Oleh: Nur Sholikhah
Di tengah siang bolong, warga desa Ngrenget
digegerkan oleh sebuah pengumuman dari speaker musholla. Bapak-bapak yang
sedang asyik menyeruput kopi di warung Markonah menghentikan kegiatannya dan saling
menolehkan muka yang rautnya penuh tanda tanya, mulutnya melongo seperti
belanga. Sedangkan ibu-ibu yang khusyuk mengangkat jemuran terkejut hingga
jemuran yang ia bawa jatuh tersungkur ke tanah.
Sebenarnya isi pengumuman itu sangat
sederhana, sandal jepit milik Pak RT hilang. Dan yang mengumumkan sandal itu
adalah Pak RT sendiri. Sontak semua warga terkejut karena kabar yang aneh itu.
Sandal jepit milik Pak RT hilang di musholla setelah ia menunaikan sholat
shubuh berjama’ah.
“Kok bisa ya sandalnya Pak RT hilang? Orang-orang
kan sudah tahu kalau itu sandal kesayangan.”
“Mungkin tertukar sama sandalnya warga.
Apalagi hilangnya habis shubuh.”
“Pak RT ini sandalnya hilang warganya
ikutan bingung. Padahal ya sandal jepitnya masih bagusan punya saya, warnanya
sepadan lagi.”
“Bukan masalah bagus atau nggaknya Cak,
tapi kenangan pada sandal itu lhoh yang bikin Pak RT nggak rela.”
“Katanya sandal itu punya banyak kenangan
dengan Pak RT. Mulai dari urusan pekerjaan sampai urusan asmaranya dengan Bu RT.”
Bapak-bapak di warung Markonah masih sibuk
mengumbar kata tentang sandal jepit. Sedangkan Pak RT seusai mengumumkan, ia
langsung turun dari musholla dan tergupuh-gupuh menuju warung. Kedua kakinya
memakai sandal jepit warna putih yang masih tampak bersih. Saat melihat Pak RT
datang, bapak-bapak segera mengganti topik pembicaraan tentang ayam Pak Somad
yang beberapa hari ini banyak yang mati.
“Yu, kopi satu ya seperti biasa!” perintah
Pak RT kepada Markonah yang sedang pura-pura sibuk menata dagangannya.
“Nggeh, Pak.”
“Duh Din. Kalau ketemu sandalku cepat
bilang ke saya ya! Masak sandal kayak gitu ada yang nyuri. Rasanya kok ya
mustahil sekali.”
“Iya, Pak RT. Paling sandalnya bapak itu
cuman tertukar, nggak hilang.”
“Semoga saja begitu, Din. Bapak-bapak
nanti yang bisa menemukan sandal akan saya traktir di sini sepuasnya!”
Bapak-bapak yang mendengar pengumuman itu
sontak berteriak senang. Ternyata kata “traktiran” juga disukai oleh kaum
lelaki, tidak hanya kaum perempuan saja. Dari dalam warung tampak Markonah tersenyum
membayangkan jika ia yang berhasil menemukan sandal itu kira-kira hadiah apa
yang akan ia terima. Ah mungkin satu gram emas. Ah tidak mungkin juga karena
harga emas jauh lebih tinggi ketimbang harga sepasang sandal jepit yang
dipaksakan serasi. Pikir Markonah.
Matahari sudah hampir sepenuhnya
tenggelam, sisa-sisa cahaya berwarna jingga bersemburat di langit desa Ngrenget.
Dan kabar sandal jepit itu masih tetap sama, belum ditemukan. Hati Pak RT
gelisah. Jangan-jangan sandal itu sudah dibawa pergi keluar desa. Jangan-jangan
sandal itu sudah dibakar oleh penemunya karena dianggap tidak berguna.
Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu. Kepala Pak RT dipenuhi prasangka dan
dugaan yang sebenarnya malah semakin menambah kegundahan hatinya.
Gema suara adzan terdengar nyaring dari
speaker musholla. Waktu maghrib telah tiba dan orang-orang bersiap mengambil
air wudhu. Ada juga yang sudah sampai di musholla dan duduk di serambi khusyuk
mendengarkan panggilan-Nya. Ia adalah Pak RT.
“Lhoh, Pak RT! Ini kan sandal jepitnya
bapak yang hilang toh?”
“Lhoh iya, Man. Kok tiba-tiba ada di sini
ya? Perasaan dari tadi saya duduk nggak ada apa-apa,” ucap Pak RT sambil
memungut sandal itu. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca.
“Alhamdulillah, Man. Sandal ini ketemu.
Seharian saya mencarinya. Eh ternyata sandalnya kembali ke musholla.” Parman
hanya bisa melongo melihat tingkah Pak RT yang langka ini.
Seseorang dari dalam masjid keluar
mendekati Pak RT.
“Pak, maafkan saya ya! Saya tadi pagi
tidak sengaja memakai sandalnya bapak. Saya tadi pulang dari sholat shubuh
ngantuk sekali sampai tidak sadar sandal yang saya pakai bukan milik saya.”
“Oalah kamu toh, Di, pelakunya. Ya sudah
tidak apa-apa, yang penting sekarang sandalnya sudah kembali ke saya.” Pak RT
tersenyum lega.
“Nah karena kamu yang sudah menemukannya,
besok kamu saya traktir ngopi di warungnya Markonah ya!”
Supardi senang sekali tampaknya. Sedangkan
Parman semakin melongo melihat mereka berdua. Muadzin mengumandangkan iqomah
pertanda sholat maghrib akan segera dilaksanakan. Mereka bertiga masuk dan
melupakan sandal jepitnya.
0 komentar:
Posting Komentar