![]() |
source image: pixabay.com |
Nur Sholikhah
Lelaki
itu duduk bersandar di beranda rumah. Di sela jari-jarinya terapit rokok tingwe
yang tampak kepulan asapnya. Matanya menerawang pada rindangnya dedaunan
pohon mangga di tepi jalan depan rumah. Terkadang pandangannya ia alihkan pada motor
tua yang ia parkir di samping pohon pisang.
Sebuah
ingatan kecil menuntut haknya untuk dikenang. Motor tua yang dulu ia pakai
membonceng istrinya ke pasar, ke hajatan saudara, juga ke sekolah anak
lelakinya. Ia ingat seorang wanita berwajah teduh, bibir sederhana tanpa
polesan lipstik, juga perangainya yang malu-malu. Setiap kali anak lelakinya
menyuruh wanita itu mendekap erat pada yang memboncengnya, ia selalu tak mau.
Padahal yang memboncengnya adalah suaminya sendiri.
Wanita
itu dikenangnya setiap pagi. Saat ia membenturkan sendok di dalam gelas yang
sudah berisi air panas dan satu sendok bubuk kopi. Aroma khas yang menguar dari
kepulan asap dalam gelas membentuk bayangan wanita dengan kerudung merah
mudanya. Wanita itu tersenyum sambil menggendong anak lelaki berkulit sawo
matang dengan lesung di pipi yang memerah.
“Pak,
aku mau ke warung. Bapak nitip apa? Nasi pecel?”
“Nggak
usah. Nanti Bapak bikin nasi goreng saja.”
Anak
lelaki itu beranjak pergi membawa motor tua milik bapaknya. Ia tatap punggung
anak lelaki itu sampai menjauh.
“Lihatlah Ningsih, anak kita sudah besar. Tahun ini dia mau masuk ke universitas.”
***
Ibu menghembuskan nafasnya setelah
bertahun-tahun kanker payudara perlahan-lahan menggerogoti tubuhnya. Aku ingat
saat itu aku masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Bapak yang bekerja sebagai
karyawan swasta harus merelakan sisa waktunya untuk merawat ibu. Pulang dari
bekerja, ia tak memedulikan wajahnya yang kusam, rambutnya yang berantakan. Ia
lebih memilih menyuapi ibu yang semakin hari semakin tampak sendu.
Bapak
adalah lelaki penyayang. Setahuku selama ini ia tak pernah membentak ibu. Begitupun
dengan ibu, aku tak pernah melihat ibu berkata dengan nada tinggi pada bapak.
Ibu memilih diam dan menangis sendirian di ujung dapur sambil mencuci peralatan
makan jika hatinya sedang kesal dengan bapak. Bapak memilih menikmati secangkir
kopi dengan berbatang-batang rokok tingwe di beranda rumah jika
pikirannya sedang kalut dan ribut.
“Sabar,
Pak. Kita masih punya Tuhan yang maha kaya,” kata ibu saat bapak terkena PHK di
tempat kerja yang sebelumnya. Ibu membuatkan nasi goreng kesukaan bapak lalu
menyeduhkan secangkir kopi panas untuknya.
Suatu
ketika saat ibu mulai sakit-sakitan, ia sering mengajakku bicara. Ia bercerita
bagaimana usaha bapak membangun rumah sederhana ini. Ia bercerita bagaimana
usaha bapak memenuhi kebutuhan hidup kami. Terkadang ibu tersenyum dengan wajah
berseri-seri, terkadang matanya basah dan terasa perih.
Bapak
itu lelaki yang harus kau hormati sampai kapanpun. Kalau kamu sayang sama ibu,
kamu juga harus sayang sama bapakmu. Ibu sudah tidak bisa membuatkannya kopi
saat bapakmu berangkat bekerja, mulai sekarang maukah kamu menyuguhkan kopi
untuknya menggantikan ibu?”
Aku
mengangguk. Sejak saat itu setiap pagi aku yang mengaduk kopi untuk bapak. Baru
setelah ibu pergi, bapak tak mau lagi aku buatkan. Ia lebih memilih
bercengkrama sendiri dengan gula dan bubuk kopi, mengaduknya, menghirup
aromanya. Mungkin itu salah satu cara ia mengenang kasih sayang ibu.
Sesudah
kematian ibu, bapak tak mau menikah lagi. Aku sempat merasa iba pada bapak,
pada kesepian yang terus mengiringi hari-harinya. Suatu ketika kuberanikan
mulut ini bertanya, “Pak, apa bapak tidak ada keinginan untuk menikah lagi?”
Bapak
menggelengkan kepala tanpa menjawab sepatah kata pun. Lalu esok harinya saat
aku makan malam bersamanya, ia berkata, “Bagi bapak, ibumu itu selalu hidup dan
akan tetap hidup sampai nanti. Bapak tidak punya keinginan menikah lagi, Bapak
takut menyakiti hati ibumu.”
Aku
hanya diam tanpa menanggapi. Aku dipaksa berpikir yang dalam, lebih dalam. Ada
pesan di balik kalimat yang bapak utarakan. Dan aku menyambungkannya dengan
pesan ibu sebelum ia pergi.
Baik, kini aku mengerti. Aku ingin
menjadi lelaki yang seperti bapak, yang bisa mencintai wanita seperti ibu
sedemikian tulusnya. Yang tidak memandang wanita hanya sebagai objek kepuasan
semata. Dan betapa beruntungnya bapak, bertemu dengan sosok ibu yang penyayang,
yang sungguh pantas untuk senantiasa dikenang.
0 komentar:
Posting Komentar