Oleh: Fathimaatuz Zahro
Bapak ku asli
keturunan masyarakat perairan. Sejak kecil berkubang dalam air hingga dewasa
pun kembali ke air. Aku tidak pernah mengenal mobil atau sepeda. Setiap hari
yang ku lihat adalah jajaran perahu-perahu layar, sampan, dan jaring-jaring
tergeletak dimana-mana. Pasang surutnya air
laut seakan sudah ku hafal diluar pikiran. Tanpa melihat pun aku tahu diluar sana
laut sedang pasang atau surut. Hantaman ombak adalah musik penghantar ku dikala
senang, sedih, bahagia, atau pun suntuk. Sejauh aku berlari yang ku dapati
adalah pasir pantai dan air laut. Namun aku masih mengenal huruf dan angka.
Ibu adalah wanita
pelarian bapak. Bagaikan dermaga yang sudah memberhentikan hati bapak
dipangkuannya. Seperti aku yang kala itu menikmati mentari pagi di dermaga
pasif dengan mu. Sungguh elok kisahnya. Membuat ku susah lupa dan tertawa
jenaka saat mengingatnya. Sejauh apapun bapak melebarkan layarnya maka dermaga
Ibu adalah tempat pastinya untuk kembali. Dan aku mengenal cinta dari dermaga
Ibu.
Lantas aku sendiri
siapa? Aku Iwa berusia 9 tahun yang selalu menjejakkan kakinya di pasir putih.
Berlari mengambil jaring Bapak dan mengantar ikan Ibu ke pasar. Aku adalah
keturunan orang perairan, hidup dari air, uang jajan dari air, mengenal huruf
dari air, mengenal angka dari ikan-ikan Ibu di pasar, dan mengenal dermaga
cinta Ibu. Aku adalah Iwa.
Setiap kali aku
bertemankan senja dan mentari. Padanya aku belajar menanti setiap keelokan yang
disajikan dan aku tak pernah bosan. Mentari yang selalu menari disetiap pagi
dan seolah berkata “Mari bersinar bersama ku. Aku dari sini dan kau dari sana
hingga nanti kita beradu pada ufuk barat”. Itulah aku. Iwa dan mentari.
Aku tahu apa itu
sekolah. Bangunan yang selalu mengibarkan bendera merah putih didepannya tak
pandang hujan atau panas. Hanya dilepas jika dirasa bendera itu kotor.
Anak-anak berlarian dengan pakaian sama warnanya dengan bendera itu. Pernah
satu kali aku meminta pada Ibu untuk mengenakan pakaian itu. Namun kata Ibu,
baju yang ku pakai sudah bagus. Hingga akhirnya aku tidak pernah meminta lagi.
Dan aku tetap bisa membaca dan berhitung.
Aku membaca
bersama Ibu. Ada saja huruf-huruf yang dibuat oleh Ibu dan disuruh membacanya.
Begitu pun huruf-huruf itu dirangkai menjadi suatu kata dan akhirnya menjadi
kalimat. Dan aku seolah membaca suatu cerita yang dibuat Ibu dengan tetap
menggunakan pakaian yang berbeda dengan bendera itu. Deretan angka 1 – 2 – 3
yang setiap hari ku lihat adalah pesan yang ku bawa ke pasar dengan menjinjing
ikan. Berangkat membawa ikan dan pulang membawa uang. Masih tetap dengan
pakaian yang berbeda dengan bendera itu.
Pasir yang ku
pijak adalah Tanah Indonesia dengan lima sila yang Bapak kenalkan kepada ku
diwaktu siang sambil menatap gulungan ombak yang terkadang tinggi dan lain
waktu begitu menenangkan. Aku tidak pernah merasa kehilangan kebangsaan ku.
Merah putih bendera ku. Pancasila dasar negara ku dan presiden adalah tahta
tertinggi di tanah ku. Aku tahu itu semua dari Bapak. Bapak pun bercerita
pasang surutnya air laut. Berangkat berlayar berharap mendapat ikan dan kembali
ke dermaga Ibu dengan jaring yang kosong. Namun kami masih tetap bisa makan
tidak pernah kekurangan.
Sekolah Pasir.
Mengapa begitu?
Aku sudah belajar
banyak darinya tanpa aku merendahkan teman-teman ku yang setiap hari bertemu
bangunan dengan bendera merah putih. Aku bisa membaca dari rangkaian kata-kata Ibu
yang seolah bercerita tentang kehidupannya. Ikan-ikan pesanan di pasar pun
mengajarkan aku bagaimana hitungan dan makna nilai tukar. Ikan yang ku bawa
diganti uang yang ku berikan pada Ibu yang nanti juga akan ditukar dengan
beras.
Begitu pun bapak. Arti
sebuah kata menunggu dan berharap untuk kelangsungan nafas-nafas yang
diperjuangkan serta kebangsaan yang disampaikan pada ku agar tetap tahu tanah
apa yang ku pijak dan kekayaan bumi apa yang aku dapatkan.
Dan yang lebih
membekas adalah aku belajar dermaga cinta Ibu. Sejauh apapun Bapak berlayar
maka akan tetap kembali pada satu dermaga. Sejauh apapun pasir ku arungi untuk
berlari, pangkuan Ibu adalah tempat terindah untuk membuat ku terlelap.
Dermaga Cinta
Ibu...
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar