Oleh: Moh. Rizal Khaqul Yaqin
Resolusi 2021,
Akhir-akhir ini kembali mencuat isu yang
berkaitan tentang agama, serta isu-isu lain tentang intoleransi terhadap ras,
suku ataupun yang lainya. Kembali lagi ke beberapa waktu yang lalu, memang semenjak
isu ini mencuat dan memenas di perhelatan pilpres, sebagai cara merauk suara
serta menyudutkan personal. Mulai dari situ, isu intoleransi terhadap agama,
entah itu kepada pemeluk agama lain, atau yang ditujukan untuk tokoh dari
agamanya sendiri sangat mudah naik ke permukaan. Seperti membuang puntung rokok
di gudang jerami, artinya mudah sekali untuk terbakar dan melebar serta seperti
sulit sekali untuk dipadamkan. Dan pertanyaannya mengapa yang disebarluaskan
bukan hal positif yang menyatukan?, yang justru kalah dengan dengan isu-isu
intoleransi tadi. Karena kita tahu sendiri, hidup berdampingan dengan toleransi
bukankah sejak dulu bangsa kita lakukan?.
Beberapa hari yang lalu kembali terdapat opini
di twitter tentang Islam adalah agama yang arogan. Kembalilah memanas,
banyak orang yang mengomentari atau bahkan menimpali dengan hinaan atau
sebagainya. Pertama, menyikapi perkara ini bahwa harus bisa dibedakan mana yang
agama serta mana yang pemeluk agamanya. Kedua, bagaimana agama yang merupakan
ajaran luhur atau nilai-nilai tentang kebaikan apalagi agama Islam berlaku
arogan, atau secara sederhana, bagaimana sebuah nilai bisa berlaku arogan?,
bukankah arogan yang merupakan sifat, bisa teraplikasikan jika saja ada pelakunya,
dan bagaimana agama yakni sebuah nilai menjadi pelaku?. Nah dari sini, mungkin
bisa kita peta-petakan sendiri mana yang Islam dan mana yang pemeluk dari agama Islam.
Selanjutnya, bagaimana bisa bisa ada pemeluk
agama yang menilai atau bahkan menghina agamanya sendiri sedemikian rupa, ya
memang perkara itu merupakan bahasa tulisan yang multi tafsir, tapi maksud dari
“yang arogan di Indonesia itu adalah Islam...” dan sebagainya, nampaknya juga sangat jelas kurang tepat
Kita tidak perlu menimpali dengan menghina
oknum tersebut, kita ingat “undzur maa qoola walaa
tandzur man qoola”. Maksudnya tidak peduli siapa pun
yang mengucapkan, yang menjadi fokus pembicaraan kita terletak pada apa yang
disampaikan, sehingga siapa pun yang berbicara entah dari agama kita sendiri
atau dari agama lain, jika itu meresahkan atau memecah belah, bahwa itu
bukanlah merupakan representasi dari agama yang dianutnya, karena selain oknum
tersebut yang menyampaikan, lebih
merepresentasikan atau mencontohkan dengan baik ajaran dari agama jauh lebih
banyak.
Belajar dari desa,
Bukan menyudutkan masyarakat kota atau
mengecap rata semua kondisi di kota, tapi agaknya kita harus banyak belajar
tentang kehidupan rukun dari masyarakat desa. Sebagai contoh Desa Pancasila di
Kabupaten Lamongan ataupun Desa Tulungrejo di Kota Batu. Disebut desa Pancasila, karena memang dianggap bahwa desa tersebut adalah representasi dari
nilai-nilai Pancasila serta dari desa ini hidup rukun masyarakat yang berbeda
agama. Tetapi jika melihat informasi yang kita terima di media sosial ataupun
yang lain, seperti menakutkan sekali ajaran agama, yang dinilai dari salah satu
pemeluknya jelas bukan representasi dari agama itu sendiri.
Pernah penulis mewawancarai beberapa pemuka
dari tiga agama di Desa Tulungrejo, di antaranya ada Islam, Hindu serta Kristen.
Beberapa poin yang penulis bisa ambil di antaranya pertama, kegaduhan yang
akhir-akhir ini ramai terutama isu tentang agama sanggat jauh berbeda dengan
apa yang dirasakan oleh masyarakat
terutama di Desa Tulungrejo sendiri. Kedua, agama ini tergantung siapa
yang membawanya (memimpin), dan kehidupan rukun
antar umat beragama yang ada di Tulungrejo tentunya tidak terlepas dari
para tokoh-tokohnya. Terakhir, bahwa kerukunan ini terbentuk karena didasari
bahwa ajaran agama itu juga mengajarkan tentang kemanusiaan, dalam hal menjaga
hubungan baik. Sehingga jika kita mau membuang ego, merelakan belajar tentang hal-hal sederhana
seperti ini yang justru kita dapat, kita pejari di masyarakat desa khususnya,
maka kerukunan kita dapati.
Harapan penulis ditahun ini, hubungan antar
umat beragama semakin baik dan kokoh, serta bahwa jika ada beberapa oknum yang
membuat kegaduhan dapat kita pahami bahwa itu bukan merupakan representasi dari
agama yang ia anut.
Terima kasih telah membaca...
ulasan tyang sangat bermanfaat
BalasHapus