Oleh : Hilwah Tsaniyah
Setelah
membayar pesanan ke kasir, pelayan tersebut mengatakan untuk menunggu di lantai
satu, di sudut pojok ruang itu. Aku dan Rani yang sudah membayangkan akan minum
di lantai dua tempat kopi itu hanya mengiyakannya walaupun kami saling menatap
dan menunjukkan muka bingung.
Kebingungan
itupun terus berlanjut sampai pada akhirnya nama Rani dipanggil untuk mengambil
pesanan kami. pesanan kami sudah dibungkus dengan kantong plastik putih. Rani pun
segera berdiri dan berjalan mengambil pesanan itu dan membawanya ke tempat duduk
kami.
“ Ko dibungkus
ya? Tadi kan gua bilang minum di sini. Bentar deh gua cek dulu struknya.”
Tanyaku pada diri sendiri.
“ Yaudah
sekalian aja liatnya di parkiran, pesanannya juga udah dibungkus gini.” Ajak
Rani.
Sesampainya di
parkiran aku langsung mengeluarkan struknya.
“ Iya bener
harusnya kita minum di tempat dong, ini aja tulisannya dine in ko.”
“ Yaudalah li,
kita cari tempat lain buat minum kopi sama makan kue pancongnya aja yuk.”
“ Kita ke taman
belakang kampus aja gimana? “ Jawabku memastikan.
Aku memakirkan
motor tepat di samping pintu masuk taman, kemudian menitipkan barang belanjaan
kami ke tukang parkir taman tersebut. Aku melangkah paling depan dan mataku
sigap mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk kami duduki sembari menikmati
kopi dan kue pancong.
Kami memilih
duduk di bangku taman yang letaknya agak dipinggir taman. Di bawah
pepohonan yang rindang, langit mendung, dan daun-daun jatuh bergantian tertiup
angin sepoi-sepoi.
Awal
pembicaraan kami dimulai dengan pertanyaan kenapa antar satu sama lain. Kenapa
pesanan kami dibungkus? Apa pelayan kasirnya ngga denger? Atau pelayan yang
membuat pesanan salah baca struknya?.
Pertanyaan-pertanyaan
itu pun muncul begitu saja saat kami mulai menusukkan sedotan ke kopi tersebut,
sampai pada pertanyaan Apa ada yang salah sama pakaian aku dan Rani?. Entahlah
alasannya karena apa, yang jelas aku dan Rani berjanji tidak akan datang lagi
ke warung kopi itu lagi. (tapi ngga tahu kalau besok hehe).
Terhitung sejak
kami duduk dibangku taman, suara adzan berkumandanglah yang menyadarkan kami
untuk segera kembali ke pondok. Mulai dari cerita selama pandemi di rumah
sampai akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke kota ini, kota yang jaraknya
ratusan kilometer dari rumah. Setidaknya dengan berbagi cerita dan keluh kesah
satu sama lain, aku ataupun Rani bisa merasa lega. Walaupun mungkin untuk
beberapa cerita tak perlu jawaban atau mungkin saran yang sebenarnya tidak
terlalu membantu, because sometimes when we tell stories we just need to be
heard J .
0 komentar:
Posting Komentar