Menciptakan sebuah metodologi baru dalam bermadzhab merupakan satu hal yang belum pernah dicanangkan oleh Imam Syafi’i sebelumnya. Dalam ber-hujjah, beliau jarang melepas diri dari pendapat-pendapat Imam Malik, kecuali setelah kepulangannya dari Baghdad pada tahun 184 Hijriah. Selama di Baghdad itulah beliau telah mempelajari kitab-kitab ahli rakyu kepada Muhammad ibn al-Hasan (murid Imam Abu Hanifah) dan berdebat dengan mereka (para ahli rakyu). Imam Syafi’i kemudian memiliki keinginan untuk menghadirkan suatu fikih kombinasi antara fikih Irak dengan fikih Madinah. Karenanya, sepulang dari Irak, Imam Syafi’i menetap di Makkah selama sembilan tahun, dan membuka halaqah pertamanya di Masjidil Haram.
Keilmuan Syafi’i selama di Makkah terus
berkembang. Banyak ahli ilmu dalam berbagai disiplin berdatangan padanya untuk
mendapat pencerahan dari halaqah Imam Syafi’i. Yang menarik, Imam Syafi’i lebih
menekankan pada pembahasan kulliyyat daripada furu’iyyah sebagaimana
yang ramai diperdebatkan di Baghdad. Hal ini pula yang mengundang Imam Ahmad
bin Hanbal, berguru kepada Imam Syafi’i.
Setelah mengembara dan menyebarkan madzhabnya
di Makkah, Imam Syafi’i kemudian memilih Irak sebagai persinggahan selanjutnya.
Ini adalah kedua kalinya Imam Syafi’i ke Irak. Pertama karena dipanggil oleh
Khalifah Harun al-Rasyid dan mempelajari fikih Irak pada murid Imam Abu
Hanifah, Kedua, untuk menyebarkan ajarannya; membuka halaqah; dan
mempelajari fikih-fikih yang ada di zamannya. Di Irak ini pula, Imam Syafi’i
kian memiliki banyak murid. Penduduk Irak menganggap ilmu yang diajarkan oleh Imam
Syafi’i tersebut merupakan suatu hal yang baru.
Imam Syafi’i Memulai Berkarya
Imam
Syafi’i tidak hanya seorang ulama yang masyhur pada masanya, tapi juga pada era
setelah-setelahnya. Berkat tinta yang beliau goreskan, rekam jejak keilmuan,
dan kecerdasannya, hingga kini Imam Syafi’i senantiasa menjadi ‘nyala’ bagi
tiap orang dan umat muslim khususnya. Karya beliau sangatlah banyak. Sebagian
besar kitabnya kemudian dihimpun dalam sebuah kitab besar Al-Umm, yang
diriwayatkan oleh Al-Robi’ bin Sulaiman Al-Muradi.
1. Kitab ar-Risalah
Karya pertama Imam Syafi’i ialah kitab Ar-Risalah.
Beliau menulis kitab tersebut atas permintaan Abdurrahman ibn Mahdi agar
berkenan menuliskan sebuah kitab berisikan makna-makna Al-Qur’an, sejarah,
ijma’, serta nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut pendapat
paling kuat, Imam Syafi’i menuliskan karya pertama ini ketika beliau masih
menetap di Makkah, walaupun beliau keumudian memboyong karyanya tersebut ke
Baghdad.
Tentang kitab Ar-risalah ini, siapapun yang
membacanya pasti akan terkesan dan kagum terhadap keilmuan dan kemampuan nalar Imam
Syafi’i. Kitab Ar-risalah ini ditulis dua naskah. Yang pertama ialah yang
beliau tulis semasa di Makkah yaitu yang bernamakan Ar-risalah Al-Qadimah
dan yang kedua beliau susun di penghujung usianya ketika beliau di Mesir.
Naskah yang kedua ini bernamakan Ar-risalah Al-Mashriyyah.
2. Kitab Al-Hujjah
Kitab kedua Syafi’i bernamakan Al-Hujjah.
Kitab ini tertulis dalam rangka menjawab pendapat atau pandangan para ahli
rakyu. Seusai beliau mengkaji dan meneliti kitab-kitab termasuk kitab Abu
Hanifah dan kitab Muhammad ibn Al-Hasan, barulah beliau menuliskan kitab
keduanya ini. Kitab Al-Hujjah berisi tentang fatwa-fatwa Syafi’i dan
masalah fikih berikut dalil-dalilnya yang merupakan hasil ijtihad beliau. Dalam
penulisan kitab Al-Hujjah ini, beliau mengandalkan hafalannya karena tidak
memiliki satupun kitab rujukan.
3. Kitab Al-Umm.
Beberapa kitab Syafi’i dihimpun oleh
murid beliau yang bernama Al-Rabi’ Ibn Sulaiman. Sesuai namanya, kitab
Al-Umm ini dianggap sebagai induk dari semua kitab Syafi’i. Kitab Al-Umm ini
berisikan pikiran Syafi’i yang sangat detail, terperinci dan menyeluruh. Kitab
ini juga menjadi referensi utama bagi setiap permasalahan fikih Syafi’i. Segi
penulisan kitab ini sebagaimana kitab Abu Hanifah, pembahasannya dimulai dari
bab Thaharah, kemudian bab As-Shalat, kemudian As-Shiyam,
Az-zakat, Al-Hajj (menuntaskan pembahasan terlebih dahulu tentang rukun
islam), barulah kemudian tentang ibadah-ibadah yang lain, mu’amalah, dan
warisan.
Rujukan Fikih Syafi’i
Dalam menuliskan fikihnya, beliau
banyak mengambil dari lima sumber, yaitu: (1) Qur’an dan Sunnah; (2) Ijma’
dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya dalam Qur’an dan Sunnah; (3) Qoul
Shahabi atau ucapan beberapa sahabat Rasulullah yang disepakati atau tidak
ditentang oleh siapapun; (4) Perbedaan pendapat sahabat Rasulullah; dan (5)
Qiyas tentang permasalahan tertentu yang tidak dianalogikan dengan suatu hal
lain kecuali Al-Qur’an dan Sunnah.
Kemudian, Imam Syafi’i menafikan istihsan
karena bagi beliau, seseorang yang melakukan istihsan maka sama halnya
dengan membuat hukum sendiri dan bisa saja menjadi suatu kebathilan. Walaupun
menurut Malik, istihsan merupakan pertimbangan maslahat yang sesuai
dengan hukum syara’ saat tidak ada nash yang menegaskan, akan tetapi Imam Syafi’i
secara paten menafikan istihsan ini. Beliau sangat hati-hati agar
terhindar atau terjerumus dari hal-hal yang bathil.
Guru-Guru Syafi’i
Di
balik kehebatan Imam Syafi’i tersebut, ada perjalanan keilmuan yang panjang
bersama para guru-guru beliau. Imam Syafi’i memiliki kebiasaan belajar dari
guru-gurunya yang bertempat tinggal jauh dan memiliki metode beragam. Guru
pertama yang beliau datangi ialah Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, kemudian Sufyan
bin Uyainah. Dan ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau berguru pada Malik Ibn
Anas. Sebagian guru-guru beliau yang lain berasal dari kaum mu’tazilah. Walau
bagaimanapun, beliau sangatlah cermat yaitu mengambil semua kebaikan dari ilmu
yang diajarkan.
Masih sangat banyak guru-guru Imam Syafi’i baik di Makkah, Madinah, dan di berbagai wilayah lain. Bahkan, mungkin tiada seorang alim pun yang memiliki guru sebanyak beliau. Maka dari banyaknya guru dengan madzhab yang berbeda-beda inilah yang membuat keilmuan Imam Syafi’i berlimpah dan menjadi suatu kombinasi keilmuan yang kuat.
Wallahu a’lamu bis-showab.
0 komentar:
Posting Komentar