Oleh: Muhammad Anis Fuadi
Berdasarkan rekam jejaknya, santri
telah mencatatkan kegemilangan di dunia literasi. Hal ini dapat ditandai dengan
lahirnya berbagai karya tulis klasik seperti Nasa'ih al-'Ibad, Misbah
az-Zhulam, dan Tafsir al Munir karya Syekh Nawawi al-Bantani (Banten), serta
kitab Fath al-Khabir bi Syarh Miftah at-Tafsir karya Syekh Mahfudz at-Tarmasi
(Termas). Maju sedikit di zaman yang lebih modern, Tafsir al-Azhar susunan Prof.
DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah membuktikan semangat literasi tanah air belum
surut. Bahkan Ulama' yang populer dengan nama pena HAMKA ini, mampu
menghasilkan karya-karya bergenre fiksi seperti novel Tenggelamnya Kapal Van
der Wijck. Tak berhenti sampai di situ, Prof. DR. H. Muhammad Quraish Shihab,
Lc. M.A. meneruskan semangat literasi Ulama' terdahulu dengan Kitab Tafsir
al-Misbah yang ditulisnya. Karya-karya dari para Ulama' Nusantara tersebut
bahkan tidak hanya menjadi rujukan penimba ilmu tanah air saja, melainkan
satuan pendidikan luar negeri seperti berbagai universitas di Timur Tengah tak
kalah semangat untuk mempelajari karya-karya beliau.
Contoh di atas sedikit memberi
gambaran bahwa tumbuh suburnya buah karya para ulama' di Indonesia dari masa ke
masa tak kan pernah tandus. Maka di era yang semakin maju ini, tugas bagi para
santri untuk terus mengobarkan semangat literasi dengan mengikuti kebiasaan
para ulama' yang tak kenal henti dalam berkarya. Karya tulis utamanya.
Menulis telah menjadi kebiasaan para ulama' terdahulu. Maka bagi santri yang
mau menulis, melalui niat bertabarruk dengan meniru kebiasaan para ulama'
terdahulu ini, menulis juga akan bernilai berkah baginya.
Di samping itu, banyak santri
sebenarnya memiliki potensi yang terpendam dalam berliterasi. Seorang santri
sejatinya memiliki wawasan yang lebih luas karena di pesantren mereka tidak
hanya dihadapkan pada ilmu umum saja, melainkan ilmu agama amat digembleng
di sana. Dengan berbekal luasnya wawasan ini, santri seharusnya memiliki
kemampuan yang lebih ketika menuangkan ide-ide kreatifnya dalam menulis. Namun
dengan hanya bermodal pada semangat santri saja tanpa ada sokongan dari
lingkungannya, upaya penghidupan kembali literasi santri akan berjalan pincang.
Maka dari sini, peran pesantren sangatlah dibutuhkan.
Pada dasarnya, pesantren berfokus
dengan metode pembelajarannya yang menjadikan literatur keislaman dan
kitab-kitab klasik sebagai sumber rujukan. Di pesantren, santri dituntut untuk
dapat membaca dan memahami berbagai literatur yang kemudian dilakukan kajian
secara berkala seperti dalam kegiatan bahtsul masa'il. Sayangnya di bidang
kepenulisan, minim sekali pesantren yang menggalakkan budaya menulis bagi
santrinya. Pesantren yang mewajibkan santrinya untuk senantiasa menghasilkan
karya tulis nyaris tidak ada. Padahal, pesantren yang notabene merupakan
institusi pendidikan Islam dengan potensi besar sebenarnya memiliki peran yang
vital dalam bidang ini.
Referensi:
http://www.republika.co.id
http://www.radarjember.jawapos.com
0 komentar:
Posting Komentar