Oleh: Muhammad Anis Fuadi
Virus corona (COVID-19) secara ganas
telah mewabah dari Kota Wuhan di China hingga merambat ke seluruh penjuru
dunia. Sejumlah narasi mulai bermunculan dan berlomba-lomba mengangkat peristiwa
yang sedang trending ini. Namun, tidak semua narasi memiliki tujuan positif
dalam membahas peristiwa ini. Beberapa narasi justru lebih bersifat negatif dan
provokatif dengan menghubungkan virus corona ini dengan permasalahan lain.
Beberapa hari ini memang virus
corona benar-benar menyebar secara sadis. Namun, rasa cemas mulai dirasakan
masyarakat justru dengan munculnya virus lain yang tak kalah sadis, yakni virus
kebencian. Berbagai artikel yang menghubungkan kemunculan virus corona di China
dihubungkan dengan azab atas tragedi pembantaian muslim Uighur dengan mudah
kita jumpai di berbagai media sosial.
Di manakah
empati dan nurani kita di saat manusia lain sedang kesusahan,
justru mengkaitkannya dengan permasalahan lain yang jelas berbeda. Hal ini
seakan menambah rasa keegoisan seorang manusia dengan seolah menganggap penderita
virus corona sebagai penjahat dan pendosa besar yang pantas diazab. Padahal
kita sesama manusia pasti sama-sama mempunyai dosa. Manusia tidak berhak sama
sekali untuk sekali-kali menentukan siapa yang pantas mendapatkan azab. Kita
sesama manusia hidup bertempat tinggal di bumi yang sama. Apa yang terjadi pada
orang lain, bisa juga terjadi kepada kita.
Tidak ada vaksin yang bisa menjadi penawar
untuk virus semacam virus kebencian ini. Semakin dalam kita menanam kebencian
dalam diri kita, maka semakin susah pula kita mencabutnya untuk membuangnya jauh-jauh
dari dalam jiwa kita. Berbeda halnya dengan virus corona. Akhir-akhir ini berbagai penelitian mulai
dilakukan dalam rangka menciptakan vaksin untuk melawan corona. Dan berbagai
kabar gembira telah kita dengar dari beberapa pasien yang berhasil sembuh dari virus
ini setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Namun, dengan demikian, bukan
berarti kita menurunkan tingkat kewaspadaan terhadap virus corona ini.
Akhlak ataupun adab adalah sesuatu
yang harus dinomorsatukan oleh siapapun untuk diterapkan dan dijunjung tinggi
dalam hidupnya. Salah satu caranya adalah dengan tidak membahas hal-hal yang
sensitif seperti wabah penyakit sebagai keterkaitan akan suatu hal atau bahkan
yang lebih miris digunakan sebagai bahan lelucon. Disinilah rasa peka berbicara.
Untuk menjaga adab, hendaklah seseorang memilki rasa peka yang tinggi terhadap
sesama manusia. Karena Sang Kholiq telah menciptakan manusia lengkap dengan
dibekali perasaan hati dan akal pikiran.
Selain itu, perilaku yang harus
dihindari seseorang ketika terjadi situasi dunia yang seperti ini adalah sikap meremehkan
terhadap permasalahan ini. Sudah seharusnya kita sadar bahwa permasalahan ini
adalah permasalahan kita bersama. Jika seseorang terlalu menganggap remeh sesuatu
maka dia akan dengan senangnya berbuat sesuatu sesuka hati. Sehingga jika hal
ini berlanjut akan berdampak buruk dapat mematikan hati nurani seseorang.
Sehingga rasa peka akan akan kondisi orang lain sulit muncul dan menganggap apa
yang telah diperbuat adalah hal yang biasa saja.
Mari intruspeksi diri!
Malang, 18 Maret 2020
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar