar
kebahagiaan, kita perlu mengenal benar-benar diri kita sendiri. Kemudian, jika
kita sudah mengenal diri sendiri maka kita akan tahu potensi pada diri kita
yang dengannya kemudian kita dapat salurkan untuk ikut terjun dalam
kegiatan-kegiatan sosial sebagai rasa solidaritas, tanpa harus merasa
terbebani. Tidak hanya itu, dengan mengenal diri sendiri, seseorang akan
mengetahui visi-visi besar yang ingin kita wujudkan. Hal itulah yang kemudian
akan mengarahkan kita pada aktivitas-aktivitas yang baik yang memiliki bobot
atau value, dan pengaruh positif terutama pada diri sendiri.
Menjadi diri
sendiri bukan berarti kemudian untuk berbesar kepala, tidak! Menjadi diri
sendiri di sini diartikan sebagai mengenal identitas diri. Jika sebagai pemeluk
agama Islam, seseorang harus benar-benar
membawa identitas keislamannya di mana pun dan kapan pun. Toh, dalam agama Islam
juga sudah tersusun semua aturan-aturan, disiplin, tata cara bermuamalah,
dan juga hal-hal yang berkaitan dengan semua aspek kehidupan. Dengan begitu,
seseorang dalam mengenal dirinya tidak hanya berbatas pada mengenal dirinya
saja, akan tetapi juga justru akan mengenal substansi pada dirinya, eksistensi
yang menguasai dirinya, dan ia perlahan-lahan akan mengenal Rabb-nya. (man
‘arafa nafsahu ‘arafa Rabbahu). Dan apabila seseorang sudah mengenali
dirinya, bolehlah kiranya jika kebahagiaan yang didapat tersebut sebagaimana
yang dijelaskan mengenai kebahagiaan perspektif tasawuf.
Dalam
perspektif tasawuf, saya mengambil dari ulasan tentang pendapat Al-Ghazali.
Menurut Al-Ghazali, puncak kebahagiaan manusia itu setelah berhasil mengenal
Allah atau yang disebut ma’rifatullah. Mengapa ma’rifatullah? Jadi
begini, hati, tidak lain diciptakan supaya manusia senantiasa mengingat Allah.
Perumpamaan sederhananya, seorang rakyat jelata, jika ia dapat mengenal kepala
pemerintahan baik berupa raja, atau presiden, pasti ia akan merasa gembira.
Jika hanya dengan mengenal sesama makhluk Tuhan saja ia bisa bergembira,
bagaimana jika ia mengenal Sang Maha Segalanya?
Menurut ‘Aidh
Al-Qarni, seorang filsuf kontemporer, kebahagiaan ialah sebuah rasa legowo
atau lapang dada dalam menerima kebenaran, dan ketenangan hati karena
kebaikan-kebaikan yang mengelilingi. Secara garis besar, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa kebahagiaan tidak dicukupkan pada unsur duniawi saja, dan
kebahagiaan hakiki ialah kebahagiaan yang didapat di akhirat kelak.
Menyangkut
perspektif kebahagiaan dan pendapat teman-teman saya yang berbeda dalam
mendefinisikannya, memang, setiap individu memiliki kesadaran sendiri akan
kebahagiaan dirinya. Mereka pun memiliki caranya sendiri untuk bisa meraih
kebahagiaan. Ya, hal ini kembali lagi pada kondisi psikologis setiap individu.
Pengalaman setiap orang berbeda-beda, hal ini yang mempengaruhi cara pandang mereka.
To be continued.......
0 komentar:
Posting Komentar