Oleh: Nur Sholikhah
Di atas meja dalam
sebuah ruangan, benda-benda itu menumpuk. Mereka tersusun rapi, menunggu tangan-tangan
dingin menyentuhnya, menunggu tangan-tangan yang memiliki kuasa membukanya,
lalu meletakkannya kembali di tempat yang berbeda. Satu persatu mendapatkan
urutannya, ada yang diletakkan kembali dengan rapi, ada yang dibuka lalu
dibiarkan begitu saja, dan ada pula yang terlempar entah ke mana.
Para pemilik
benda-benda itu hanya bisa pasrah, mereka menunggu dering telepon bernyanyi.
Mereka menggantungkan harapan dalam benda-benda itu. Memang terlihat remeh,
bahkan sangat remeh karena jika merasa tidak dibutuhkan benda itu akan dibuang,
dilempar jauh ke tempat sampah. Dan tangan-tangan dingin itu tak peduli bahwa
harapan-harapan itu telah musnah.
Benda-benda itu
begitu berarti. Pengorbanan untuk bisa membuat benda itu rapi tak sekedar
membuang uang untuk foto kopi. Mungkin saja di dalamnya sempat ada tangisan
bayi, atau suami, atau istri. Ada juga jatah uang yang terkurangi, yang
seharusnya dibuat membeli nasi, malah berkurang karena untuk mengurus
kelengkapan isi.
Benda-benda itu
adalah amplop coklat yang di dalamnya ada biodata diri, ijazah sebagai bukti
dan surat-surat lainnya yang diinginkan oleh para pencari karyawan/karyawati.
Tak lupa para pemiliknya menaruh harapan tinggi agar segera mendengarkan
telepon bernyanyi. Namun sering kali harapan itu tak bisa tercapai karena
persaingan kerja memang tak pernah usai.
Orang-orang
mengantri membawa amplop coklat yang sudah rapi. Amplop-amplop itu akan
mengantri di meja para pemegang kuasa. Digantung atau dihubungi kembali,
menjadi penantian bagi mereka yang berusaha mencari rizki. Jika digantung,
amplop itu tak akan pernah kembali. Dan usaha yang telah dilakukan untuk melengkapi
persyaratan menjadi tak berarti. Amplop itu tak pernah kembali, tak bisa
dinanti, tak bisa digunakan lagi.
Dan pada akhirnya,
kisah amplop-amplop yang tak diminati itu berakhir di tempat pembuangan
barang-barang yang tak berguna, tempat sampah. Harapan-harapan yang digantung
telah diturunkan sudah. Para pemilik amplop harus merelakan pengorbanan uang
dan tenaga yang sudah dikucurkannya. Mereka harus membeli kembali amplop coklat
yang baru, mengisinya lagi dengan biodata, foto kopi ijazah, dan kelengkapan
lainnya. Tak lupa mereka juga menitipkan harapan yang sama besar untuk bisa
diterima kerja, agar bisa kembali mengisi bakul nasi di meja, agar bisa
membelikan susu untuk anak-anaknya, dan agar bisa menyicil utang yang mungkin
dimilikinya.
Malang, 16 Maret 2020
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar