Oleh: Syifaul Fajriyah
Mentari merona dari balik pohon yang melambai-lambai. Embun pagi
menyelimuti dedaunan. Alarm dengan nada dering kokokan unggas berkaki dua itu masih
terdengar. Gumpalan asap keluar dari cerobong rumah Dea. Hingga kebisingan pun
ikut menyertai.
“Bun, bekal Dea apa sudah siap?”
“Sudah, bunda letakkan diatas
meja. Tinggal buat cokelat hangat.”
Dea yang tengah berkaca sembari merapikan jilbabnya pun beranjak
membantu ibunda. Tiba-tiba, ponsel yang tengah berbaring di ranjang pun
berdering. Tersemat nama Cherin di layar ponsel. Panggilan itu mengundurkan
niat Dea untuk pergi ke dapur. Obrolan mereka semakin membuat Dea panik. Akhir
pekan ini Dea bersama delapan temannya pergi menyusuri perbukitan yang berada
di kota tetangga, tepatnya di Kota Batu. Teman-temannya menunggu Dea di
swalayan terdekat, sambari membeli kebutuhan untuk piknik.
Ucapan salam menutup percakapan Dea dan Cherin. Sembilan kotak nasi goreng dan beberapa Sandwich dengan cokelat hangat
pun menjadi teman di kala perut keroncongan. Gadis dengan jilbab berwarna babypink itupun menjabat tangan
kedua orangtuanya. Sontak tangan sang ibunda mendarat diatas kepala Dea, seakan
melayangkan ridhonya.
Sejuknya
udara pagi membuat wajah dan telapak tangan Dea dingin. Jalanan yang sebelas
dua belas dengan kuburan itupun membuat motor Dea melaju dengan kencang.
Basmallah dan sholawat tak henti-henti Ia ucapkan. Itulah amanat dari sang ayah.
Setibanya
di swalayan, Dea disambut dengan wajah cemberut oleh teman-temannya. Dea yang
sudah paham dengan raut muka itu pun langsung mengangkat keranjang yang berisi
bekal untuk meredakan amarah mereka. Seketika wajah-wajah itu seperti kucing
yang melihat ikan-ikan di pasar. Ya, seperti ada berlian di wajah mereka.
Maklum saja, berangkat pagi-pagi sekali tanpa ada sarapan pagi, hanya
mengandalkan kemurahan hati teman sejati. Teman-teman Dea berasal dari luar
kota, mereka tinggal di salah satu asrama yang sama. Hanya Dea yang tinggal di
Malang satu atap dengan orangtua. Oleh karena itulah, Dea menjadi peta
berjalan, yang siap membantu perjalanan teman-temannya.
Bangunan
yang berdiri kokoh dan
pepohonan menghalangi sinar sang surya yang terpaksa menerobos
dari sela-sela ranting. Sengatan Mentari pun sedikit demi sedikit menunjukkan
kehangatannya. Dan jalanan pun menunjukkan wajah aslinya. Ya, kebisingan
knalpot dan polusi dari asapnya itulah wajah asli dari jalanan.
Berpuluh-puluh kilometer mereka lalui, hingga jalanan yang semula
dihinggapi oleh bangunan kini berubah menjadi lahan hijau. Dea dan sobatnya pun
menikmati perjalanan dengan menurunkan kecepatan. Lika-liku bukan hanya terjadi dalam kehidupan saja, namun jalan
yang dilalui Dea pun sama. Gadis dengan tahi lalat di ujung matanya itu pun
melepaskan beban yang sudah menggunung di pundaknya. Teriak dengan lafadz
takjub akan ciptaan Sang Maha Pencipta tak henti-henti Ia lantunkan. Tak
terasa, jikalau mereka telah sampai di lokasi tujuan.
Hamparan
sabana dengan tiang-tiang pohon pinus menambah keindahan alam siang itu. Panas
mentari sudah tak terasa, karena pinus menghalanginya dengan baik. Selembar
kain membentang menjadi alas duduk sembilan gadis cantik itu. Keranjang yang
sedari tadi duduk manis di depan Dea pun menjadi titik pusat. Hingga membuat
Leny, teman Dea yang suka makan teriak histeris.
“Aw,
divisi konsumi kita nih.. Yey, saat nya makan. Tau gak sih, aku tadi lemes
banget. Sampai lubang segede beban hidup, aku gak liat, aku terobos gitu aja.
Ya gimana lagi, sarapan cuma susu doang.”
Celetuk
alaynya membuat orang-orang yang mendengarnya tertawa. Piknik ini diisi dengan
bincang-bincang ala gadis, yang membahas cerita kehidupan secara tuntas hingga
ke seluk beluk terdalamnya. Sempat terciut nama orang luar, untunglah sempat
tertahan agar tidak menjadi bahan ghibah.
Seusai
menyantap hidangan yang ada dalam keranjang, merekapun melanjutkan untuk bersua
foto. Salah satu teman Dea, Ririn namanya, mahir dalam hal jepret menjepret.
Setiap gambar yang dihasilkan bernuansa aesthetic. Dengan bantuan kamera dan
tripod, jejak piknik sembilan gadis itu terekam dengan baik.
Sudah
dirasa puas dengan hasil foto yang didapat. Mereka pun beranjak ke tujuan
selanjutnya, yaitu tempat untuk bercengkrama dengan ditemani oleh secangkir
kopi. Namun sayang, dua kilometer dari tempat piknik terdapat jalanan dengan
penuh lumpur menghadang jalan mereka. Dengan terpaksa, Dea dan teman-teman pun
melewati nya dengan penuh hati-hati. Tiba-tiba terdengar suara motor jatuh di
belakang Dea.
“Eh,
tolong tolong... Cherin dan Elsa jatuh ke lumpur.”
Dea,
Ririn, Leny, dan ke-empat temanya yang telah berhasil melewati kobaran lumpur
pun bergegas turun dari motor dan berlari menyelamatkan Cherin dan Elsa. Wajah
Cherin yang semula glowing akan skincare kini jadi glowing akan lumpur.
Sedangkan, baju Elsa yang semula berwarna putih tulang kini berwarna sama
dengan coklat hangat milik bunda Dea.
“Mau
tertawa, tapi takut kena omelan Cherin.”
Bisikan
Leny, membuat Ririn ikut menahan tawa. Elsa yang awalnya duduk termenung
melihat busananya, kini mencoba melihat keadaan partner bermotornya, Cherin.
Sontak Elsa shok melihat muka Cherin dan Ia pun tertawa terbahak-bahak.
Teman-temannya yang sedari tadi menahan tawa pun ikut kelepasan. Seperti sudah
diatur otomatis, raut muka Cherin menunjukkan kemarahan. Ririn yang sadar akan
hal itu pun mengambil ponsel dan memberikannya kepada Cherin untuk digunakan
bercermin. Seketika suasana menjadi hening, delapan gadis tersebut khawatir
jika Cherin marah. Gadis yang memiliki lesung pipi itu pun tertawa
terbahak-bahak melihat mukanya dipenuhi lumpur. Tawanya membuyarkan suasana
sunyi dan menarik kembali tawa gadis-gadis itu.
“Tau gak sih, untungnya kita jomblo.. Kalau kita punya pacar, terus
jalan bareng. Terus kejadian kaya Cherin sama Elsa. Duh, malunya sampai
ubun-ubun.” Celetuk Dea di sela-sela tawa.
“hahaha.. bener banget bund. Setelah piknik hubungan bukannya makin
langgeng, tapi renggang.”
“Yang paling ngakak lagi, kalau udah putus. Waktu ditanya sama
temen, apa kisah berkesan dengan mantan? Kecebur lumpur sampai muka glowing,
“Ibid dong.. terus ditambahin gini, kecebur lumpur sampai gak kaya
bawa pacar tapi bawa big silver queen.. hahahaha”
Alhasil,
kobaran lumpur pun menjadi tempat bercengkrama kedua sembilan sahabat. Dan
menjadi kisah yang tersemat sepanjang masa. Bukan lagi bercengkrama ditemani
secangkir kopi, tapi bercengkrama ditemani segudang thai tea. Dari sinilah,
persahabatan mereka menjadi semakin erat. Memang benar apa kata pepatah. Pasti
di balik suatu peristiwa ada hikmah di baliknya. Kala mereka bertemu kembali,
topik yang menjadi obrolan awal adalah kisah ini. Yaitu kisah tawa di balik
bukit.
0 komentar:
Posting Komentar