Oleh: Mutiara Rizqy Amalia
Terdapat cerita yang dinukil dari berbagai kitab, di antaranya
karya Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’, karya Ahmad Syihabuddin
al-Qalyubi dalam an-Nawadir, dan buku karya Muchlis M. Hanafi yang berjudul
Imam Ja’far ash-Shadiq.
Amru bin Jami’ berkata: saya sedang bersama Ibnu Abi Ya’la dan Abu
Hanifah (Nu’man bin Tsabit) masuk ke ruangan Imam Ja’far ash-Shadiq. Lalu Imam
Ja’far ash-Shadiq bertanya kepada Ibnu Abi Ya’la, “Siapa yang membersamaimu
ini?”
Ibnu Abi Ya’la menjawab, “ini adalah seorang laiki-lai yang
berpandangan luas dan tajam dalam agama.”
Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Mungkin saja orang yang suka
menganalogikan agama dengan akalnya.”
Ibnu Abi Ya’la menjawab, “benar.”
Lalu Imam Ja’far ash-Shadiq bertanya kepada Abu Hanifah, “siapa
namamu?.”
Abu Hanifah menjawab, “Nu’man.”
Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “wahai Nu’man, apakah Engkau sudah
menganalogikan akalmu sendiri?”
Abu Hanifah bertanya balik, “bagaimana saya menganalogikan akal
saya sendiri?”
Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Tahukah Engkau perkataan yang
bagian awalnya kufur dan bagian akhirnya iman?”
Ibnu Abi Ya’la berkata, “Wahai Putra Rasulullah Saw, beritahukanlah
kepada kami perkataan yang bagian awalnya kufur dan bagian akhirnya iman itu.”
Imam Ja’far ash-Shadiq menjawab, “Apabila seorang hamba mengatakan
laa ilaaha (tidak ada Tuhan), maka ia telah kufur, apabila ia melanjutkan
illallah (selain Allahh Swt), maka ia telah beriman.”
Lalu Imam Ja’far ash-Shadiq mendekati Abu Hanifah dan berkata,
“Wahai Nu’man, bapakku telah memberitahukan padaku, dari kakekku bahwa
Rasulullah Saw berkata: ‘Makhluk yang pertama kali menganalogikan agama dengan
akalnya adalah iblis. Ketika Allah Swy berfirman kepadanya, ‘Bersujudlah kamu
kepada Adam.’ Dia menjawab, ‘aku lebih baik darinya (Adam), Engkau
menciptakanku dari api, Adam Engkau ciptakan dari tanah.’ (QS. AL-A’raf: 12).
Maka siapa yang menganalogikan agama dengan akalnya, kelal pada hari akhir
Allah Swt akan mendampingkannya dengan iblis, karena telah menjadi
pengikutnya.”
Kemudian Imam Ja’far ash-Shadiq melanjutkan pertanyaannya, “mana
yang lebih besar dosanya, membunuh atau berzina?”
Abu Hanifah menjawab, “membunuh orang, kejahatannya lebih besar.”
Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “namun jelas dalam pembuktian
pembunuhan, Allah Swt menerima dua saksi laki-laki sedangkan perkara zina Allah
Swt mengharuskan empat saksi laki-laki.”
Imam Ja’far ash-Shadiq melanjutkan, “mana yang lebih agung, shalat
atau puasa?”
Abu Hanifah menjawab, “tentu shalat lebih agung.”
Imam Ja’far ash-Shadiq lantas menjawab, “bagaimana halnya dengan
perempuan haid harus mengganti puasa Ramadhab yang ditinggalkannya, namun harus
mengganti shalat yang ditinggalkan? Lantas, bagaimana analogimu bisa
diterapkan? Takutlah kepada Allah Swt, dan janganlah sekali-kali engkau
menganalogikan agama dengan akalmu.”
Dari
seklumit kisah di atas, kita dapat mengetahui bahwa sebagai seorang hamba
hendaknya selalu berusaha beragama dengan akal, bukan mengakali agama.
Sejatinya tiada kepantasan dalam sikap berlebihan dan melampaui batas terhadap
pemahaman dan keyakinannya sendiri, tanpa fondasi kerendahan hati,
tawadhu di hadapan Allah Swt juga ayatNya dan kepada sesama makhluk, maka yang
terjadi hanyalah pertikaian ataupun permusuhan.
Dinukil
dari karya Edi AH Iyubenu yang berjudul “Sesaudara dalam Iman, Sesaudara
dalam Kemanusiaan.”
0 komentar:
Posting Komentar