![]() |
Source Image: pixabay.com |
Nur Sholikhah
“Kalau kamu
sayang sama bapak, jangan mewahkan kuburan bapak. Tapi mewahkan hati ibumu,
perempuan yang bapak sayangi.” (Maman Suherman)
Pada
suatu ketika di hari Minggu pagi yang sudah hampir seratus kali terulang tanpa kehadiran
seorang lelaki yang dipanggilnya Bapak. Ia teringat suatu kisah yang dulu dianggapnya
kecil dan mungkin tak akan membawa pengaruh dalam hidupnya. Namun pada
akhirnya, ketika keadaan tiba-tiba berubah, kisah itu kembali terbayang di
setiap akhir pekan.
“Kau
tahu, dulu setiap hari Minggu pagi. Lelaki itu pergi bersama seorang perempuan.
Katanya mereka berdua pergi ke pasar, membeli kebutuhan pokok dan kebutuhan
sehari-hari. Lelaki itu selalu memakai celana hitam, berkaos dan bertopi. Ia
membonceng perempuan itu di sepeda, lalu mengayuhnya sekuat tenaga.”
Ibu
dengan wajah bahagianya duduk tenang di belakang. Bapak dengan senyum ramahnya
pada orang-orang, mengayuh sepeda penuh cinta. Mengapa penuh cinta? Karena ia
sedang bersama perempuan kesayangannya yang selalu setia menunggunya pulang
kerja.
Tiba-tiba
matanya basah. Mungkin ia teringat sesuatu yang andai saat ini masih ada, kedua
perempuan itu tak kan membiarkan waktu begitu cepat merenggutnya. Mereka
sama-sama belajar banyak dari lelaki itu. Wajahnya yang teduh, senyumnya yang
ramah, perlakuannya yang tulus, kesabarannya juga semua canda tawanya.
“Lelaki
itu selalu mencontohkan apa yang mungkin orang lain tidak lakukan. Ia tak
pernah ikut marah jika perempuan itu marah. Ia sering memberi perempuan itu
kejutan. Hingga senyumnya kembali merekah. Kau tahu ia seperti air hujan yang
membasahi tanah kering, daun-daun layu, bunga-bunga yang telah lama tertidur.
Ia mampu memberikan kesejukan bahkan saat keadaan tidak tenang. Betapa
beruntungnya perempuan itu.”
Sesungguhnya
mereka sama-sama beruntung, hidup dalam kepemimpinan seorang lelaki yang hampir
adil. Mengapa hampir adil? Karena katanya keadilan hanya milik Tuhan, dan
lelaki itu bukan Tuhan. Namun kedua perempuan itu seolah-olah menemukan tuhan di
mata lelaki itu. Mereka menemukan sebuah kehidupan karena ia menghadirkan
cinta. Ia yang tak menuntut untuk dicintai, melainkan berusaha mencintai
siapapun. Bukankah Mahatma Gandi pernah berujar, “Di mana ada cinta, di situ
ada kehidupan.”
Maka
setelah lelaki itu pergi bersama semua kisah hidupnya, mata kedua perempuan itu
tampak sendu. Wajahnya pucat, bibirnya kering. Separuh nafas kehidupannya
seolah-olah ikut mengantarkan jasadnya yang lemah, terkubur bersama tanah yang
pagi itu tampak basah.
“Pagi
itu adalah hari ke tujuh setelah hari raya. Kau tahu, biasanya lelaki itu sibuk
mengajarkan cara membuat ketupat pada anak-anaknya. Tapi tahun itu berbeda, ia
hanya bisa berbaring. Tidak menyuruh apapun dan siapapun, tidak berkomentar
karena mulutnya kaku membeku. Ibu tak lagi sibuk di dapur, ia malah sibuk
dengan perasaannya yang siap tidak siap harus kehilangan cintanya.”
“Sesungguhnya
hati yang paling pedih karena kepergiannya itu ibu. Tapi ibu adalah orang yang
paling kuat saat itu. Kehilangan orang yang dicintai yang telah menemaninya
berpuluh-puluh tahun sungguh berat. Bagaimana nanti jika ia merindu? Apa cukup
hanya lewat untaian doa yang ia kirim setiap malam?”
Kedua
perempuan itu kini sama-sama menguatkan. Terkadang di waktu senggang, mereka
sengaja menceritakan apa-apa yang dulu mereka alami bersama lelaki itu. Dengan
didengar dan diingatnya setiap kisah membuat seolah lelaki itu akan hidup
selamanya. Dalam benak hati kedua perempuan yang kini berpegang erat
mempertahankan kehidupan.
“Sayangi
ibumu, Nduk. Karena tanpanya hidupku tak berharga.”
0 komentar:
Posting Komentar