By : Siti Khoirun Niswah
Sebagai
santri mungkin sudah tidak asing lagi dengan tokoh Imam Nawawi bukan? namun
perlu kita mengingat kembali siapa Imam Nawawi agar kita senantiasa menyadari
bagaimana seharusnya menjadi seseorang dalam berjihat dan bertholabul
ilmu. Nama lengkap Imam Nawawi adalah Abu Zakariya Mahyuddin Yahya bin Syaraf
bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jumuah bin Hizam an Nawawi ad
Dimasyqi. Nama “Mahyuddin” beliau dapatkan sebagai gelar seorang ulama yang
menghidupkan agama, namun beliau membenci gelar tersebut karena ketawadhu’annya.
Beliau berpendapat bahwa agama akan tetap hidup tanpa butuh kepada orang yang
menghidupkannya.
Imam
Nawani menuntut ilmu agama sejak masih kecil. Ketika teman-teman sebayanya
asyik bermain, beliau malah menghabiskan waktunya untuk menghafal al-Quran. Ketika
berumur sembilan belas tahun, beliau diajak orang tuanya untuk tinggak di
Damaskus, karena ketika itu Damaskus merupakan kota santri dan ulama, lalu
beliau disekolahkan di Madrasah Rawahiyah. Semasa mencari ilmu, beliau tidak
pernah menyia-nyiakan waktu kecuali untuk menuntut ilmu. Sehinga dalam waktu
empat bulan setengah, beliau sudah mampu menghafal kitab “Tanbih” karya Abu
Ishaq Syairazi. Selain itu beliau juga menghafal seperempat kitab al-Muhazzab
dalam waktu lima bulan setengah. Kecerdasan yang dimilikinya tersebut membuat
gurunya kagum sehingga beliau pun dijadikan sebagai pengajar di Madrasah
tersebut.
Hal
lain yang menakjubkan dari Imam Nawawi, beliau tidak pernah tidur di atas
kasur, apabila rasa ngantuk menghampirinya, maka beliau secara langsung tidur
diatas kitab yang sedang dipelajarinya. Lalu saat terbangun dari tidurnya,
beliau mengucapkan “Innalillahi wa inna ilaihi roojiun” dan berkata “sungguh
saya telah menyia-nyiakan banyak waktu untuk tidur. Padahal dalam sehari beliau
menghabikan waktu menghadiri 12 majlis ilmu dari berbagai macam keilmuan.
Dikutip dari buku al-manhal al-Azbi Al-rawi, karya Imam Sakhawi hal. 13
beberapa majlis yang selalu dihadiri Imam Nawawi diantaranya ialah : dua majlis
untuk kajian kitab al-Wasith karya Imam Ghazali, dua majlis untuk kajian kitab
al-Muhazzab karya Imam Abu Ishaq Asy-Syairazi, satu majlis untuk kajian kitab
al-Jumu’ Baina Shohihain, satu majlis untuk kajian kitab Shahih Mulim, satu
majlis untuk kajian kitab al-Luma’karya Ibnu Jinni, satu majlis untuk kajian
kitab Ishabul Mantiq karya Ibnu Sakiit, satu majlis untuk kajian Tashrif, satu
majlis untuk kajian Ushul Fiqih, satu majlis untuk kajian Asma’ ar-Rijal, dan
satu majlis untuk kajian Ushuhuddin.
Dalam
sehari begitu banyak menghadiri majlis-majlis ilmu, bahkan tertidur pun sampai
di atas kitab. Hal tersebut membuktikan bahwa Imam Nawani tidak pernah
menghabiskan waktunya untuk hal-hal selain menuntut ilmu. Hal tersebut dapat
kita ambil pelajaran bagaimana seharusnya kita menjadi seorang santri yang
sehari-hari berburu ilmu. Imam Nawawi merupakan ulama besar yang bermadzhab
Imam Syafi’i yang sekaligus juga merupakan ulama Muharrir Mazhab (ulama
yang memfilter mazhab). Walaupun beliau pengikut mazhab Imam Syafi’i, namun ada
beberapa ijtihad yang menyelisihi dari mazhab Imam Syafi’i.
Ijtihad Imam Syafi’i vs Imam Nawawi
Diantara ijtihat Imam Nawawi dalam menentukan
hukum : Pertama. Imam Syafi’i berpendapat bahwa makruh menggunakan air
musyammas untuk berwudhu dan mandi karena dapat menyebabkan penyakit kusta.
Namun Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak ada kemakruhan dalam menggunakan air
musyammas untuk berwudhu ataupun mandi karena hadist yang digunakan oleh Imam
Syafi’i adalah hadits dhoif menurut kesepakan ulama hadits. Adapun pernyataan
yang disebutkan bahwa air musyammas dapat menyebabkan kusta, tidak dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu kedokteran.
Kedua, Imam Syafi’i berpendapat bahwa makruh menggunakan siwak bagi orang yang berpuasa setelah tergelincirnya matahari. Hal tersebut bersumber dari hadits Nabi saw. Yang artinya “Demi dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggamannya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah dari pada wangi kasturi” (HR.Bukhori). Siwak akan menghilangkan bau mulut tersebut, padahal bau itu disukai oleh Allah berdasarkan hadits. Namun Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak ada kemakruhan dalam bersiwak bagi orang yang sedang berpuasa walaupun setelah tergelincirnya matahari. Hal itu didasari oleh hadits yang artinya : “Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : seandainya memberatkan umatkku dan manusia, maka sungguh akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap menunaikan sholat.”(HR. Bukhari). Sedangkan ada pendapat bahwa bersiwak dapat menghilangkan bau mulut orang yang berpuasa itu tidak benar. Karena bau mulut orang yang berpuasa itu bukan berasal dari mulut, melainkan berasal dari perut yang kosong karena sedang berpuasa.
Review dari buku, bab Imam Nawawi
Judul :
Ushul Fiqh Mazhab Syafi’i
Karya : Teuku Khairul Fazli, Lc.
Penerbit : Rumah Fiqih Publishing
Alamat : jl. Karet Pedurenan no.53 Kuningan-
Jakarta Selatan
Cetakan : 3 oktober 2018
0 komentar:
Posting Komentar