Waktu adalah bagian dari struktur dasar dari alam semesta, sebuah dimensi di mana peristiwa terjadi secara berurutan. Waktu merupakan suatu dimensi di mana terjadi peristiwa yang dapat dialami dari masa lalu melalui masa kini ke masa depan, dan juga ukuran durasi kejadian dan interval. Waktu telah lama menjadi subjek utama penelitian dalam agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Namun demikian, berbagai bidang seperti bisnis, industri, olahraga, ilmu pengetahuan, musik, tari, dan teater hidup semua menggabungkan beberapa gagasan waktu ke dalam sistem masing-masing pengukuran. Menurut Malik bin Nabi penulis buku Syuruth an-Nahdhah memaparkan mengenai pengertian waktu yang dikutip oleh Shihab bahwa waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu selain Tuhan tidak akan mampu melepaskan diri darinya.
Menurut Shihab (2009) Al- Quran menggunakan beberapa kata untuk untuk menunjukkan pengertian waktu, yaitu :
1. Ajal; Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS. Yunus/10: 49) Begitu juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi Syuaib dan Nabi Musa; Dia berkata, ”Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas yang kita ucapkan” (QS. Al- Qashash/28:28). Term Ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas akhirnya.
2. Dahr, digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini, sejak diciptakan Allah SWT sampai akhirnya punahnya alam sementara ini; “Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia satu dahr (waktu) sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada di alam ini?)” (QS. Al Insan/76:1). Kesan yang dapat diambil bahwa segala sesuatu pernah tiada dan keberadaannya menjadikan dia terikat oleh waktu. “Dan merea berkata, Kehidupan ini tidak lain saat kita berada di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan (mematikan) kita kecualai dahr (perjalanan waktu yang dilalui oleh alam)” (QS. Al- Jatsiyah/45:24).
3. Waqt, digunakan dalam arti batas akhir, kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu peristiwa. Karena itu sering al- Quran menggunakankan dalam konteks kadar tertentu dari satu masa; “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada orang mukmin yang tertentu waktu- waktunya” (QS. Al-Nisa’/4;103). Waqt dapat diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan.
4. Ashr, kata ini biasa diartikan sebagai waktu menjelang terbenam matahari, tetapi dapat juga dengan arti masa secara mutlak. Memberikan kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.Waktu yang dimaksud adalah waktu secara umum . Waktu adalah modal utama manusia, apabila tidak diisi dengan kegiatan yang positif, ia akan hilang begitu saja. Ia akan hilang dan ketika itu jangankan keuntungan diperoleh, modalpun telah hilang. Ali bin Abi Thalib pernah berkata bahwa rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan lebih dari itu diperoleh esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin dapat diharapkan kembali esok.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Manusia harus memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin, karena manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat. Mereka mengenal masa lalu, kini dan masa depan, sebagaimana mereka mengenal tempat dimana mereka berada. Kehadiran waktu ini bertujuan untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam menyelesaikan tugas-tugasnya di muka bumi. Oleh karena itu, selain harus memanfaatkan waktu maka tidak lupa pula juga harus menghargai setiap detik berjalannya waktu. Sebab seorang muslim tidak patut menunggu dimotivasi oleh orang lain untuk menghargai waktu, karena hal itu sudah merupakan kewajiban setiap muslim (Gamal, 2011). Ajaran Islam menganggap pemahaman terhadap hakikat menghargai waktu sebagai salah satu indikasi keimanan dan bukti ketaqwaan. Hal ini sebagaimana tersirat dalam firman Allah SWT: “dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur” (QS. Al-Furqan: 62).
Sedangkan, ilmu adalah tonggak dan dasar. Dasar dari setiap amal yang dikerjakan seorang muslim. Maka ilmu harus dimiliki sebelum diamalkan. Imam Bukhari menulis satu bab dalam kitab shahihnya العلم قبل القول و العمل ” لقول الله تعالى(sebagaimana Allah berfirman): Maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah. Dengan ayat ini Imam al-Bukhari menegaskan فبدأ بالعلم(maka sesuatu itu dimulai dengan ilmu) (’ilm). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat tahun 728 H) mengatakan, Ilmu adalah apa yang dibangun atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Menurut Abu Anas Majid Ali Al-Bankani, ilmu secara bahasa adalah lawan dari bodoh. Seseorang yang berilmu dikatakan ‘aalim atau ‘aliim maka kaum ini disebut ulama.Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifah(pengetahuan) sebagai lawan dari al-jahl (kebodohan).
Berikut ini merupakan perkara-perkara yang patut perhatikan dan tekuni ketika menuntut ilmu, yaitu :
1. Menghafal uraian ilmu yang terdapat kitab yang di pelajari atau ringkasannya.
2. Menghafal dan meminta tolong kepada guru yang ahli untuk menyimak kebenaran dan keabsahan hafalannya.
3. Tidak memfokuskan pada masalah-masalah yang panjang, bertele-tele dan kitab-kitab yang berlainan, sebelum memahami asal masalahnya.
4. Jangan berpindah dari satu kitab ke kitab yang lain sebelum memahaminya, sebab menyebabkan kejemuan atau kebosenan .
5. Mengambil faedah dan intisari dari setiap ilmu yang diperoleh untuk direalisir dalam praktek nyata.
6. Memiliki semangat penuh dan antusias tinggi dalam menuntut ilmu serta serius dan penuh konsentrasi.
Terakhir, ketika menuntut ilmu tidaklah baik bersikap pesimis sebab menuntut ilmu itu sampai mati atau sepanjang hayat tetapi dengan keadaan ikhlas karena ridha Allah semata, dengan tawadhu, demi li i laaikalimatillah, membela Islam dan muslim sampai tetes darah yang penghabisan. Bila hal ini tidak ada, jangan diharap dapat meraih kesuksesan dalam menuntut ilmu.
Ilmu ialah ketaqwaan, oleh sebab itu setiap orang yang menuntut ilmu berhak mendapat kemulyaan disisi Allah dan kebahagiaan yang abadi, dalam syair Muhammad bin Hasan bin Abdillah dijelaskan :
تعلم فان العلم زين لأ هله # وفضل وعنوان لكل المحا مد
وكن مستفيدا كل يوم زيادة #من العلم واسبح في بخور الفواءد
;Artinya
“Tuntutlah ilmu karena ilmu merupakan perhiasan bagi pemiliknya, keunggulan dan pertanda segala pujian , jadikankanlah dirimu sebagai orang yang selalu menambah ilmu setiap hari, dan berenanglah di lautan makna “
Emha Ainun Najdib ( Cak Nun) juga mengatakan “ jika ilmu meningkat maka jiwa akan meluas”, menurutnya orang pintar itu harus menyesuaikan diri dengan orang bodoh, bukan orang bodoh yang harus menyesuaikan orang pandai. Karena apa gunanya kepandaian kalau tidak digunakan untuk menampung orang bodoh, apa gunanya mempunyai ilmu kalau tidak bisa menyesuaikan diri dengan orang bodoh.
Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa menuntut ilmu adalah sebuah keharusan untuk setiap orang tanpa melihat umur sebab sifatnya sepanjang hayat. Menuntut ilmu tidaklah mudah, tapi harus bersusah-susah dahulu baru bisa menemukan kenikmatan ilmu tersebut. Waktu dan ilmu dalam perkembangannya saling beriringan. Oleh sebab itu, ketika seseorang menghargai waktu dan memanfaatkannya maka secara tidak langsung ilmu juga datang padanya.
0 komentar:
Posting Komentar