Oleh : Ira Safira Haerullah
Syekh Syarafuddin Yahya bin Syekh
Badruddin Musa bin Ramadhan bin Umairoh adalah nama lengkap pengarang kitab nadzom
Imrithi yang ada dalam kitab Tuhfatul Habib
(Syarah Mudzumati Ghoyatit Taqrib) dan kitab Syarhut Taisir Nadzmut Tahrir.
Syarifuddin adalah gelar beliau dan nama beliau adalah Yahya. Judul lengkap
kitab beliau yang masyhur dengan nama Imrithi adalah ad-Durrotu
al-Bahiyyah Nadzmu al-Ajurumiyyah. Nama Imrithi dinisbatkan
kepada daerah asal beliau yaitu Amrith. Salah satu nama desa di Mesir Kairo
di bagian timur dari negeri Bilbis, dekat dengan Sanikah.
Beliau
merupakan ulama’ yang sangat masyhur pada abad ke – 16. Selain menjadi ulama
beliau juga sarjana lulusan universitas Al Azhar. An Nadzim adalah salah satu
gelar yang dilekatkan pada beliau karena kemahiran beliau dalam membuat nadzom.
Beliau wafat pada tahun 890 H atau 1485
M dan beberapa literature lainnya menyebutkan bahwa beliau 998 H atau 1580 M.
Syekh
Syarafuddin selain terkenal sebagai ulama’ di bidang nahwu beliau juga ulama di
bidang ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Hal ini dibuktikan dengan karya beliau yang
tidak hanya kitab nahwu, namun juga kitab Fiqh dan Ushul Fiqh yaitu Taisir fi
nadzmit tahrir, Nihayatut tadzrib fil nadzmi ghoyatut taqrib, dan tashiluy
turuqot li nadzmil waroqot.
Gaya bahasa
yang ringan, sederhana dan diksi indah merupakan kemahiran beliau dalam sastra sehingga
sangat syahdu didengar dan diucapkan. Bahasa sederhana yang digunakan beliau
dimaksudkan agar yang mendengar maupun yang mengkaji dapat memahami secara
langsung apa yang disampaikan dalam nadzom. Mengabdikan diri untuk terus
berkarya agar membantu orang lain dalam hal kebaikan merupakan jawaban dari
pertanyaan alasan Syekh Syarafuddin menulis berbagai nadzoman.
Imrithi
merupakan kitab beliau yang sangat terkenal terutama di lingkungan pondok
pesantren. Bahkan kitab beliau menjadi salah satu syarat kenaikan kelas bagi
santri pondok pesantren Lirboyo dan beberapa pondok pesantren lainnya. Kitab
tersebut telah dikaji di berbagai tempat, hal ini menjadi bukti nyata bahwa
karangan beliau tidak termakan waktu dan masih dipelajari sampai sekarang
karena sebagian besar pondok pesantren salaf di Indonesia menggunakan kitab ini
untuk pembelajaran bahasa Arab terlebih dalam ilmu nahwu. Selain ilmu nahwu
dalam kitab Imrithi memuat banyak sekali petuah – petuah dalam baitnya yang
dapat digunakan untuk pedoman hidup.
Bait-bait syair yang dapat disenandungkan
merupakan keistimewaan kitab diantaranya
adalah diksinya. Dan nadzham ini serupa dengan penjelasan atau syarah bagi
matan kitab induknya yaitu al-Ajurumiyyah. Hal tersebut dapat
dibuktikan secara eksplisit dalam bait yang berbunyi:
ﻓَﺠَﺎﺀَ
ﻣِﺜْﻞَ ﺍﻟﺸَّﺮْﺡِ ﻟِﻠْﻜِــﺘﺎَﺏِ
Nadham ini terbit seperti halnya penjelasan
(bagi matan)
Atas
permintaan salah satu sahabat karib Syaikh al-‘Imrith disusunlah nadzom ini,
meskipun beliau lebih yakin kalau sahabatnya lebih memahami matan tersebut
dibanding dirinya. Akhirnya beliau menyusun nadzom tersebut dengan ringkas dan
memudahkan bagi pemula, serta membuang pendapat marjuh dan menambahkan beberapa
bahasan penting. Beliau merupakan orang yang sangat rendah hati dan sangat
berhati-hati, hingga di akhir bait mukaddimah menyebutkan “Maka kami memohon
kepada Sang Maha Mengaruniai agar sekiranya memberikan ganjaran bagi kami,
melindungi kami dari sifat riya dan melipatgandakan pahala kami. (Majid
Muhammad ar-Rāghib, Syarh ad-Durrah al-Bahiyyah Nadzm
al-Ajurumiyyah, Dar el-‘Ashma`, halaman 14-16)
Adapun perdebatan mengenai sebutan kata Amrith atau
Imrith Cara
pelafalan ‘Amrithi ini juga ditegaskan oleh Hasan Habannakah pada saat beliau
memberi pengantar untuk editannya terhadap kitab “Nihayatu At-Tadrib. Pelafalan
‘Amrithi itulah yang lebih masyhur. Hanya saja, Az-Zabidi dalam kamusnya yang
berjudul “Taju Al-‘Arus Min Jawahiri Al-Qomus” menjelaskan bahwa desa di Mesir
asal ulama yang kita bicarakan ini dibaca dengan mengkasrohkan ‘ain. Az-Zabidi
berkata:
وعِمْرِيطُ،
بالكَسْرِ: قريةٌ بشَرْقِيَّةِ مِصْرَ
Artinya :
“…’Imrith dengan mengaksrohkan (‘ain) adalah desa di Mesir bagian timur “ (Taju
Al-‘Arus Min Jawahiri Al-Qomus juz 19 hlm 492)
Az-Zabidi adalah seorang pakar bahasa Arab,
karena itu informasi dari beliau juga tidak bisa diremehkan. Setidaknya karena
ada dua informasi berbeda seperti inilah maka ada sebagian peneliti yang
memilih jalan mengsingkronisasikan, misalnya seperti yang dilakukan oleh Yasir
Al-Miqdad pada saat mentahqiq kitab At-Taisir, manzhumah karya Al-‘Amrithi
untuk kitab mukhtashor fikih berjudul “Tahriru Tanqih Al-Lubab”. Menurut Yasir,
melafalkan ‘Amrithi adalah betul, melafalkan ‘Imrithi juga betul.
Sumber:
http://musyawarahalat.blogspot.com/2016/11/biografi-ulama-syeikh-syarifuddin-yahya.html
https://www.kangdidik.com/2019/07/nama-dan-biografi-pengarang-kitab.html
0 komentar:
Posting Komentar